Entri Populer

Selasa, 20 September 2011

BAHASA PUISI SUTARDJI CALZOUM BAHRI


 
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
Pemahaman bahasa puisi sangat penting dalam memahami karya sastra, khususnya puisi. Meskipun hal ini sangat penting, sampai sekarang dalam penelitian kesusastraan Indonesia modern, penelitian bahasa puisi secara khusus dapat dikatakan belum ada yang memuaskan. Penelitian bahasa puisi yang sudah pernah dilakukan antara lain terhadap puisi Chairil Anwar. Penelitian ini khusus pada sajak-sajak Chairil Anwar agar pembaca dapat membaca dan menafsirkannya dari struktur bahasanya.
Pada umumnya peninjauan puisi Indonesia modern yang sudah ada lebih dititikberatkan pada tinjauan isi pikiran, pandangan hidup penyair, serta masalah-masalah yang dibeberkan dalam sajaknya, misalnya, penelitian yang dilakukan pleh H.B Jassin (1967). Tinjauan H.B Jassin (1967) itu dilakukan terhadap antara lain sajak-sajak Mohammad Ali, Toto Sudarto Bachtiar, Ajip Rosidi, dan Subagio Sastrowardjojo.
Dalam menganalisis puisi, faktor kebahasaan sangat penting, bahkan dapat dikatakan terpenting karena kepuitisan utama dalam sajak terletak dalam bahasanya. Tanpa kepuitisan, puisi hampir tidak berguna untuk dikatakan karya seni sastra. Hal ini berhubung dengan hakikat sastra sendiri, seperti yang dikemukakan oleh Rene Wellek dalam Pradopo (1979: 2) bahwa sastra itu adalah karya rekaan (imaginative) yang unsur estetisnya dominan.

1.2  Masalah
Analisis ini dikhususkan pada analisis bahasa sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri. Sajak-sajak Sutardji ini memiliki sisfat-sifat istimewa karena kebaruannya, ada yang mengatakan bahwa sajak-sajaknya telah dapat menggantikan kedudukan sajak-sajak Chairil Anwar dalam perannya untuk memperkembangkan perpuisian Indonesia modern selanjutnya (Junus, 1976; Toda 1977, 1978).
Bahasa puisi yang merupakan lapis arti yang kedua meliputi bermacam-macam unsur, yang merupakan bagian-bagiannya, di antaranya kosa kata, faktor ketatabahasaan, bahasa kiasan, citraan (imagery), sarana retorika, dan gaya kalimat puisi. Dalam makalah ini diuraikan bahasa puisi Sutardji Calzoum Bachri berdasarkan urutan yang demikian itu. Dalam pembicaraan bahasa puisi, perlu pula dibicarakan kepuitisannya. Hal ini mengingat bahwa bahasa puisi itu mempunyai sifat tersendiri, lain dari bahasa sehari-hari atau bahasa ilmiah, sesuai dengan hakikat sastra, yaitu karya imaginatif bahasa yang unsur estetisnya dominan (Wellek, 1976: 25).
Selain rangkaian satuan arti itu menimbulkan pengertian yang lengkap dalam puisi disusun sedemikian rupa sehingga menimbulkan efek puitis dan menimbulkan nilai estetis pada sajak. Rangkaian itu dalam konteks beraneka ragam coraknya. Di samping itu, bahasa puisi bukan semata-mata berisi arti kamus saja, melainkan juga berisi kiasan, yaitu semacam arti tambahan atau konotasinya. Bahkan, ada sekelompok kata yang terkemuka arti kiasannya, sedang arti kamusnya “hilang” atau “lebur”, sehingga kata-kata itu merupakan bahasa kiasan. Berdasarkan hal itu, dalam makalah ini dibentangkan bermacam-macam hubungankata dalam konteks dan jenis-jenis satuan arti yang mengandung arti kiasan yang keduanya menimbulkan efek puitis. Namun, uraian tentang bahasa puisi dalam makalah ini dibatasi pada analisis kosa kata, faktor kebahasaan, bahasa kiasan, citraan, dan sarana pokok saja, demi intensifnya hasil analisis.
1.3  Tujuan
Analisis ini  bertujuan untuk mengetahui bagaimana corak bahasa puisi serta kepuitisan sajak-sajak Indonesia modern umumnya, sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri khususnya. Hal ini akan terlihat melalui analisis terhadap sajak-sajaknya. Di samping itu, analisis ini bertujuan untuk memahami puisi Indonesia pada umumnya serta perkembangan bahasa puisi modern khususnya. Hal ini dilakukan melaui analisis sajak-sajak penyair yang menjadi tonggak perkembangan puisi Indonesia modern itu.

1.4  Metode Penelitian
Analisis ini menggunakan metode struktural, yaitu metode analisis terhadap struktur bahasa puisi ke dalam unsur-unsur pembentukannya. Kemudian metode struktural ini menghubung-hubungkan bagian-bagian itu dan menghubungkan bagian-bagian keseluruhan dalam urutan-urutan linguistik suatu teks. Maksudnya, untuk mengetahui pola umum hubungan-hubungan itu (Becker, 1978: 3)

Dikemukakan oleh Roman Ingarden (Wellek dalam Pradopo, 1979:2) bahwa sesungguhnya puisi itu merupakan struktur norma-norma (struktur of norms). Puisi itu terdiri daari lapis-lapis norma, norma yang atas menimbulkan lapis-lapis norma di bawahnya. Norma teratas adalah lapis bunyi yang menimbulkan lapis norma di bawahnya, yaitu lapis satuan arti yang menimbulkan lapis di bawahnya lagi, yaitu lapis objek, latar, tokoh, dan dunia pengarang dalam makalah ini, lapis kedualah yyang di analisis, yaitu lapis arti yang merupakan struktur bahasa puisi. Lapis arti ini merupakan sebuah struktur, yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan, jaliln-menjalin secara eerat. Bahasa puisi merupakan lapis satuan-satuan arti dari satuan-satuan arti dari satuan terkecil sampai yang terluas, yaitu fonem, suku kata, kata, frase, kalimat, dan kelompok kalimat. Namun, dalam makalah ini dimulai dari kata, yang merupakan satuan arti minimum. Jadi, tidak dimulai dari fonem atau suku kata.

1.5  Teknik Analisis Data
1.      Pembaca membaca kumpulan puisi Sampai karya Sutardji Calzoum Bachri yang akan dianalisis secara keseluruhan
2.      Mengidentifikasi
3.      Mengklasifikasi
4.      Interpretasi
5.      Menyimpulkan


BAB II
PEMBAHASAN

BAHASA PUISI SUTARDJI CALZOUM BAHRI
Setiap penyair mempunyai gaya tersendiri dalam penggunaan bahasa pada sajak-sajaknya. Hal ini ditentukan oleh jalinan-jalinan bahasanya, mulai dari kosa kata, bentuk tata bahasa, pemilihan kata, sampai dengan penggunaan kalimatnya. Untuk mengetahui strukturnya yang kompleks ini perlu ada analisis, seperti yang dikatakan Knox C. Hill (1966: 6) bahwa suatu tulisan yang rumit (kompleks) dapat dimengerti dengan baik hanya jika dianalisis. Ada bermacam-macam cara menganalisis, tetapi tidak semua analisis sama baiknya. Sebuah analisis yang tidak tepat hanya akan menghasilkan fragmen-fragmen. Selanjutnya dikatakan oleh Hill bahwa analisis yang bagus akan menunjukkan bagian sebagai bagian, dan akan membawa suatu pengertian tentang keseluruhan sebagai suatu keseluruhan. Dengan demikian, dalam analisis yang berikut penulis menggunakan pendekatan struktural, yaitu pendekatan yang menganalisis struktur bahasa puisi ke dalam unsur-unsur pembentukannya. Analisis struktural karya sastra dapat dilakukan dengan identifikasi dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur . hubungan itulah yang menjadi hakikat analisis struktural. Jadi, tidak hanya sebatas menguraikan saja. Analisis struktural yang menarik karena menunjukkan hubungan antar unsur. Masalah unsur dan hubungan antar unsur merupakan hal yang penting dalam pendekatan ini. Unsur bahasa misalnya, terdiri dari unsur fonologi, morfologi, dan sintaksis, maka dalam studi linguistik pun dikenal adanya studi fonetik, fonemik, morfologi, dan sintaksis. Maka, dalam analisis ini akan dipandang bagian-bagian atau unsur-unsur bahasa tersebut dan tidak terpisah dari bagian-bagiannya yang lain, dalam arti bahwa tiap-tiap unsur atau bagian itu mempunyai efek puitis hanya dalam konteks dengan unsur-unsur yang lain, yang erat hubungannya. Hal ini disebabkan oleh sajak itu sebuah organisme seperti yang dikemukakan oleh Altenbernd (1966: 29), yang substansinya tidak terpisah dari bentuk yang dimilikinya. Begitu juga dikemukakan oleh Culler (1977: 170 – 171) bahwa ada koherensi antara unsur-unsur karya sastra dan unsur-unsur itu tidak otonom, tetapi bagian dari situasi yang kompleks yang disumbangnya dan daripadanya bagian-bagian itu mendapatkan artinya.
Dengna demikian, pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan kerterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yagn secara bersama menghasilkan sebuah kemenyeluruhan. Analisis struktural tak cukup dilakukan hanya sekedar mendata unsur tertentu sebuah karya fiksi. Namun, yang lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan antar unsur itu, dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin dicapai. Hal ini perlu dilakukan mengingiat bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks dan unik, di samping setiap karya mempunyai ciri kekomplekan dan keunikannya sendiri (Jalil dan Rahman, 2004: 181)
Analisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini puisi, dapat dilakukan dengan mendidentifikasi, mengklasifikasi, dan kemudian menginterpretasi. Sebelum menganalisis antologi puisi Sutardji berdasarkan pendekatan struktural, penulis akan mengidentifikasi puisi Sutardji Calzoum Bachri yang berkaitan dengan kosa kata, faktor ketatabahasaan, bahasa kiasan, citraan, dan sarana retorika. Dalam identifikasi ini, sajak yang dianalisis karena memiliki kosa kata yang menunjukkan ciri khas Sutardji dalam menggunakan kosa kata sehari-hari adalah sajak “Jadi”. Sajak-sajak yang dianalisis untuk mengetahui penyimpangan ketatabahasaan yang dilakukan Sutardji berupa penghapusan tanda baca adalah sajak “Sampai”, “Tak”, “Satu”, “Sejak”, “Tangan”, dan “Para Peminum”. Penyimpangan ketatabahasaan yang dilakukan Sutardji berupa penggabungan dua kata atau lebih adalah sajak “Orang Yang Tuhan”. Penyimpangan ketatabahasaan yang dilakukan Sutardji berupa penghilangan imbuhan adalah sajak “Nuh” dan “Perjalanan Kubur”. Penyimpangan ketatabahasaan yang dilakukan Sutardji berupa pemutusan kata adalah sajak “Q”. Penyimpangan ketatabahasaan yang dilakukan Sutardji berupa pembentukan jenis kata sajak “Orang Yang Tuhan”. Dalam kajian bahasa kiasan, sajak Sutardji yang kaya akan metafora adalah sajak “Batu” dan “Jadi”. Sajak Sutardji yang menggunakan kiasan personifikasi adalah sajak “Sop”. Sajak Sutardji yang menggunakan kiasan sinekdos adalah sajak “Batu”. Dalam kajian citraan, sajak yang dianalisis adalah sajak “Mantera” dan “Batu”. Dalam kajian sarana retorika, sajak yang dianalisis pada retorika ulangan adalah sajak “Pil”, “Batu”, Orang Yang Tuhan”, dan “Jadi”.
Setelah mengidentifikasi, penulis mengklasifikasikan bahwa dalam antologi puisi Sutardji Sampai, terdapat 16 buah sajak Sutardji. Penulis mengklasifikasikan bahwa sajak yang dianalisis karena memiliki kosa kata yang menunjukkan ciri khas Sutardji dalam menggunakan kosa kata sehari-hari adalah 1 buah, yaitu sajak “Jadi”. Sajak-sajak yang dianalisis untuk menunjukkan penyimpangan ketatabahasaan yang dilakukan Sutardji berupa penghapusan tanda baca adalah 6 buah sajak, yaitu sajak “Sampai”, “Tak”, “Satu”, “Sejak”, “Tangan”, dan “Para Peminum”. Sajak yang dianalisis untuk mengetahui penyimpangan ketatabahasaan yang dilakukan Sutardji berupa penggabungan dua kata atau lebih adalah 1 buah, yaitu  sajak “Orang Yang Tuhan”.  Sajak yang dianalisis untuk mengetahui penyimpangan ketatabahasaan yang dilakukan Sutardji berupa penghilangan imbuhan adalah 2 buah sajak, yaitu sajak “Nuh” dan “Perjalanan Kubur”. Sajak yang dianalisis untuk mengetahui penyimpangan ketatabahasaan yang dilakukan Sutardji berupa pemutusan kata adalah 1 buah sajak, yaitu sajak “Q”. Sajak yang dianalisis untuk mengetahui penyimpangan ketatabahasaan yang dilakukan Sutardji berupa pembentukan jenis kata adalah 1 buah sajak, yaitu sajak “Orang Yang Tuhan”. Dalam kajian bahasa kiasan, terdapat 2 buah sajak Sutardji yang kaya akan metafora, yaitu  sajak “Batu” dan “Jadi”. Sajak Sutardji yang dianalisis karena menggunakan kiasan personifikasi ada 1 buah, yaitu sajak “Sop”. Analisis Sajak Sutardji yang menggunakan kiasan sinekdos adalah 1 buah sajak, yaitu sajak “Batu”. Dalam kajian citraan, sajak yang dianalisis adalah 2 buah sajak, yaitu “Mantera” dan “Batu”. Dalam kajian sarana retorika, ada 4 sajak yang dianalisis pada retorika ulangan, yaitu sajak “Pil”, “Batu”, Orang Yang Tuhan”, dan “Jadi”.
Berdasarkan proses identifikasi dan klasifikasi yang telah dilakukan penulis, penulis menginterpretasikan bahwa kosa kata yang digunakan Sutardji dalan sajaknya adalah bahasa sehari-hari, meskipun ada kata-katanya yang tidak bisa ditemukan maknanya dalam kamus bahasa Indonesia. Sutardji juga melakukan penyimpangan dari tata bahasa normatif dalam sajaknya untuk intensitas dan mendapatkan ekspresivitas sebanyak-banyaknya. Sutardji juga banyak menggunakan kiasan dan citraan dalam sajaknya. Sajaknya juga tidak luput dari ulangan yang berlebih-lebihan, ulangan beruntun, dan berderet-deret.
Sutardji Calzoum Bachri tampil sekitar tahun 1967. Ia  penyair yang mulai menggemparkan dunia sastra Indonesia sekitar tahun 1972 – 1973, yaitu dengan pembacaan sajak-sajak yang bernapas baru yang dikumpulkan dalam kumpulan O, yang pertama kali terbit dalam bentuk stensilan tahun 1973. Sajak-sajak Sutardji itu dianggap oleh sementara orang sebagai sajak-sajak yang sudah mengganitikan kedudukan sajak-sajak Chairil Anwar untuk memimpin perkembangan puisi Indonesiamodern selanjutnya. Sebab sajak-sajak Sutardji sungguh-sungguh baru, lain dari corak sajak-sajak Chairil Anwar. Dengan hadirnya sajak-sajak Sutardji ini mulailah perkembangan baru dalam dunia perpuisian Indonesia.
Sutardi Calzoum Bachri dilahirkan di Riau, tempat asal bahasa Indonesia. Setelah lulus SMA ia melanjutkan studinya ke Fakultas Sosial Politik jurusan Administrasi Negara, Universitas Pajajaran, Bandung, kemudian ia mengirimkan sajak-sajak dan esainya ke media massa di Jakarta, seperti Sinar Harapan, Kompas, Berita Buana, majalah bulanan Horison, dan Budaya Jaya. Dari sajak-sajaknya itu Sutardji memperlihatkan dirinya sebagai pembaharu perpuisian Indonesia. terutama karena konsepnya tentang kata yang hendak dibebaskan dari kungkungan pengertian dan dikembalikannya pada fungsi kata seperti dalam mantra. Di samping itu, ia mengirimkan sajak-sajaknya ke surat kabar lokal, seperti Pikiran Rakyat di Bandung dan Haluan di Padang. Sutardji Calzoum Bachri selain menulis juga aktif dalam berbagai kegiatan, misalnya mengikuti International Poetry Reading di Rotterdam (Belanda) pada musim panas 1974, mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, USA (Oktober 1974—April 1975). Sutardji juga menunjukkan cara baru yang unik dan memikat dalam pembacaan puisi di Indonesia.
Sejumlah sajaknya telah diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris dan dikumpulkan dalam antologi Arjuna in Meditation (Calcuta, India), writting from the world (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (1979). dan tahun 1979 itu Sutardji berangkat ke Bangkok, Thailand untuk menerima hadiah South East Asia Write Award (S.E.A Award) atas prestasinya dalam sastra.
Bersama Kiai Haji Mustofa Bisri dan taufiq Ismail, ia pernah diundang ke Pertemuan International Para Pelajar di Bagdad, Irak, pernah diundang Menteri keuangan Malaysia, Dato Anwar Ibrahim, untuk membacakan puisinya di Departemen Keuangan Malaysia, mengikuti berbagai pertemuan Sastrawan ASEAN, Pertemuan Sastrawan Nusantara di Singapura, malaysia, dan Brunei Darussalam, serta pada tahun 1997 Sutardji membaca puisi di Festival Puisi International Medellin, Columbia.Beberapa karyanya adalah O (Kumpulan Puisi, 1973), Amuk (Kumpulan Puisi, 1977), dan Kapak (Kumpulan Puisi, 1979).  O Amuk Kapak merupakan penerbitan yang lengkap sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri dari periode penulisan 1966 – 1979. Tiga kumpulan sajak ini mencerminkan secara jelas pembaharuan yang dilakukannya terhadap puisi Indonesia. Selain itu, puisi-puisinya juga dimuat dalam berbagai antologi, antara lain Arjuna in Meditation (Calcutta, India, 1976), Writing from The Word (USA), Westerly Review (Australia), Dchters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststechting, 1975), Ik Wil Nogdulzendjaar Leven, Negh Moderne Indonesische Dichter (1979), Laut Biru, Langit Biru (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977), Parade Puisi Indonesia (1990), majalah Tenggara, Journal of Southeast Asean Lietrature 36 dan 37 (1997), dan Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi (2002).Sementara itu, esainya berjudul Gerak Esai dan Ombak Sajak Anno 2001 dan Hujan Kelon dan Puisi 2002 mengantar kumpulan puisi “Bentara”.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa setiap penyair mempunyai kekhususan dalam mempergunakan bahasa dalam sajak-sajaknya. Sutardji Calzoum Bachri pun mempunyai kekhususan dalam penggunaan bahasa dalam sajaknya yang dapat menimbulkan kepuitisan tertentu. Oleh karena itu, dalam analisis ini akan diuraikan kosa kata, faktor ketatabahasaan, bahasa kiasan, citraan, dan sarana retorika.
1.      Kosa Kata
Untuk mencapai kepuitisan dalam sajak-sajaknya, Sutardji merangkaikan kata-kata dari kosa kata sehari-hari. Ada juga beberapa kata yang tidak biasa dipergunakan dalam percakapan sehari-hari yang umum. Namun, barangkali dipengaruhi oleh penggunaan bahasa Indonesia secara lokal, mengingat bahwa Sutardji dilahirkan dan dibesarkan di daerah Riau, yang dianggap asal bahasa Indonesia. misanya saja, kata puake (puaka = hantu penunggu), seligi (tombak bambu), payau (agak asin), dedak (dedak padi, serbuk halus), dipakai dalam frase: gapaiku dedak dan langit dadu dadu = merah muda). Ada sebuah kata yang tidak dapat ditemukan dalam kamus Poerwadarminta, yaitu ngilai (barangkali sama dengan ngilu). Meskipun demikian, pada umumnya yang dipergunakannya adalah kata-kata biasa atau kata-kata sehari-hari, misalnya:
JADI
tidak setiap derita
                                    jadi luka
tidak setiap sepi
                                    jadi duri
tidak setiap tanda
                                    jadi makna
tidak setiap tanya
                                    jadi ragu
tidak setiap jawab
                                    jadi sebab
tidak setiap seru
                                    jadi mau
tidak setiap tangan
                                    jadi pegang
tidak setiap kabar
                                    jadi tahu
tidak setiap luka
                                    jadi kaca
                                                memandang Kau
                                                                        pada wajahku!

                                                                                    (hal. 14)

Pada sajak “Jadi” di atas, dapat kita lihat bahwa sutardji menggunakan bahasa sehari-hari dalam sajaknya, seperti kata derita, luka, duri, sepi  yang biasa digunakan untuk mengungkapkan kesedihan atau penderitaan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk membuat bahasa sehari-hari yang hidup, Sutardji mempergunakan kata-kata yang tidak baku, seperti kasi; kasikan ikan, kasikan remaja. Untuk memberi suasana mantra, ia mengubah bunyi a menjadi e pada kata-kata  puake, muare, buaye, siape.
Supaya kelihatan modern, yaitu untuk mendapat efek suasana yang lebih universal, dipergunakan kata-kata asing (sebagai judul) seperti Colones Sans Fin (Prancis: tiang-tiang tanpa akhir).
2.      Faktor ketatabahasaan
Sutardji Calzoum Bachri banyak (sekali) mempergunakan penyimpangan dari tata bahasa normatif dalam sajak-sajaknya untuk mendapatkan arti baru dan ekspresivitas karena kepadatan atau keanehannya, yang pada umumnya belum pernah dicoba secara intensif oleh penyair-penyair sebelumnya. Penyimpangan itu diantaranya berupa penghapusan tanda baca, pemutusan kata, pembalikan kata, penggandengan dua kata atau lebih, penghilangan imbuhan, pembentukan jenis kata dari jenis kata lain tanpa mengubah bentuk morfologinya. Hampir dapat dikatakan, pada setiap sajaknya terdapat penyimpangan tata bahasa normatif.
SAMPAI
hafiz bertemu Tuhan semalam
                                                kini dimana Hafiz
Rumi menari bersama Dia
                                                kini dimana Rumi
Hamzah jumpa dia di rumah
                                                kini dimana Fansuri
Tardji menggapai Dia di puncak
                                                tapi kini di mana Tardji

kami tak dimanamana
kami mengata meninggi
kami dekat

kalau kalian mabuk Tuhan
                        kami mabuk sama kalian
kalau kalian rindu Dia
                        rindu kalian bersama kami
kalau kembali ke rumah Diri
                        kalian kembali ke rumah kami
sampai kalian ke puncak nurani
                        kalian pun sampai sebatas kami
                                                                        1986
                                                                        (hal. 12)

Pada sajak “Sampai” di atas, Sutardji tidak menggunakan tanda baca berupa tanda tanya pada kalimat tanya seperti pada kutipan kini dimana Hafiz; kini dimana Rumi; kini dimana Fansuri; tapi kini di mana Tardji. Dapat kita lihat bahwa kutipan tersebut adalah kalimat tanya yang seharusnya dibubuhi kata tanya di akhir kalimat. Namun hal itu tidak dilakukan Sutardji karena ia sangat hemat mempergunakan tanda baca, dan bila tidak santag perlu tidak dipergunakan. Pada kutiapn tersebut, tidak perlu dibubuhi tanda tanya, pembaca sudah mengetahui bahwa kalimat yang diungkapkan Sutardji adalah kalimat tanya. Di sinilah salah satu letak kepadatan puisi Sutardji. Selain kutipan di atas, dapat kita temukan penyimpangan lagi pada kutipan kami tak dimanamana. Pada kutipan ini, Sutardji tidak menggunakan kata penghubung pada kata dimanamana. Hal ini terjadi karena Sutardji memberikan efek stream of consiousness pada sajaknya yang beraliran mantra.


a.      Penghapusan tanda baca
Dalam sajak-sajak Sutardji kelihatan bahwa tanda baca hanya dipergunakan bila sangat perlu. Di samping itu, banyak penghapusan tanda baca yang dilakukan dengan sengaja, yang efeknya memberikan kegandaan tafsir ataupun efek stream of consciousness, yaitu pikiran yang mengalir tidak terkendalikan dari bawah sadar. Sebuah kalimat yang sangat panjang, yang terdiri dari ulangan-ulangan, berderet-deret tanpa koma, baru pada akhir kalimat yang sangat panjang itu ditutup dengan tanda seru atau tanda tanya. Ulangan itu dapat berupa frase ataupun kalimat, misalnya:
TAK
guruh takada               kilat tak                       teriak takada               panggil  tak
bisik tak ada                himbau tak                  cakap takada               kata tak
angin takada                desir tak                      gerak takada                tanda tak
sayap tak ada              langit tak                     tangan takada              gapai tak
ada takada                   kau tak
lengangngng
datanglah tempelengngngng!
(hal. 7)

Pada sajak di atas, dapat kita lihat bahwa sajak Sutardji ini merupakan kalimat yang terdiri dari ulangan-ulangan, berderet-deret tanpa koma, baru pada akhir kalimat itu ditutup dengan tanda seru.

SEJAK
sejak kapan sungai dipanggil sungai
sejak kapan tanah dipanggil tanah
sejak kapan derai dipanggil derai
sejak kapan resah dipanggil resah
sejak kapan kapan dipanggil kapan
sejak kapan kapan dipanggil lalu
sejak kapan akan dipanggil akan
sejak kapan akan dipanggil rindu
sejak kapan ya dipanggil tak
sejak kapan tak dipanggil mau
sejak kapan tuhan dipanggil tak
sejak kapan tak dipanggil rindu?
1975
(hal.3)

Penghapusan tanda baca seperti di atas membuat pembaca berkontemplasi ataupun juga untuk menarik perhatian atas ucapan yang berturut-turut itu. Kalimat pada sajak tersebut merupakan kalimat yang terdiri dari ulangan-ulangan. Dari sajak itu dapat kita lihat pengulangan frase sejak kapan di setiap lariknya, pengulangan yang berderet-deret tanpa koma, baru pada akhir kalimat itu ditutup dengan tanda tanya.

Di samping hal seperti itu, banyak juga sajaknya yang sama sekali tidak mempergunakan tanda baca, misalnya:
SATU
kuterjemahkan tubuhku ke dalam tubuhmu
ke dalam rambutmu kuterjemahkan rambutku
jika tanganmu tak bisa bilang tanganku
kuterjemahkan tanganku ke dalam tanganmu
jika lidahmu tak bisa mengucap lidahku
kuterjemahkan lidahku ke dalam lidahmu
aku terjemahkan jemariku ke dalam jemarimu
jika jari jemarimu tak bisa memetikku
ke dalam darahmu kuterjemahkan darahku
kalau darahmu tak bisa mengucap darahku
jika ususmu belum bisa mencerna ususku
kuterjemahkan ususku ke dalam ususmu
kalau kelaminmu belum bilang kelaminku
aku terjemahkan kelaminku ke dalam kelaminmu

daging kita satu arwah kita satu
walau masih jauh
yang tertusuk padamu berdarah padaku
1979
(hal.11)
Selain sajak “Satu” di atas, Sajak yang tanpa tanda baca ini diantaranya “Colonnes Sans Fins, “Pot”, “Biarkan”, Tragedi Winka dan Sihka”, “Sculpture”, “Hilang (Ketemu)”, dan “Kakekkakek dan Bocah-bocah”. Tanda baca ditiadakan karena ingin menunjukkan kepadatan puisi, serta tanda baca tersebut tidak dianggap perlu karena akan mempermudah penafsiran makna puisi. Pada umumnya sajak yang tidak memiliki tanda baca berupa ulangan yang berturut-turut. Misalnya:
TANGAN
seharusnya tangan bukan hanya tangan tapi tangan yang
memang tangan tak cuma tangan tapi tangan yang tangan
pasti tangan tepat tangan yang dapat lambai yang sam
pai salam

seharusnya tangan bukan segumpal jari menulis sia se
kedar duri menulis luka mengusap mata namun gerimis
tak juga reda

walau lengkap tangan buntung walau hampir tangan bun
tung walau satu tangan buntung walau setengah tangan
buntung yang copot tangan buntung yang lepas tangan
buntung yang buntung tangan buntung

segala buntung segala tak tangan
hanya jam   yang lengkap tangan menunjuk entah kemana
                                                                                    1976
                                                                                 (hal. 8)
Penghapusan tanda baca seperti di atas membuat pembaca berkontemplasi ataupun juga untuk menarik perhatian atas ucapan yang berturut-turut itu. Tanda baca ditiadakan pada sajak Sutardji juga tidak lepas dari aliran mantra yang dianutnya, sehingga ucapan yang berupa ulangan yang berturut-turut itu tidak perlu dipisahkan oleh tanda penghubung, koma, maupun tanda baca lainnya agar dalam pembacaan puisi tersebut akan terlihat pengaruh mantranya. Pada sajak “Para Peminum” berikut juga tidak ditemukan tanda baca.
PARA PEMINUM
di lereng lereng
para peminum
mendaki gunung mabuk
kadang mereka terpeleset
jatuh
dan mendaki lagi
memetik bulan
di puncak

mereka oleng
tapi mereka bilang
-kami takkan karam
dalam laut bulan-
mereka nyanyi nyanyi
jatuh
dan mendaki lagi

di puncak gunung mabuk
mereka berhasil memetik bulan
mereka menyimpan bulan
dan bulan menyimpan mereka

di puncak
semuanya diam dan tersimpan
(hal. 4)
Pada sajak “Para Peminum” di atas, Sutardji merasa tanda baca tidak perlu digunakan. Selain membentuk kepadatan puisi, makna puisi yang disampaikan Sutardji memang sulit ditafsirkan, baik dengan atau tanpa tanda baca.

b.      Penggabungan dua kata atau lebih
Penggabungan dua kata atau lebih yang dimaksudkan di sini ialah penggabungan dua kata atau lebih menjadi satu gabungan, hingga seolah-olah sudah menjadi satu kata atau menjadi satu pengertian yang tidak terpisahkan. Di samping itu, gabungan yang berupa pengulangan kata menjadikan atau memberikan efek penghayatan atau berlebih-lebihan. Penggabungan kata seperti ini belum pernah dilakukan sebelumnya dalam perpuisian Indonesia modern.
Sajak-sajak yang di dalamnya terdapat peristiwa bahasa semacam itu ialah “pot”, “Herman”, “O”, dan “kakekkakek & Bocah-bocah, “Terkekehkekeh”. Penggabungan bukan kata ulang, misalnya lekukbungkalanlobangmu, lukakitaku.
ORANG YANG TUHAN
orang yang tuhan
                        gelasnya oleng karena ombak tuak
yang bilang minum!
                        kau karam aku tidak!
orang yang tuhan
orang yang tuhan
                        nenggelamkan ranjang dengan kasihnya
yang payau dalam geliat syahwat
                        yang bilang ahh!
aku sudah
orang yang tuhan
                        sungsang dalam sampainya
yang bilang wau!
                        gapaikan dedak!
orang yang tuhan
            nyelinap dalam lukamu
minum arak lukamu
ketawa dari lukamu
berjingkrak dari lukamu
baring dalam lukamu
pulas dalam lukamu
bangun dari lukamu
pergi dari lukamu
orang yang tuhan
                        bertualang selalu
datang dan pergi
                        dari luka ke lukamu
dia masuk
            minumminum nyanyinyanyi ketawa
senyumsenyum tidur
                                                bangun
                                                            dan
                                           jingkrakjingkrak dari luka ke lukamu
assalammualaikum!
            dia membuka pintu
dan menyorongkan salamnya padamu
                                    senyumsenyum mengajakmu masuk minum-minum
                                           nyanyinyanyi ketawa senyumsenyum
                                                            tidur
                                                                        bangun
                                           jingkrakjingkrak
                                                                        dan pergi
                                                            dari luka ke lukamu
                                                                                    (hal.1)
           
Pada sajak “Orang Yang Tuhan” tersebut, dapat kita lihat beberapa kata digabungkan menjadi satu oleh Sutardji tanpa tanda penghubung, padahal kata-kata tersebut merupakan kata ulang. Seperti pada kutipan minumminum nyanyinyanyi ketawa. Kata minumminum dan nyanyinyanyi memang seharusnya dihubungkan oleh tanda penghubung, namun begitulah Sutardji. Dia memang tidak mengikat makna pada kata-kata yang digunakannya, dia menggunakan kata-kata sebebas-bebasnya dan bermain dengan kata itu beserta bunyi. Begitu juga pada kutipan jingkrakjingkrak dari luka ke lukamu. Kata jingkrakjingkrak pun tidak dihubungkan tanda penghubung karena dianggap tidak perlu oleh Sutardji. Di sini pun terlihat, betapa hematnya Sutardji dalam menggunakan tanda baca dalam sajaknya demi terciptanya kepadatan puisi.
c.       Penghilangan Imbuhan
Dalam sajak-sajaknya, Sutardji banyak menghilangkan imbuhan, baik awalan, akhiran, maupun awalan dan akhiran kata. Bahkan, Sutardji banyak mempergunakan kata dasar tanpa dibentuk dengan awalan atau akhiran. Di samping untuk mendapatkan irama dan kelancaran membacanya, hal ini juga dimaksudkan untuk mendapatkan daya ekspresi yang penuh karena kepadatannya. Misalnya, saling gigitan yang mestinya Saling bergigitan (Ngiau), dalam “Dapatkau”: dapatkau nyebrangkan sungai, dapatkau sampaikan sayap lepas. Pada sajak “Nuh” pun Sutardji melakukan penyimpangan tersebut.
NUH
di tengah luka paya-paya
lintah hitam makan bulan
taklagi matari
jam ngucurkan
detak nanah

tak ada yang luput
bahkan mimpi tak
tanah tanah tanah
beri aku puncak
untuk mulai lagi berpijak!
1977
(hal. 9)
Pada sajak “Nuh” di atas, Sutardji hanya menggunakan satu tanda baca di akhir bait, yaitu tanda seru. Penyimpangan yang ia lakukan ialah penghilangan imbuhan pada kata ngucurkan. Kata ngucurkan ini disandingkannya dengan kata jam. Kalau dipikir dengan logika, sangat tidak masuk akal jika jam disandingkan dengan kata ngucurkan. Karena yang kita ketahui bahwa kata ngucurkan biasanya disandingkan dengan kata yang mengandung makna benda cair, seperti air, keringat, dan sebagainya. Misalnya, tubuhnya mengucurkan keringat. Namun, Sutardi menghilangkan imbuhan me- pada kata tersebut, sehingga metafora yang digunakannya pun sulit diterima logika. Penyimpangan yang sama pun dilakukan Sutardji pada sajaknya “Orang Yang Tuhan” yaitu pada kutipan nenggelamkan ranjang dengan kasihnya. Pada kata nenggelamkan imbuhan me- ditiadakan Sutardji untuk mendapatkan kepadatan makna puisi.
Penghilangan imbuhan semacam itu belum pernah dilakukan oleh penyair sebelumnya dengan seintensif itu, lebih-lebih yang berbentuk kata dasar. Misalnya kata ngucap dalam puisi “Perjalanan Kubur”.
PERJALANAN KUBUR
luka ngucap dalam badan
kau telah membawaku ke atas bukit ke atas karang ke atas gunung
ke bintang bintang
lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku
untuk kuburmu alina

untuk kuburmu alina
aku menggaligali dalam diri
raja dalam darah mengaliri sungaisungai mengibarkan bendera hitam
menyeka matari membujuk bulan
teguk tangismu  alina

sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur
laut pergi ke laut membawa kubur-kubur
awan pergi ke hujan membawa kubur-kubur
hujan pergi ke akar ke pohon ke bunga-bunga
membawa kuburmu alina
1977
(hal.15)
Pada sajak “Perjalanan Kubur” Sutardi menggunakan kata ngucap yang kata dasarnya adalah ucap. Sutadji menghilangkan imbuhan me- pada kata ngucap tersebut karena makna yang ingin disampaikan Sutardji melalui kata ngucap itu berbeda dengan makna kata mengucapkan. Sehinggaa untuk menyampaikan makna yang utuh melaui kepadatan puisinya, Sutardji memang harus menghilangkan imbuhan tersebut.
d.      Pemutusan kata
Dalam peristiwa ini kata-kata diputus-putus menjadi suku kata atau di balik suku katanya, dengan cara yang demikian itu menjadi menarik perhatian dan artinya berubah, ataupun hilang. Hal ini memberi sugesti kesia-siaan atau arti yang tidak sempurna lagi. Pemutusan kata ini dilakukan Sutardji pada sajak “Q” yang isinya adalah huruf alif lam mim. Alif lam mim dalam Al-Quran tidak ada yang tahu maknanya, artinya kata itu hanya Allah yang mengetahui maksudnya. Oleh karena itu, Sutardji melakukan pemutusan kata pada sajak ini untuk memberi sugesti kesia-siaan. Kesia-siaan maksudnya, makna yang terkandung dalam sajak ini hanya Sutardji yang mengetahuinya. Sebagai pembaca, kita akan sulit menafsirkannya.

       Q
           !    !
  !    !    !
                 !      ! !      ! !     !
                                                   !
  !    a
                            lif       !      !
     l
            l                a
        l                        a           m
                                              !!
                        Mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
1111111111111
     mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
                                                                                                (hal. 16)

Pemutusan kata itu memberi sugesti arti bahwa tidak ada makna dari huruf tersebut. Tidak ada yang bisa memaknai huruf alif lam mim kecuali Allah SWT, semuanya tinggal sia-sia saja jika ditafsirkan. Tetap saja huruf itu hanyalah dimaknai alif lam mim. Begitu juga dengan sajak “Q” karya Sutardji tersebut. Sajak tersebut berisi huruf Alim Lam Mim yang kata-kata tersebut diputus-putuskannya, dan sajak tersebut juga berisi tanda seru yang memperindah tipografi puisi tersebut.  Contoh lain yaitu sajak “Tragedi Winka & Sihka” merupakan sajak yang paling banyak mendapatkan tanggapan, yang kebanyakan berpendapat bahwa sajak ini hanya “bermain-main”.

Tragedi Winka & Sihka
kawin
            kawin
                        kawin
                                    kawin
                                                ka
                                   win
                              ka
                       win
                   ka
             win
          ka
    win
ka
    winka
           winka
                  winka
   sihka
                                 sihka
     sihka
 sih
                                        ka
                                    sih
                                  ka
                               sih
                             ka
                          sih
                        ka
                     sih
                   ka
                     sih
                         sih
                             sih
                                 sih
                                     sih
                                         sih
                                             ka
                                                Ku
                                                           
 Sajak itu hanya terdiri dari dua kata kawin dan kasih, yang dipotong-potong menjadi suku-suku kata, juga dibalik menjadi kawin dan sihka. Pada awalnya kata kawin masih penuh. Kawin memberi konotasi begitu indahnya perkawinan. Orang yang hendak kawin mesti berangan-angan yang indah. Bahwa sesudah kawin akan hidup berbahagia dengan kasih sayang anak-istri-suami. Akan tetapi, melalui perjalanan waktu kata kawin terpotong menjadi ka dan win, artinya tidak penuh lagi. Angan-angan perkawinan semula terpotong, ternyata kenyataan setelah kawin berubah. Dalam perkawinan harus memberi nafkah, ada kewajiban-kewajiban, ada anak yang harus dibiayai. Bahkan sering terjadi pertengkaran suami-istri yang harus membiayai makan, pakaian, dan sekolah anak-anaknya. Ternyata perkawinan itu tidak seperti diharapkan yang penuh dengan kebahagiaan, segala berjalan lancar, tetapi penuh kesukaran. Terbalik artinya, kawin  menjadi winka. Bahkan mungkin istri atau suami menyeleweng, terjadilah perceraian. Nah, terjalin tragedi winka & sihka, pembalikan arti dari angan-angan kawin dan kasih, yang pada mulanya diangankan akan penuh kebahagiaan.
Teknik persajakan seperti di atas dengan memotong-motong kata dan membalikan suku kata seperti itu belum pernah terjadi dalam perpuisian Indonesia modern.
e.       Pembentukan Jenis Kata
Untuk ekspresivitas Sutardji membentuk kata-kata benda atau kata kerja langsung menjadi kata keadaan atau kata sifat dengan mengawalinya kata yang atau yang paling, dan tanpa mengubah bentuk morfologisnya. Misalnya kata apa yang sebab?, apa yang lengking? Siapa tanah yang paling pijak siapa burung yang paling sayap? (“Ah”). Orang yang tuhan (“Orang Yang Tuhan”, hal. 1).
ORANG YANG TUHAN
orang yang tuhan
                        gelasnya oleng karena ombak tuak
yang bilang minum!
                        kau karam aku tidak!
orang yang tuhan
orang yang tuhan
                        nenggelamkan ranjang dengan kasihnya
yang payau dalam geliat syahwat
                        yang bilang ahh!
aku sudah
orang yang tuhan
                        sungsang dalam sampainya
yang bilang wau!
                        gapaikan dedak!
orang yang tuhan
nyelinap dalam lukamu
minum arak lukamu
ketawa dari lukamu
berjingkrak dari lukamu
baring dalam lukamu
pulas dalam lukamu
bangun dari lukamu
pergi dari lukamu
orang yang tuhan
                        bertualang selalu
datang dan pergi
                        dari luka ke lukamu
dia masuk
            minumminum nyanyinyanyi ketawa
senyumsenyum tidur
                                                bangun
                                                            dan
                                           jingkrakjingkrak dari luka ke lukamu
assalammualaikum!
            dia membuka pintu
dan menyorongkan salamnya padamu
                                    senyumsenyum mengajakmu masuk minum-minum
                                           nyanyinyanyi ketawa senyumsenyum
                                                            tidur
                                                                        bangun
                                           jingkrakjingkrak
                                                                        dan pergi
                                                            dari luka ke lukamu
                                                                                    (hal.1)
Orang dan Tuhan adalah jenis kata benda. Dengan diawali kata yang jenis kata benda itu menjadi kata sifat. Ucapan biasa akan berupa: orang yang bersifat tuhan. Bila mengikuti tata bahasa normatif seperti itu akan tidak padat dan kehilangan kebaruan atau kesegarannya juga akan kehilangan kegandaan arti; pendek kata akan kehilangan ekspresivitasnya. Dengan ucapan seperti itu, bentuknya menjadi baru, segar, dan ekspresif.

3.      Bahasa Kiasan
Bahasa kiasan yang mendominasi sajak-sajak Sutardji, yang pertama adalah metafora dan yang kedua personifikasi. Di samping itu, ada sinekdos yang tidak seberapa banyak. Kiasan perbandingan (simile) yang biasanya banyak dipergunakan penyair lain hanya sedikit digunakan Sutardji, yaitu dalam “Sculpture”. Gerak menggeliat bagai perut ikan dalam air. Kemudian dalam sajak “Walau”: mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat. sedangkan kiasan lain dapat dikatakan tidak ada.
a.      Metafora
Sajak-sajak Sutardji penuh dengan metafora. Pada umumnya berupa metafora implisit, sedangkan metafora penuh hanya sedikit. Bahkan dapat dikatakan satu dua saja. Dalam beberapa sajaknya Sutardji mempermainkan metafora hingga sajak itu penuh dengan lambang atau simbol-simbol yang luas artinya. Sajak-sajak yang penuh dengan metafora di antaranya ialah “Ah”, “Batu”, “Mari”, “Jadi”, dan “Solitude”. Selain itu, di tiap sajaknya ada beberapa atau banyak terdapat metafora, yang membuat hidup dan menambah kepuitisan. Contoh yang berikut ini adalah sajak yang penuh dengan permainan metafora.
BATU
batu mawar
batu langit
batu duka
batu rindu
batu jarum
batu bisu
kaukah itu
                        teka
                                    teki
            yang
            tak menepati janji?
dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan
hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan
seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh?
mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampai mengapa
gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk
diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai se-
dang lambai tak sampai. Kau tahu?
batu risau
batu pukau
batu Kau-ku
batu sepi
batu ngilu
batu bisu
kaukah itu?
                                    teka
                        teki
                        yang
tak menepati
                                                                                    janji?
                                                                                    (hal. 13)
Metafora Sutardji adalah metafora pertemuan baru yang hidup. Banyak di antaranya yang sangat menarik hati seperti “Mari”, “Solitude”, dan “Jadi”. Metafora di situ merupakan ucapan yang sampai kepada hakikat, sampai pada intinya, dan menjadi simbolik. Ungkapan itu bukanlah mempergunakan logika biasa atau bertentangan dengan logika biasa, misalnya kalau dia berkata mari patahkan rodaroda kembalikan asalnya: jadikan jalan. Aneh bila roda dipatahkan dan disuruh jadikan jalan. Namun, di situ maksudnya adalah hakikat roda itu untuk penerangan. Semuanya untuk menuju satu tujuan yang mutlak. Atau segala sesuatu kembalikan kepada fungsi hakikat dan fungsi asalnya. Begitu pula metafora-metafora berikut pada sajak “Jadi” adalah ucapan yang sampai pada inti atau hakikatnya.

JADI
tidak setiap derita
                                    jadi luka
tidak setiap sepi
                                    jadi duri
tidak setiap tanda
                                    jadi makna
tidak setiap tanya
                                    jadi ragu
tidak setiap jawab
                                    jadi sebab
tidak setiap seru
                                    jadi mau
tidak setiap tangan
                                    jadi pegang
tidak setiap kabar
                                    jadi tahu
tidak setiap luka
                                    jadi kaca
                                                memandang Kau
                                                                        pada wajahku!

                                                                                    (hal. 14)
Luka, duri, makna, ragu, sebab, mau, pegang, tahu, dan kaca adalah metafora implisit dalam sajak itu, yang merupakan ucapan yang sampai kepada hakikatnya. Dalam kehidupan ini (di negeri ini), kenyataannya tidak setiap penderitaan menyababkan luka di hati, atau tidak menyebabkan hati bersedih, tidak setiap kesepian itu menjadi duri, menjadi siksaan dalam hati, tidak setiap tanda (misalnya gempa, atau bencana alam) menjadi makna (tidakmenimbullkan arti) hingga mestinya berbuat sesuatu untuk menanggapinya, tidak semua tanya menjadikan orang ragu-raguakan kesalahannya, maka ia akan terus membuat kesalahan dan tidak semua jawaban menyebabkan sebab untuk melakukan tindakan yang seharusnya. Misalnya saja, jawab dari masalah pemogokan itu ialah gaji buruh terlalu rendah, seharusnya upah dinaikkan. Akan tetapi, meskipun tahu jawabnya, orang tidak memenuhinya. Pada hakikatnya tangan berfungsi untuk memegang dan bekerja, tetapi kenyataannya tidak semua orang suka bekerja dan tidak pasti orang suka turun tangan menyelesaikan masalah. Juga tidak setiap kabar, misalnya kabar bencana alam, tidak tentu menyebabkan tahu;tinya orang tidak mau mengatasinyaa dan tidak mau tahu. Akhirnya, tidak semua luka, penderitaan, tidak menjadi kaca, cermin untuk memandang Kau (Tuhan) atau tidak kepada Tuhan, yang kelihatan pada wajah si aku.
b.      Personifikasi
Personifikasi yang terdapat dalam sajak-sajak Sutardji, selain yang biasa ada juga yang tidak biasa. Personifikasi biasa ialah benda alam berbuat sebagai manusia, misalnya laut bersendawa kenyang (“Pantai”). Personifikasi yang tidak biasa adalah yang berupa metafora dan yang tidak biasa dibayangkan orang atau tidak menurut logika yang biasa, misalnya langit memulai jejak (“Dapatkau”).
Personifikasi Sutardji, baik personifikasi yang biasa maupun yang tidak biasa menunjukkan kreasi baru. Dengan personifikasi semacam itu, lukisan menjadi dramatis dan hidup serta ada gerak. Hal itu menyebabkan ide yang abstrak jadi konkret. Di samping itu, personifikasi itu membuat orang berpikir atau berkontemplasi karena bentuknya yang aneh itu.
SOP
aku sedang makan sop hitam
dari darahku
dan mengisapnya sampai perutku besar
darahku penuh anjing anjing hitam
melolong menggigit jam
jantungku memompakan kucing-kucing hijau
melingkari pinggang hutan
darahku berteriak
berdentam dentum
dalam kamus yang tak dicetak
dan tak diterbitkan
aku sedang makan sop hitam
dari darahku
dan mengisap
selahap lahap segila-gilanya
seperti perempuan dalam film baru
mengisap lengan
(hal. 5)

c.       Sinekdos
Sinekdos pada umumnya dengan menyebut bagian sebagai keseluruhan atau keseluruhan untuk menyebut bagian. Sinekdos ini membuat lukisan langsung pada hakikatnya yang ditunjuk atau pada pusat perhatian. Begitulah sinekdos yang dipergunakan oleh Sutardji. Pada umumnya sinekdos yang terdapat dalam sajaknya adalah pars pro toto atau bagian untuk keseluruhan.
Misalnya:

Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan
hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan
seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh?
mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampai mengapa
gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk
diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai se-
dang lambai tak sampai. Kau tahu?
                                                                                    (“Batu”, hal.13)

Seribu gunung, perawan, sibuk, beringin, adalah totum pro parte; peluk, dan tangan adalah pars pro toto.
4.      Citraan
Untuk memberi rangsangan indraan dan mengkonkretkan tanggapan, Sutardji memberikan gambaran-gambaran angan yang jelas seperti aku telah mengecup luka (“Ah”). Gambaran tersebut untuk menggambarkan dengan jelas segala perasaan, derita, harapan, dan pengalaman lain yang telah dialaminya untuk mendapatkan “rasa yang dalam”.
Dapat dikatakan, Sutardji mempergunakan segala macam jenis citraan dalam sajaknya, seperti penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, ppengecapan, dan juga citraan gerak.
Untuk memberi gambaran yang jelas dapat diindra mata, maka benda-benda diberi jumlah bilangannya, bahkan benda-benda abstrak (tidak tentu tokohnya).
MANTERA
lima percik mawar
tujuh sayap merpati
sesayat langit perih
dicabik puncak gunung
sebelas duri sepi
dalam dupa rupa
tiga menyan luka
mengasapi duka
                     
puah !
kau jadi Kau !
kasihku
(hal. 17)

Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan
hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan
seribu beringin ingin tak teduh.
(“Batu”, hal.13)
Citraan Sutardji secara keseluruhan menunjukkan imaji-imaji alam, seperti sungai, laut, muara, langit, burung, ikan, buaya, hiyu, beringin, batu, dan mawar, seperti kelihatan dalam: siapa sungai yang paling derai siapa langit yang paling rumit siapa laut yang paling larut; lima percik mawar, tujuh sayap merpati, sesayat langit perih (“Mantera”, hal. 17); batu mawar, batu langit (“Batu”, hal. 13).
Imaji-imaji ini rupanya sesuai dengan dunia mantra dan suasana relegius dalam artinya yang luas, bahwa untuk mendekati yang gaib dan Yang Mahatinggi itu si aku tidak ingat kepada kehidupan sehari-hari yang bising dan alam, sesuai dengan pencipta ketenangan batinnya.
Di samping imaji-imaji alam itu, yang tampak menonjol dalam sajak Sutardji ialah imaji-imaji yang menggambarkan keresahan, kegelisahan, penemuan antara aku dan kau. Imaji-imaji itu tampak dalam kata-kata yang terdapat dalam sajak-sajaknya yaitu risau, rusuh, resah, igau, renyai, sangsai, waswas, nyeri, luka, derita, langit, dan sebagainya.

5.      Sarana Retorika
Untuk mendapatkan intensitas dan ekspresivitas, Sutardji menggunakan sarana retorika juga. Sarana retorika yang paling menonjol dalam sajak-sajaknya ialah ulangan. Di samping itu, tampak juga paradoks, hiperbola, penjumlahan, dan pertanyaan retoris.
a.      Ulangan
Seperti dalam kredo puisinya (1974: 361), dalam menulis puisi Sutardji mengembalikan kata kepada mantra. Oleh karena itu, tampak gaya mantra dalam sajak-sajaknya (hampir seluruhnya), yang ditandai dengan ulangan yang berangkai.
PIL
memang pil seperti pil macam pil walau pil
hanya pil hampir pil sekedar pil ya toh pil
meski pil tapi tak pil apalah pil
aku demam pil bilang
obat jadi barah
apakah pasien
tempeleng!
1976
(hal. 6)
Dalam mantra, untuk intensitas dan mendapatkan tenaga magis, kelihatan ulangan-ulangan yang berturut-turut. Hal ini tampak juga dalam sajak-sajak Sutardji. Akan tetapi, tentu saja Sutardji tidak untuk mendapatkan tenaga magis dalam arti yang sesungguhnya. Memang ulangan Sutardji yang berturut-turut memberi daya pesona, tetapi tidak mengandung kekuatan magis seperti mantra. Ulangan Sutardji yang berturut-turut menuju ke sebuah klimaks untuk membuat pemusatan, membuat orang berkontemplasi dan membuat liris.
Ulangan-ulangan dalam sajak Sutardji bermacam-macam. Namun, semuanya itu hampir berupa ulangan yang berlebih-lebihan. Ulangan ituberupa ulangan suku kata, kata, frase, dan kalimat. Yang terbanyak adalah ulangan pola kalimat yang berupa persetujuan (paralelisme) atau juga penjumlahan, seperti pada “Ah”, “Dapatkah”, dan “Batu”.
Ulangan kata itu banyak sekali terdapat di depan, di tengah, atau di belakang dari frase atau kalimat. Ulangan kata itu di posisi depan banyak sekali, misalnya:
BATU
batu mawar
batu langit
batu duka
batu rindu
batu jarum
batu bisu
                        (hal. 13)

Pada sajak “Batu”, dapat kita lihat pengulangan kata batu di posisi awal. Ulangan kata di posisi tengah seperti pada sajak “Puake”, puan jadi celah, celah jadi sungai, sungai jadi muare, muare jadi perahu, perahu jadi buaye, buaye jadi puake, puake jadi ukau, pukau jadi mau, (“Puake”) Ulangan kata di posisi belakang pada kutipsn sajak Orang Yang Tuhan berikut:
orang yang tuhan
nyelinap dalam lukamu
minum arak lukamu
ketawa dari lukamu
berjingkrak dari lukamu
baring dalam lukamu
pulas dalam lukamu
bangun dari lukamu
pergi dari lukamu
                                                (hal. 1)
Pada sajak “Orang Yang Tuhan” tersebut, dapat kita lihat pengulangan kata lukamu pada posisi belakang. Ulangan frase dalam sajak-sajak sutardji beberapa anafora, yaitu ulangan di posisi depan dalam kalimat. Ulangan frase semacam itu banyak sekali kelihatan seperti pada sajak “Jadi”.
JADI
tidak setiap derita............
tidak setiap sepi...............
tidak setiap tanda..............
tidak setiap tanya................
tidak setiap jawab..............
tidak setiap seru.............
tidak setiap tangan...........
tidak setiap kabar...........
tidak setiap luka............
(hal. 14)
Ulangan pola kalimat dalam sajak-sajak Sutardji ada dua macam. Yang pertama ulangan berupa persejajaran bentuk dan isinya, yang biasa disebut paralelisme, yaitu perulangan pola kalimat dengan mengubah sedikit, tetapi inti atau maksudnya serupa. Ulangan jenis pertama tampak dalam “Ah”, “Batu”, “Jadi”.
b.      Penjumlahan
Penjumlahan juga banyak sekali terdapat dalam sajak-sajak Sutardji. Penjumlahan di sini pada umumnya juga berupa ulangan yang tampak dalam “Ah”, “Mana Jalanmu?”, “Mantera”, dan sebagainya.
MANTERA
lima percik mawar
tujuh sayap merpati
sesayat langit perih
dicabik puncak gunung
sebelas duri sepi
dalam dupa rupa
tiga menyan luka
mengasapi duka

puah !
kau jadi Kau !
kasihku
(hal. 17)
Gaya penjumlahan Sutardji pada umumnya berupa ulangan yang beruntun. Gaya ini merupakan sarana retorika kedua sesudah ulangan dan sangat banyak dalam sajak-sajak Sutardji. Gaya penjumlahan Sutardji pada sajak “Mantera” di atas terdiri atas dua frase, seperti lima percik mawar,; tujuh sayap merpati; dicabik puncak gunung; sesayat langit perih; sebelas duri sepi.

c.       Hiperbola
Sejajar pula dengan perulangan dan penjumlahan, untuk menekankan, pemusatan, dan penonjolan, maka hiperbola, sarana untuk melebih-lebihkan itu, dalam sajak-sajak Sutardji memperkuat efek pemusatan itu, hingga yang dikemukakan oleh Sutardji dalam sajak-sajaknya menjadi mutlak.
WALAU
walau penyair besar
takkan sampai sebatas allah

dulu pernah kuminta tuhan
dalam diri
sekarang tak

kalau mati
mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat
jiwa membumbung dalam baris sajak

tujuh puncak membilang bilang
nyeri hari mengucap ucap
di butir pasir kutulis rindu rindu
walau huruf habislah sudah
alifbataku belum sebatas allah
1979
(hal.10)

Hiperbola dalam sajak “Walau” di atas dapat kita lihat melalui kutipan tujuh puncak membilang bilang. Dari kalimat tersebut, Sutardji berlebih-lebihan dalam menggambarkan kerinduannya terhadap sang pencipta. Hiperbola dapat pula kita lihat pada sajaknya “Sop”.

SOP
aku sedang makan sop hitam
dari darahku
dan mengisapnya sampai perutku besar
darahku penuh anjing anjing hitam
melolong menggigit jam
jantungku memompakan kucing-kucing hijau
melingkari pinggang hutan
darahku berteriak
berdentam dentum
dalam kamus yang tak dicetak
dan tak diterbitkan
aku sedang makan sop hitam
dari darahku
dan mengisap
selahap lahap segila-gilanya
seperti perempuan dalam film baru
mengisap lengan
(hal. 5)
Dalam sajak “Sop” tersebut, Sutardji mengambarkan kelahapannya memakan “sop” yang merupakan metafora dari sesuatu yang dimakannya secara berlebihan. Seperti pada kutipan dan mengisapnya sampai perutku besar; selahap lahap segila-gilanya.

d.      Pertanyaan Retoris
Untuk memperkuat pemusatan dan kontemplasi pada masalah atau hal yang dikemukakan, Sutardji mempergunakan gaya pertanyaan retoris dan paradoks. Pertanyaan retoris bermaksud mempertanyakan yang jawabnya tidak diberikan, ataupun diberikan untuk lebih menyadarinya. Keduanya itu dipergunakan oleh Sutardji.



e.       Paradoks
Sarana retorika ini merupakan pernyataan yang bersifat mempertentangkan sehingga menyebabkan orang berfikir atau memikirkan hal yang dikemukakan. Gaya paradoks ini berguna untuk menarik perhatian pembaca. biasanya paradoks itu dipergunakan dalam sajak yang filosofis. Kelihatan ada beberapa paradoks dalam Sampai, yang tampak dalam “Batu”, dan “Jadi”.
Sajak “Hilang” misalnya, seluruhnya merupakan paradoks. Paradoks itu terjadi pada tiap-tiap bait, dan antara bait pertama, kedua dengan bait ketiga dan keempat. Hal itu merupakan paradoks bila batu yang tidak bergerak itu kehilangan diam: batu kehilangan diam. Juga merupakan paradoks bila hilang itu sama dengan ketemu. Pertentangan yang tajam demikian ini disebut oxymoron (Abrams, 1971: 119). Aku yang sangat khusuk itu menyebabkan segala sesuatu itu hilang, bahkan diri sendiri pun hilang, sehingga Kau kehilangan aku. Karena si aku itu berpikir atau dalam keadaan sangat khusuk, maka segalanya hilang dan hanya dalam suasana yang khusuk itu, maka Kau bertemu aku.








BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
1.      Dalam hal kosa kata, Sutardji menggunakan kosa kata sehari-hari untuk mendapatkan kepuitisannya
2.      Sutardji Calzoum Bachri melakukan penyimpangan dari tata bahasa normatif untuk mendapatkan kepuitisan sajak-sajaknya. Dapat dikatakan, penyimpangan-penyimpangan sajak Sutardji menurut pandangan pada waktu sekarang merupakan penyimpangan ketatabahasaan yang hebat. Sutardji tidak melakukan penyimpangan biasa seperti pembalikan susunan subjek-predikat menjadi predikat-subjek, karena baginya hal itu adalah hal yang biasa sehingga tidak atau kurang memberikan efek puitis
3.      Dalam hal penggunaan tanda baca, Sutardji membuat kalimat-kalimat yang berturut-turut, yang memberi efek stream of consciousness, yang sangat panjang tanpa dibatasi titik atau koma. Banyak sajak Sutardji yang menghapuskan tanda baca. Beliau sangat hemat mempergunakan tanda baca, dan bila tidak sangat perlu tidak dipergunakan. Selain tanda baca, Sutardi banyak sekali menghilangkan imbuhan dalam sajak-sajaknya.
4.      Dalam sajak-sajak Sutardji, terdapat pembentukan jenis kata yang langssung menjadi jenis kata yang lain tanpa memberi imbuhan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan kepadatan yang menyebabkan ekspresivitas yang kuat. Beliau mengeksploitasi hal itu. Kata benda dan kata kerja langsung dijadikan kata sifat atau kata keadaan.
5.      Untuk intensitas dan untuk menimbulkan arti baru ataupun pertentangan arti, Sutardji mempergunakan permainan kata dan bunyi.
6.      Sajak-sajak Sutardji pada umumnya penuh dengan metafora, bahkan ia mempermainkannya secara berturut-turut hingga menyebabkan sajak-sajak penuh kegandaan arti.
7.      Sutardji banyak menggunakan kiasan-kiasan yang bahkan bertentangan dengan logika biasa. Begitulah bentuk personifikasi yang digunakan Sutardji. Baginya, metafora yang dibentuk melalui pemikiran yang menyimpang dari logika biasa merupakan ungkapan yang sampai kepada hakikatnya.
8.      Sutardji banyak menggunakan citraan penglihatan, tetapi lebih merata dalam mengkombinasikannya dengan citraan yang lain. Hal ini disebabkan Sutardji banyak menggunakan sarana retorika penjumlahan. Citraan Sutardji yang tampak menonjol dalam sajak-sajaknya adalah citra-citra keresahan, kegelisahan, penderitaan, dan kesia-siaan dalam usaha mencapai pertemuan antara si aku, dengan kau, atau Dia.
9.      Citraan Sutardji lebih banyak menunjukkan citra-citra alam, pada umumnya kurang sesuai dengan kehidupan sehari-hari yang relistis, sebab pada umumnya renungannya ada di luar kehidupan sehari-hari.
10.  Untuk mendapatkan kepuitisan dengan sarana retorika, Sutardji menggunakan sarana retorika pengulangan; sesudah itu hiperbola, penjumlahan, dan pertanyaan retoris. Pada umumnya Sutardji secara “habis-habisan” atau berlebih-lebihan mempergunakan sarana-sarana retorika, sesuai dengan gaya mantra. Ulangan Sutardji adalah ulangan beruntun atau ulangan yang memberi efek stream of consiousness, dan ulangan suku kata seperti dalam sajak “Tragedi Winka & Sihka.

B.     SARAN
Penulis berharap agar penganalisisan karya sastra umumya, penganalisisan puisi khususnya dilanjutkan karena dilihat saat sekarang ini kepedulian masyarakat terhadap karya sastra, khususnya puisi mulai pudar terutama kalangan remaja, umumnya hanya gemar membaca karya sastra bergenre pop tanpa memperhatikan nilai estetik yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Penulis juga berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi yang membutuhkan, terutama dalam bidang ilmu apresiasi puisi.











DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H. 1971. A Glossary of Literary Term. New York: Holt Rinehart and Winston

Alternbernd, Lynn dan Leslie L Lewis. 1970.  A Handbook for the Study of Poetry. London: The Macmillan

Bachri, Sutardji Calzoum. 1980. Bersama Sampai: Bertemu Air Bening Di Yogya. Jakarta: Masyarakat Poetika Indonesia IKIP Muhammadiyah Yogyakarta

Becker, A.L. 1978. Linguistik dan Analisis. Jakarta: Yayasan Indonesia

Culler, Jonathan. 1977. The Cristicism of Poetry. London: Longman

Hill, Knox C. 1966. Interoreting Literature. Chicago: Phoenix Books. The University of Chicago Press

Jalil, Abdul dan Elmustian Rahman. 2004. Teori Sastra. Pekanbaru: Labor Bahasa, Sastra, dan Jurnalistik Universitas Riau

Junus, Umar. 1976. Misteri dalam Mantera, Budaya Jaya. No. 6. Jakarta: DKJ

Pradopo, Rachmat Djoko. 1985. Bahasa Puisi Penyair Utama Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1976. Theory of Literature. Harmondsworth: Penguin Book