Entri Populer

Selasa, 03 Januari 2012

PALEOGRAFI DAN KODIKOLOGI


BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Filologi merupakan satu disiplin yang ditujukan pada studi tentang teks yang tersimpan dalam peninggalan tulisan masa lampau. Studi teks ini didasari oleh adanya informasi tentang hasil budaya manusia pada masa lampau yang tersimpan di dalamnya. Oleh karena itu, sebagai satu disiplin, filologi tergolong dalam ilmu-ilmu kemanusiaan yang bertujuan untuk mengungkapkan hasil budaya masa lampau yang tersimpan dalam peninggalan yang berupa karya tulisan. Konsep tentang ‘kebudayaan’ dihubungkan antara lain dengan buah pikiran, perasaan, kepercayaan, adat istiadat, dan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat.
Karya tulisan pada umumnya menyimpan kandungan berita masa lampau yang mampu memberikan informasi secara lebih terurai. Apabila informasi yang terkandung dalam karya-karya tulisan mempunyai cakupan informasi yang luas, menjangkau berbagai segi kehidupan masa lampau, maka pengetahuan yang dipandang mampu mengangkat informasi yang luas dan menyeluruh itu dipahami sebagai kunci pembuka pengetahuan.
Berdasarkan pandangan inilah pengkajian terhadap teks-teks yang tersimpan dalam peninggalan tulisan masa lampau tersebut disebut sebagai pintu gerbang untuk mengungkapkan khazanah masa lampau, karena karakteristik naskah-naskah lama sebagai hasil kebudayaan diduga kuat banyak mengandung buah pikiran, perasaan, tradisi, adat-istiadat, dan budaya yang pernah ada sebelumnya.
Selain itu, dengan pendekatan filologi ini akan diketahui kekayaan suatu bahasa dan tradisi berpikir masyarakat yang tidak selalu sama dengan masyarakat lain. Setiap bahasa memiliki akar serta lingkungan kultural yang khusus dari suatu masyarakat tertentu, karena di tiap lingkungan masyarakat tentu memiliki perbedaan kondisi sosial, psikologi, antropologi, dan geografi yang berbeda.
Sebagai hasil budaya masa lampau, peninggalan tulisan perlu dipahami dalam konteks masyarakat yang melahirkannya. Pengetahuan tentang berbagai konvensi yang hidup dalam masyarakat yang melatarbelakangi penciptaannya mempunyai peran yang besar bagi upaya memahami kandungan isinya. Dalam perkembangannya, karya-karya tulisan masa lampau yang didekati dengan filologi berupa karya-karya yang mempunyai nilai yang tinggi di dalam masyarakat. Informasi mengenai masa lampau suatu masyarakat, yang meliputi berbagai segi kehidupan dapat diketahui oleh masyarakat masa kini melalui peninggalan-peninggalan, baik yang berupa benda-benda budaya maupun karya-karya tulisan.
Filologi sangat berhubungan dengan kodikologi dalam usaha penyelamatan dan pelestarian naskah kuno. Jika kodikologi mengkaji naskah kuno dari segi fisiknya, maka filologi mengkaji naskah kuno mengenai isi kandungan naskah kuno tersebut. Selanjutnya, filologi dan kodikologi berhubungan pula dengan paleografi. Oleh karena itu, pengkajian terhadap paleografi dan kodikologi tidak bisa dipisahkan dengan filologi.

1.2  Permasalahan
Para penulis naskah melahirkan sebuah karya yang nantinya akan bermanfaat bagi pembacanya. Mereka menuangkan ide mereka, kemudian menulis dengan tinta yang pada umumnya menggunakan tinta hitam dan merah untuk mengungkapkan kata-kata atau hal-hal yang penting, bahkan kadang mereka tidak segan-segan mengeluarkan biaya besar untuk menulis dengan menggunakan tinta emas sekalipun, demi untuk menarik minat pembacanya. Penulisan teks itu menggunakan macam-macam tulisan kuno. Ilmu tentang macam-macam tulisan kuno disebut paleografi.  
Ketika mesin cetak belum ditemukan, transmisi teks dilakukan secara manual. Artinya, kalau ada yang ingin memiliki buku, maka dia harus menyalinnya sendiri atau meminta orang lain untuk melakukannya. Kita mengenal ada beberapa orang yang persis bekerja sebagai penyalin buku dan menjadikannya sebagai sumber penghidupan. Tetapi bisa jadi, karena jarangnya orang yang bisa menulis, ada saat-saat di mana para penyalin menjadi sangat sibuk sehingga terbuka untuk melakukan kesalahan. Hisyam bisa dengan mudah tertulis Hasyim atau, mungkin karena penulisnya ngantuk, Dam b. Rabi’ah menjadi Adam b. Rabi’ah dan Aqram menjadi Arqam. Hasil peninggalan seperti inilah yang dianggap sebagai bahan tulisan tangan teks-teks klasik yang dinamakan dengan kodikologi.
Faktor-faktor lain yang bisa membuat kesalahan dalam kegiatan penyalinan teks semakin sering dilakukan. Pertama, teknologi yang sangat terbatas. Tidak ada komputer, listrik, telepon, dan AC pada masa itu. Menyalin buku menjadi perkerjaan yang bisa jadi tidak nyaman. Kualitas penerangan yang kurang membuat mata cepat lelah. Iklim yang demikian panas membatasi orang untuk bekerja maksimal. Kedua, stabilitas sosial politik pada masa itu tidak sebaik seperti sekarang. Para penyalin ikut menjadi korban peperangan. Paling tidak konsentrasi mereka terganggu. Ketiga, faktor perkembangan bahasa. Bahasa Arab pada masa itu adalah bahasa Arab yang masih dalam proses perkembangan. Gigi dan titik belum dipakai secara konsisten sehingga sulit dibedakan mana ba, ta dan tsa, misalnya. Perbedaan baca di antara para penyalin menjadi hal yang tak terelakkan. Teks yang dihasilkan menjadi bebeda antara satu dengan yang lainnya. Keempat, faktor idiologis juga berperan penting dalam perubahan teks. Misalnya terjadi perubahan tanggal lahir pada seorang tokoh yang diceritakan. Hal itu bisa terjadi karena kelalaian penulis atau penyalin teks, tetapi bisa jadi juga lebih dari itu. Sebuah teks harus ditempatkan dalam konteks besar yang melahirkannya. Bagi seorang filolog adalah penting untuk terlebih dahulu mengidentifikasi teks dengan kelompok-kelompok keberagamaan yang ada.
Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah dalam makalah ini ialah bagaimanakah penerapan paleografi dan kodikologi di nusantara? Rumusan masalah tersebut bisa penulis uraikan sebagai berikut:
a.       Bagaimanakah penerapan paleografi di Nusantara?
b.      Bagaimanakah penerapan paleografi di Nusantara?

1.3  Tujuan Penelitian
Tujuan pembuatan makalah ini ialah untuk mendeskripsikan penerapan paleografi dan kodikologi di nusantara
BAB II PALEOGRAFI DAN KODIKOLOGI SERTA PENERAPANNYA
2.1  Pengertian
Istilah kodikologi berasal dari kata Latin ‘codex’ (bentuk tunggal; bentuk jamak ‘codies’) yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ‘naskah’–bukan menjadi ‘kodeks’. Sri Wulan Rujiati Mulyadi mengatakan kata ’caudex’ atau ‘codex’ dalam bahasa Latin menunjukkan hubungan pemanfaatan kayu sebagai alas tulis yang pada dasarnya kata itu berarti ‘teras batang pohon’. Kata ‘codex’ kemudian di berbagai bahasa dipakai untuk menunjukkan suatu karya klasik dalam bentuk naskah. Kodikologi merupakan ilmu yang digunakan untuk melakukan preservasi fisik naskah. Kodikologi mempelajari seluk-beluk atau semua aspek naskah, antara lain bahan umur, tempat penulisan, dan perkiraan penulis naskah.
Dain mengatakan bahwa kodikologi adalah ilmu mengenai naskah-naskah dan bukan mempelajari apa yang tertulis di dalam naskah. Dain juga menegaskan walaupun kata kodikologi itu baru, ilmu kodikologinya sendiri bukanlah hal yang baru. Selanjutnya Dain juga mengatakan bahwa tugas dan “daerah” kodikologi antara lain ialah sejarah naskah, sejarah koleksi naskah, penelitian mengenai tempat naskah-naskah yang sebenarnya, masalah penyusunan katalog, penyusunan daftar katalog, perdagangan naskah, dan penggunaan-penggunaan naskah itu.
Kodikologi, atau biasa disebut ilmu pernaskahan bertujuan mengetahui segala aspek naskah yang diteliti. Aspek-aspek tersebut adalah aspek di luar isi kandungan naskah tentunya. Naskah adalah semua dokumen tertulis yang ditulis tangan, dibedakan dari dokumen cetakan atau perbanyakannya dengan cara lain. Kata ‘naskah’ diambil dari bahasa Arab nuskhatun yang berarti sebuah potongan kertas.
Naskah diartikan sebagai karangan dengan tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa masa lampau (Baroroh, 1994: 55). Tempat di mana naskah-naskah/ manuskrip disalin oleh para juru tulis disebut skriptorium atau skriptoria (bentuk jamak). Sebelum ditemukan mesin cetak, tempat di mana buku-buku diproduksi juga disebut dengan scriptorium.
Naskah Melayu, menurut Mamat (1985: 5) adalah apa-apa tulisan Jawi berbahasa Melayu yang ditulis dengan tangan di atas bahan-bahan seperti kertas, kulit, lontar, buluh, gading, kayu, kain, dengan isi kandungan dan jangka waktu yang tidak terbatas. Naskah bertulis dalam bahasa Aceh dan Minangkabau serta naskah yang ditulis dalam bahasa Arab yang ditulis oleh orang Melayu dianggap sebagai naskah Melayu.
Data yang terdiri dari karakter-karakter yang menyatakan kata-kata atau lambang-lambang untuk berkomunikasi oleh manusia dalam bentuk tulisan disebut teks (Sumber: www.total.or.id). Tekstologi ialah ilmu yang mempelajari seluk beluk dalam teks meliputi meneliti penjelmaan dan penurunan teks sebuah karya sastra, penafsiran, dan pemahamannya. Dengan menyelidiki sejarah teks suatu karya. (Sumber: www.wikipedia.org/).
Paleografi adalah ilmu macam-macam tulisan kuna. Ilmu ini mutlak untuk penelitian tulisan kuno atas batu, logam, atau bahan lainnya. Paleografi mempunyai norma-normanya sebagai karya sastra. Pertama, menjuabarkan tulisan kuna sangat sulit baca. Kedua, menempatkan berbagai peninggalan tertulis dalam rangka perkembangan umum tulisannya dan atas dasar itu menentukan waktu dan tempat terjadinya tulisan tertentu. Hal ini sangat penting untuk mempelajari tulisan tangan karya sastra yang biasanya tidak menyebutkan bilamana dan di mana atau suatu karya lain, seperti interpungsi, panjang jarak berbaris-baris. Bahkan naskah, urutan, tinta dan sebagainya.
Untuk memperoleh gambaran tentang macam-macam tulisan kuna dan perkembangannya di Indonesia, di bawah ini dipaparkan jenis-jenis tulisan pada beberapa prasasti yang tersebar di Nusantara yang gayut dengan fungsinya sebagai penunjang penelitian naskah.
1.      Tulisan palawa untuk bahasa sanksekerta pada abad ke-4, dipakai di daerah-daerah luar kerajaan Palalawa yang mendapat pengaruhnya, termasuk kepulauan Indonesia. Huruf palalawa di nusantara dapat dibedakan atas dua macam, palalawa awal (early) dan Balawa lanjut (later)   
2.      Tulisan Pra-Nagari yang asalnya dari India Utara dipakai untuk menulis prasasti Budha dalam bahasa Sanksekerta di Jawa Tengah pada abad ke-8 (De Casparis, 1995: 176),
3.      Tulisan kawi atau Jawa Kuna yang merupakan kelanjutan tulisan Palawa diketahui kira-kira pertengahan abad ke-8 pada prasaasti Dinoyo di Jawa Timur (760) yang kemudian berkembang lebih lanjut sampai abad ke-13 sebagai tulisan pada prasasti di jawa Timur, Bali, dan Sunda.
4.      Tulisan Jawa periode Majapahit (Jawa Tengah) dari ke-13 sampai abad abad ke-15. Sementara itu, sampai akhir abad ke-16 atau kemudiann tulisan di Jawa telah berkembang bentuk tulisan Jawa modern yang khas.
5.      Tulisan Melayu digunakan di beberapa bagian Sumatra yaitu di daerah Batak, Bengkulu, Kerinci, dan Lampung dari zaman  Raja Adityawarman
6.      Tulisan Makasar dan bugis di Sulawesi Selatan
7.      Tulisan Bima di Sulawesi Timur
8.      Huruf Arab untuk bahasa Melayu Lama terdapat pada prasasti batu di Terengganu pada abad ke-14

2.2  Sejarah Paleografi dan Kodikologi di Nusantara
Istilah kodikologi (codicologie) diusulkan oleh seorang ahli bahasa Yunani, Alphonse Dain, dalam kuliah-kuliahnya di Ecole Normale Seprieure, Paris, pada bulan Februari 1944. Akan tetapi istilah ini baru terkenal pada tahun 1949 ketika karyanya, ‘Les Manuscrits’ diterbitkan pertama kali pada tahun tersebut. Dain sendiri mengatakan bahwa kodikologi adalah ilmu mengenai naskah-naskah dan bukan mempelajari apa yang tertulis di dalam naskah. Dain juga menegaskan walaupun kata kodikologi itu baru, ilmu kodikologinya sendiri bukanlah hal yang baru (Hermans dan Huisman).
Paleografi di bumi Melayu didahului oleh penggunaan aksara Jawi. penggunaan aksara Jawi terus berkembang pesat selama berabad-abad untuk berbagai bidang kehidupan yang menggunakan tulisan, tak semata-mata dalam bidang kesusastraan. Pada 1850 Raja Ali Haji membakukan aturan ejaan aksara Jawi dalam kitabnya Bustanulkatibin, di samping berisi tata-bahasa bahasa Melayu. Dalam masyarakat Melayu-Indonesia pemakaian ejaan Jawi baru terhenti— utamanya dalam naskah cetakan—sampai awal abad ke-20. Peranannya digantikan oleh ejaan yang menggunakan aksara Latin. Penulisan bahasa Melayu dengan aksara Latin dimulai pada tahun 1901 yaitu ketika Ch. A. van Ophuysen dibantu oleh Engku Nawawi gl. St. Makmur dan M. Taib St. Ibrahim menerbitkan Kitab Logat Melajoe, yang merupakan pedoman ejaan Latin resmi pertama untuk bahasa Melayu di Indonesia. Untuk kasus di Sumatera Barat (baca: Minangkabau), banyak ditemukan naskah yang ditulis dengan menggunakan aksara Jawi dan sebagian kecilnya dengan aksara Latin dan Arab. Hal ini membedakan dengan skriptorium di wilayah lain yang banyak menggunakan aksara daerah. Hal ini dikarenakan Minangkabau tidak mempunyai aksara. Meskipun ada pendapat yang menyatakan bahwa ada kemungkinan aksara-aksara Sumatera berasal dari Sumatera bagian Tengah dan kemungkinan Minangkabau. Hal ini disebabkan karena aksara yang terdapat di Sumatera mempunyai model dasar yang sama. Akan tetapi, ke Utara memperlihatkan pengembangan yang berbeda dengan pengembangan di bagian Selatan. Masing-masing, baik di Utara dan di Selatan memperlihatkan pengembangan dengan model yang sama.
Akan tetapi, anehnya tidak ada peninggalan bertulis yang menggunakan “aksara Minangkabau”. Hal ini diperkirakan bahwa peninggalan itu mungkin pernah ada, tetapi sudah musnah karena waktu dan proses alam. Ada juga kemungkinan bahwa kemusnahan tersebut disebabkan dengan adanya gerakan pemurnian Islam yang terjadi di Minangkabau. Segala sesuatu yang dipandang tidak Islam dihancurkan, termasuk tulisan itu. Tentang persoalan ini, Kozok (1999: 65-66) mengungkapkan seperti berikut ini.
“Di antara aksara-aksara Nusantara yang paling dekat dengan aksara Batak adalah aksara Kerinci, Rencong, dan Lampung ... Salah satu budaya asing adalah masuknya agama Islam. Serentak dengan penyebaran agama Islam, bersebar pula tulisan Arab yang di Melayu dikenal dengan tulisan Jawi. Aksara “Arab-Gundul” tersebut cepat menggantikan aksara-aksara Sumatera asli yang kemudian hilang sama sekali. ... Besar kemungkinan aksara Minangkabau dan Melayu juga pernah ada tetapi kemudian digantikan oleh tulisan Arab-Melayu sehingga hilang tak berbekas.”

Untuk aksara Jawi sendiri, dari beberapa catatan sarjana, seperti Suryadi (2004: 4) menyebutkan bahwa aksara Jawi dikenal luas di Minangkabau pada abad ke-18, dan kemudian disusul dengan pengenalan aksara Latin. Dengan dikenalnya kedua aksara tersebut, maka khasanah sastra lisan Minangkabau banyak dituliskan. Penulisan dengan aksara Jawi di Minangkabau semakin berkurang pada akhir abad ke-20. Hal ini dimungkinkan karena tulisan tersebut tidak lagi dikenali oleh banyak orang. Khalayak luas lebih mengerti dan paham dengan aksara Latin. Kitab-kitab itu tidak dapat dielakkan mempengaruhi pandangan dunia (world view) urang siak tentang Islam, baik tentang tarekat, pandangan sufi, maupun fiqih. Keberadaan Kitab Kuning seperti kitab-kitab itu merupakan sesuatu yang istimewa di kalangan tarekat Syattariyah karena ia adalah sumber rujukan, di dalamnya ada pedoman untuk beribadah dan sumber pengetahuan agama. Biasanya, karena dianggap penting, bagi urang siak yang ingin memiliki kitab tersebut, maka mereka akan menyalin kitab-kitab itu. Kondisi di atas sangat mempengaruhi terhadap tradisi pernaskahan di kalangan ulama, khususnya ulama-ulama Melayu baik di Minangkabau maupun di Riau. Tradisi menulis dan menyalin naskah (kitab) tampak dengan banyaknya khasana naskah Islam yang ditemukan.



2.3  Tokoh-tokoh Paleografi dan Kodikologi
Penelusuran dan penelitian terhadap scriptorium dan naskah-naskah Melayu telah dilakukan oleh beberapa sarjana, khususnya yang berkenaan dengan kajian kodikologi. Kajian kodikologi terhadap naskah-naskah Melayu dapat dikelompokan menjadi dua. Pertama, kajian kodikologi terhadap naskah-naskah Melayu yang dikoleksi di berbagai perpustakaan luar dan dalam negeri. Kedua, kajian kodikologi naskah-naskah yang dikoleksi secara pribadi di tangan masyarakat pemiliknya. Kedua kelompok penelitian tersebut sebagian besar hasilnya adalah katalogus naskah dan sebagian kecil merupakan daftar naskah dari hasil inventarisasi saja.
Hasil kajian yang termasuk pada kelompok pertama, misalnya Ph. S. van Ronkel yang menyusun dua katalogus yang diterbitkan pada 1909 dan 1946. Kedua katalogus itu berjudul Catalogus der Maleische Hanscriften in het Musem van het Bataviaasche Genootschap van Kunsten en Wetenschappen dan Supplement Catalogus der Maleische en Minangkabausche Handscriften in de Leidsche Universiteits-Bibliotheek.
Katalogus yang ke-1 tersebut merupakan katalogus naskah Melayu yang pertama. Katalogus ini merupakan hasil kajian kodikologi naskah-naskah Melayu yang dikoleksi di Bataviaasche Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Jakarta, yang sekarang menjadi salah satu koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta.
Naskah-naskah Melayu koleksi perpustakaan Universiti Malaya, Kuala Lumpur pernah disusun oleh Joseph H Howard pada 1966. Pada saat itu koleksi naskah Melayu di perpustakaan Universiti Malaya belum begitu banyak. Adapun judul katalogus yang ia susun adalah Malay Manuscripts; a bibliography guide.
Sutaarga dkk. (1972) menyusun koleksi naskah Perpustakaan Nasional Republik Indonesia terutama koleksi naskah-naskah Melayu. Katalogus ini berjudul Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat Jakarta. Penyusunan katalogus ini menggunakan bahan-bahan yang dipakai van Ronkel ditambah dengan naskah-naskah yang tercatat dalam Jaarboek 1933 dan 1941 susunan Poerbatjaraka dkk. dan naskah- naskah yang sebelumnya belum dicatat oleh von Ronkel. Katalogus yang disusun M.C. Ricklefs dan P Voorhoeve (1977) berjudul Indonesian Manuscripts in Great Britain: A Catalogue of Manuscript in Indonesian Languages in British Public Collections. Katalogus ini memuat informasi naskah-naskah Melayu dan naskah-naskah lain dari berbagai wilayah Indonesia, seperti Aceh, Bali, Batak, Bugis, Jawa, Kalimantan, Lampung, Madura, Makassar, Melayu, Sunda dan Minangkabau.
Katalogus yang disusun Juynboll pada 1899 berjudul Catalogus van de Malischeen Sundaneesche Handscriften der Leidsche Universiteits-Bibliotheek. Katalogus ini memuat informasi naskah-naskah Melayu dan Sunda yang tersimpan di Perpustakaan Leiden, Belanda. Naskah-naskah melayu yang dimaksud dalam katalogus itu adalah naskah-naskah dengan bahasa Melayu yang asal naskahnya dari Jawa Barat.
Sri Wulan Rujiati Mulyadi (1990) mengkaji naskah-naskah koleksi Museum Samparaja, Bima dan ditambah sebagian naskah-naskah koleksi masyarakat Bima. Pengakajian yang ia lakukan dengan kajian kodikologi untuk penyusunan katalogus. Adapun katalogus yang ia buat berjudul Katalogus Naskah Melayu Bima. E.P. Wierenga (1998) melakukan penelitian naskah-naskah Melayu yang dikoleksi Perpustakaan Universitas Leiden. Selain melakukan pendeskripsian fisik naskah, ia juga menelusuri sejarah pemerolehan naskah-naskah hingga tahun 1896. Katalogus yang ia susun berjudul Catalogue of Malay an Minangkabau Manuscripts in the Library of Leiden University an Other Collections in the Netherlands. Katalogus ini tampaknya juga didasarkan kepada karya Ph. S van Ronkel. Hasil kajian yang termasuk pada kelompok kedua, seperti penelitian yang dilakukan oleh Mu’jizah dan Maria Indra Rukmi (1998). Penelitian yang selanjutnya diterbitkan dengan judul Penelusuran Penyalinan Naskah-naskah  Riau Abad XIX

2.4  Paleografi dan Kodikologi sebagai Khasanah Budaya
Naskah Melayu juga merupakan khasanah budaya yang penting baik secara akademis maupun sosial budaya. Secara akademis melalui naskah-naskah itu dapat diungkap nilai-nilai yang relevan dengan kehidupan sekarang. Secara sosial budaya, naskah-naskah itu merupakan identitas, kebanggaan dan warisan yang berharga. Naskah merupakan hasil kegiatan intelektual dalam masyarakat tradisional (local genius). Naskah merupakan warisan budaya yang berisi beraneka ragam teks karya cipta masyarakat lama yang dapat digunakan untuk penelitian keagamaan, falsafah, kesejarahan, kesusastraan, kebahasaan, persoalan adat-istiadat, perundang-undangan, dan kajian-kajian dengan sudut pandang yang lain (Yusuf [Peny.], 2006: 3).
Adanya praktik jual beli naskah Melayu di Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau merupakan ancaman bagi keberadaan naskah yang menyebabkan banyak naskah yang ke luar dari “kampungnya”. Praktik jual beli tersebut dilakukan oleh pewaris naskah kuno dengan beberapa oknum dari Malaysia dan luar negeri lainnya. Mereka menawarnya hingga jutaan rupiah untuk setiap naskah. Ahli waris naskah kuno yang taraf ekonominya kurang menguntungkan itu pun tergiur. Banyak faktor yang menjadikan daya tarik beberapa oknum dari Malaysia berburu naskah di tiga daerah itu. Di samping faktor geografis yang berdekatan, di wilayah ini juga terdapat ratusan naskah yang masih tersebar di tangan masyarakatnya. Naskah-naskah itu mengandung teks yang beragam, seperti teks kesusastraan, kebudayaan, kesejarahan, dan keislaman dan lain-lain (Pramono, 2008a). Bagaimanapun juga, manuskrip-manuskrip kuno merupakan kekayaan budaya bangsa yang sangat penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan (Robson, 1994:4).

2.5  Tempat-tempat Transmisi Teks
Sumatera Barat (minus Mentawai), Riau dan Kepulauan Riau merupakan wilayah penting tempat sumber naskah Melayu di Indonesia. Di tiga wilayah ini banyak ditemukan skriptorium sebagai pusat kecendekiaan orang-orang Melayu ratusan tahun yang lalu. Dalam konteks umur naskah dan sikap pemiliknya, keberadaan naskah-naskah kuno itu menghadapi masalah yang serius. Masalah yang serius dalam hal pernaskahan di Indonesia pada umumnya dan di Sumatera Barat (minus Mentawai), Riau dan Kepulauan Riau pada khususnya adalah masih banyaknya naskah-naskah yang tersimpan di kalangan masyarakat sebagai milik pribadi. Menjadi masalah karena umumnya naskah-naskah yang kebanyakan ditulis pada sekitar abad XVII, XVIII dan XIX tersebut terbuat dari kertas yang secara fisik tidak akan tahan lama. Sementara pemiliknya sendiri umumnya hanya mengandalkan pengetahuan tradisional untuk merawatnya, sehingga seringkali naskah yang dimiliknya itu saling bertumpuk dengan benda lain, sehingga kertasnya menjadi lapuk, robek, dan akhirnya hilang pula pengetahuan yang tersimpan di dalamnya.
Sebuah Kajian Kodikologi ini mencatat 39 naskah di Pulau Penyengat, tepatnya di Yayasan Indra Sakti. Masih tersisa puluhan naskah di pulau tersebut yang belum diteliti. Di Pulau Penyengat itu terdapat sebuah perpustakaan yang menyimpan naskah-naskah kuno Melayu karya masyarakat Melayu Kepulauan Riau zaman dulu berbahasa Melayu dengan tulisan Arab-Melayu. Di perpustakaan itu terdapat naskah Gurindam Dua Belas yang terkenal karya Raja Ali Haji yang terdiri dari dua belas pasal. Naskah-naskah kuno di Pulau Penyengat itu sudah ada dalam bentuk microfilm yang disimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Namun, setelah ditelusuri lagi via internet ternyata naskah-naskah tersebut sudah didigitalkan oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia tahun 2007.
Beberapa penelitian tentang naskah-naskah Melayu di Sumatera Barat (minus Mentawai), Riau dan Kepulauan Riau pernah dilakukan oleh Pramono (2008a, 2008b, 2007 dan 2006) dan Irina Katkova & Pramono (2008). Dari hasil penelitianya yang berjudul “Fenomena Jual Beli Naskah dan Upaya Penyelamatan Naskah Melayu- Minangkabau”, Pramono (2008a) mengemukakan adanya praktik jual beli naskah Melayu di Sumatera Barat dan Riau. Menurutnya, praktik jual beli naskah mengakibatkan ratusan naskah Melayu ke luar dari tempat asalnya.
Hasil penelitian Pramono (2008b) yang berjudul “Penulisan Naskah-Naskah Tarekat Naqsabandiyah di Surau Ongga, Kelurahan Padang Besi, Kecamatan Lubuk Kilangan Padang” menemukan 8 naskah. Penelitian ini merupakan kajian tekstual dan kontekstual dari naskah.
Penelitian yang lain seperti penelitian yang berjudul “Surau dan Tradisi Pernaskahan di Minangkabau: Studi Atas Dinamika Tradisi Pernaskahan di Surau- Surau di Padang dan Padang Pariaman”, Pramono (2007) melakukan telaah filologis dan kodikologis terhadap 50 naskah. Penelitian ini juga mengungkap faktor-faktor yang melatarbelakangi penulisan naskah di surau-surau di Padang dan Padang Pariaman, Sumatera Barat. Penelitian yang senada juga dilakukan Pramono (2006) dengan judul “Tradisi Penulisan dan Penyalinan Naskah-Naskah Islam Minangkabau: Kajian Atas Imam Maulana Abdul Manaf Amin Al-Khatib dan Karya-Karyanya”. Naskah yang dikaji dalam penelitian ini sebanyak 22 naskah.
Penelitian Irina Katkova & Pramono (2008) yang “Endangered Manuscripts of Western Sumatra: Collections of Sufi Brotherhoods” berhasil melakukan inventarisasi naskah Sumatera Barat dari wilayah Pasaman dan Agam sebanyak 90 naskah. Naskah-naskah ini dideskripsikan dan dan dibuat digitalnya (foto naskah).
Selain tempat-tempat yang pernah dikunjungi dan dijelaskan oleh para peneliti di atas, ternyata masih banyak naskah-naskah Melayu yang masih berserakan yang dimiliki masyarakat di Sumatera Barat (minus Mentawai), Riau dan Kepulauan Riau. Hasil penelusuran dan inventarisasi yang dilakukan di tiga wilayah itu berhasil menemukan ratusan naskah dan berhasil mendeskripsikan sebanyak 173 naskah kuno Melayu. Dari jumlah tersebut, 151 naskah kuno di antaranya ditemukan di Sumatera Barat yang keberadaannya tersebar pada daerah berikut: (1) Kota Padang: Batang Kabung dan Lubuk Kilangan; (2) Kabupaten Dharmasraya: Koto Padang, Pisang Rebus, Kerajaan Pulau Punjung, Kerajaan Padang Lawas, Pulai dan Pisang Rebus; (3) Kabupaten Pesisir Selatan: Bayang dan Rumah Gadang Mandeh Rubiah; (4) Kabupaten Solok Selatan: Muara Labuh dan Bidar Alam; (5) Kabupaten Padang Pariaman: Surau Gadang Ampalu, di Nagari VII Koto, Mesjid Raya Tandikek, Pakandangan, Nagari Pauhkamba, dan Sungai Limau; (6) Kabupaten Agam: Matur dan Surau Darussalam, Sungai Puar; (7) Kabupaten Lima Puluh Kota: Surau Tuo Taram, Surau Suluk, Sarilamak dan Surau Syaikh Abdurrahman, Batuhampar; (8) Kabupaten Pasaman Barat: Surau Al-Amin Kinali; dan (9) Kabupaten Pasaman Timur: Surau Syaikh H. Muhammad Said Bonjol, Surau Tinggi Kumpulan dan Guskurni, Bonjol.
Adapun sisanya, yakni sebanyak 22 naskah kuno ditemukan di Museum Nila Utama, Pekanbaru yang berasal dari beberapa daerah di Riau dan Kepulauan Riau, sebagai berikut: (1) Kabupaten Kampar: Kuok, Siak dan Petapahan; (2) Kabupaten Inhil: Kuala Enok; dan (3) Kabupaten Siak Sri Indrapura: Siak; dan Pulau Penyengat, Kabupaten Tanjung Pinang.
Semua naskah yang ditemukan di tiga daerah di atas beralaskan kertas dan ditulis dengan Aksara Jawi dan Arab. Di dunia Melayu, tidak diketahui kapan pertama kali penggunaan aksara Jawi. Akan tetapi, jelas aksara ini tercipta dan digunakan setelah terjadi pertemuan dunia Melayu dengan agama Islam. Paling tidak aksara Jawi sudah dipergunakan pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, yang disebut Melayu apabila memiliki tiga ciri: berbahasa Melayu, berbudaya Melayu, dan beragama Islam.
Tempat-tempat naskah yang ditemukan semuanya memiliki kaitan dengan tarekat, baik tarekat Syattariyah maupun Naqsabandiyah. Naskah-naskah yang berkaitan dengan tarekat Syattariyah seperti naskah-naskah yang ditemukan di Kota Padang, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Dharmasraya dan Kabupaten Pesisir Selatan.
Naskah-naskah kuno Melayu di Sumatera Barat (minus Mentawai), Riau dan Kepulauan Riau masih banyak ‘berserakan’ di tangan masyarakatnya. Naskah-naskah kuno dengan keragaman kandungan isinya seperti keagamaan, kesejarahan, kesusastraan, pengobatan tradisional, adat-istiadat, folklor dan rajah serta silsilah– yang masih dikoleksi oleh masyarakat di tiga wilayah itu sudah banyak yang hilang dan rusak. Banyak faktor yang menyebabkan kerusakan itu terjadi, terutama faktor sikap pemilik naskah, umur naskah, cuaca dan bencana alam. Faktor lain yang juga sangat mengancam keberadaan naskah Melayu itu adalah adanya praktik jual beli naskah yang dilakukan oleh pewaris naskah dengan beberapa oknum dari Malaysia dan luar negeri lainnya.
Sebanyak 173 naskah Melayu yang ditemukan di Sumatera Barat, Riau dan Kepulan Riau sebagian besar menggunakan bahasa Arab. Oleh karena itu Universitas Islam Negeri (UIN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), dan perguruan tinggi Islam lainnya, tampaknya harus mengambil porsi yang lebih besar, karena UIN/IAIN memiliki SDM yang kuat dalam bidang keislaman, termasuk di dalamnya penguasaan atas bahasa yang banyak digunakan dalam naskah, yakni bahasa Arab.

2.6  Penerapan Paleografi dan Kodikologi
Analisis kodikologi ini, sesuai dengan tujuan, yaitu penyusunan daftar katalog dan juga memberi perhatian pada fisik naskah. Karena dalam katalog, terdapat deskripsi fisik naskah selain informasi di mana naskah itu berada. Pendeskripsian ini berguna untuk membantu para peneliti mengetahui ketersediaan naskah itu sehingga memudahkan penelitian. Pendeskripsian fisik ini dapat berupa judul dan pengarang naskah, tahun dan tempat naskah dibuat, jumlah halaman, latar belakang penulis, dan lain-lain. Analisis kodikologi juga berkembang juga pada ada atau tidaknya illuminasi dan ilustrasi, jumlah kuras naskah, bentuk jilidannya, sejauh mana kerusakan naskah (robek, terbakar, terpotong, rusak karena pernah terkena cairan, dimakan binatang, berjamur, hancur atau patah, dan lain-lain), pendeknya segala hal yang bisa diketahui mengenai naskah itu.
Hal awal yang biasanya dilakukan dalam analisis kodikologi adalah menyusuri sejarah naskah. Sejarah naskah biasanya didapat dari catatan-catatan di halaman awal atau akhir yang ditulis oleh pemilik atau penyimpan naskah itu. Untuk fisik naskahnya, yang dilihat adalah panjang, lebar, ketebalan naskah keseluruhan, panjang, lebar, dan jumlah halaman yang digunakan untuk menulis, dan bahan atau media naskah.
Setelah hal-hal di atas dilakukan, preservasi masuk ke bagian dalam naskah, yaitu bagian naskah yang ditulisi atau teks. Di sini akan dilihat jenis huruf dan bahasa yang digunakan, ada atau tidaknya rubrikasi atau penanda awal dan akhir bagian dalam tulisan (biasanya berupa tulisan yang diwarnai berbeda dengan tulisan isi), ada atau tidaknya catchword/ kata pengait yang biasanya digunakan untuk menandai halaman naskah, bentuk tulisan naskah, apakah seperti penulisan cerita pada umumnya, ataukah berbentuk kolom-kolom hingga dalam satu halaman bisa terdapat dua atau lebih kolom tulisan (seperti syair).
Selanjutnya akan dicek garis bantuan yang digunakan untuk mengatur tulisan, cap kertas (watermark dan countermark) yang menandai perusahaan penghasil kertas alas, ada atau tidaknya iluminasi (hiasan di pinggir naskah) dan ilustrasi (bagian yang berisikan gambar keterangan yang menjelaskan sesuatu dalam naskah). Tidak lupa pula mencatat kerusakan-kerusakan yang ada.

BAB III PENUTUP
3.1  Simpulan
Kodikologi, atau biasa disebut ilmu pernaskahan bertujuan mengetahui segala aspek naskah yang diteliti. Aspek-aspek tersebut adalah aspek di luar isi kandungan naskah tentunya. Paleografi adalah ilmu macam-macam tulisan kuna. Ilmu ini mutlak untuk penelitian tulisan kuno atas batu, logam, atau bahan lainnya. Paleografi mempunyai norma-normanya sebagai karya sastra. Pertama, menjuabarkan tulisan kuna sangat sulit baca. Kedua, menempatkan berbagai peninggalan tertulis dalam rangka perkembangan umum tulisannya dan atas dasar itu menentukan waktu dan tempat terjadinya tulisan tertentu. Hal ini sangat penting untuk mempelajari tulisan tangan karya sastra yang biasanya tidak menyebutkan bilamana dan di mana atau suatu karya lain, seperti interpungsi, panjang jarak berbaris-baris. Bahkan naskah, urutan, tinta dan sebagainya. Analisis kodikologi menyusuri sejarah naskah. Sejarah naskah biasanya didapat dari catatan-catatan di halaman awal atau akhir yang ditulis oleh pemilik atau penyimpan naskah itu. Untuk fisik naskahnya, yang dilihat adalah panjang, lebar, ketebalan naskah keseluruhan, panjang, dan jumlah halaman yang digunakan untuk menulis, dan bahan atau media naskah.

3.2  Saran
Penulis berharap agar kita bisa mengenal peninggalan-peninggalan nenek moyang kita serta turut melestarikannya agar peninggalan-peninggalan tersebut bermanfaaat bagi perkembangan sastra di Nusantara.

DAFTAR PUSTAKA
Baried, Baroroh dkk. 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM.
Hamidy, U.U. 1983. “Naskah Kuno Daerah Riau”. Laporan Penelitian. Pekanbaru: Fakultas Sastra Universitas Riau
Hermans, Jos, M.M. dan Gerda C. Huisman. 1979. “De Descriptione Codicum”. Groningen: Vakgroep Mediaevistik Rijksuniversiteit.
Mulyadi, Sri Wulan Rujiati. 1990. Katalogus Naskah Melayu Bima. Bima: Yayasan Museum Kebudayaan " Samparaja ".
Mu’jizah dan Maria Indra Rukmi. 1998. Penelusuran Penyalinan Naskah-naskah Riau Abad XIX: Sebuah kajian Kodikologi. Jakarta : Program Penggalakan Kajian Sumber-sumber Tertulis Nusantara, FSUI.
Pramono. 2008a. “Fenomena Jual Beli Naskah dan Upaya Penyelamatan Naskah Melayu-Minangkabau”. Laporan Penelitian. Padang : Fakultas Sastra Universitas Andalas.
Sutarga, Amir, dkk. 1972. Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat Jakarta. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Nasional. Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar