Entri Populer

Minggu, 18 September 2011

PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN BUDAYA BERPIKIR MELAYU


Bangsa Melayu cukup kuat pegangannya dengan warisan tradisi mereka terutama budaya setempat dari segi pemahaman Islam, cara berpikir, hidup bermasyrakat dan banyak lagi. Malah mereka sulit menerima suatu bentuk pemikiran baru yang dirasakannya akan menggangu stabilitas kehidupan, terutama yang menyangkut dengan agama mereka. Artinya, pemikiran Melayu lama sangat berpengaruh hingga pemikiran masyarakat Melayu kini, sehingga mereka tidak membuka ruang untuk berfikir lebih jauh, agresif, dan memahami berbagai realita perkembangan dunia di daerah mereka.
Cara berpikir seseorang akan menentukan kemampuannya mengolah akalnya untuk mencapai kemajuan. Orang Melayu bisa menjadi sama majunya dengan etnis-etnis lain di dunia, jika mereka mau mengembangkan budaya berpikir mereka, seperti halnya etnis-etnis lain yang sudah maju, dan mereka bisa melakukannya jika mereka mau. Supaya bisa maju dan mengejar ketertinggalannya dibanding etnis lain, orang Melayu harus menyadari bahwa mereka memang tertinggal bila dibandingkan dengan etnis lain yang sudah maju. Kesadaran itu penting dan hendaknya tidak menimbulkan rasa iri dan dengki terhadap etnis lain, sebaliknya justru membakar semangat mereka untuk maju, mengejar ketertinggalannya itu. Kesadaran itu hendaklah membuat orang Melayu berpikir dan berjiwa besar, menyusun strategi menuju masa depan yang gemilang dan berjuang untuk mewujudkannya.
Makalah ini berjudul Pelestarian dan Pengembangan Budaya Berpikir Melayu. Dalam makalah ini kami akan membahas bagaimana melestarikan dan mengembangkan budaya berpikir Melayu yang sudah ada sejak dulu. Alasan kami memilih untuk membahas hal tersebut adalah:
1.      Untuk melestarikan budaya berpikir Melayu 
2.      Untuk mengembangkan budaya berpikir Melayu agar etnis Melayu bisa menjadi sama majunya dengan etnis-etnis lain di dunia.
3.      Untuk memperkuat etos berpikir generasi muda Melayu
Tujuan pembuatan makalah ini untuk mengajak pembaca umumnya, dan  masyarakat Melayu serta generasi muda Melayu  khususnya, untuk melestarikan dan mengembangkan budaya berpikir yang sudah dicontohkan oleh raja-raja Melayu terdahulu, seperti halnya etnis-etnis yang sudah maju.

 Pelestarian dan Pengembangan Budaya Berpikir Melayu
Pelestarian dalam Kamus Bahasa Indonesia (Eko, 2006) berasal dari kata dasar lestari, yang artinya adalah tetap selama-lamanya tidak berubah. Kemudian, dalam kaidah penggunaan Bahasa Indonesia, pengunaan awalan pe- dan akhiran –an artinya digunakan untuk menggambarkan sebuah proses atau upaya (kata kerja). Jadi berdasarkan kata kunci lestari ditambah awalan pe- dan akhiran –an, maka yang dimaksud pelestarian adalah upaya untuk membuat sesuatu tetap selama-lamanya tidak berubah. Bisa pula didefinisikan sebagai upaya untuk mempertahankan sesuatu supaya tetap sebagaimana adanya.
Merujuk pada definisi pelestarian dalam Kamus Bahasa Indonesia diatas, maka kami mendefinisikan bahwa yang dimaksud pelestarian budaya (ataupun budaya lokal) adalah upaya untuk mempertahankan agar/supaya budaya tetap sebagaimana adanya. Lebih rinci A.W. Widjaja dalam Jacobus (2006:115) mengartikan pelestarian sebagai kegiatan atau yang dilakukan secara terus menerus, terarah dan terpadu guna mewujudkan tujuan tertentu yang mencerminkan adanya sesuatu yang tetap dan abadi, bersifat dinamis, luwes, dan selektif (Jacobus, 2006:115). Mengenai pelestarian budaya lokal, Jacobus Ranjabar (2006:114) mengemukakan bahwa pelestarian norma lama bangsa (budaya lokal) adalah mempertahankan nilai-nilai seni budaya, nilai tradisional dengan mengembangkan perwujudan  yang bersifat dinamis, luwes dan selektif, serta menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang selalu berubah dan berkembang.
Salah satu tujuan diadakannya pelestarian budaya adalah juga untuk melakukan revitalisasi budaya (penguatan). Mengenai revitalisasi budaya Prof. A. Chaedar Alwasilah mengatakan adanya tiga langkah, yaitu : (1) pemahaman untuk menimbulkan kesadaran, (2) perencanaan secara kolektif, dan (2) pembangkitan kreativitas kebudyaaan. Revitalisasi kebudayaan dapat didefinisikan sebagai upaya yang terencana dan sinambung agar nilai-nilai budaya itu bukan hanya dipahami oleh para pemiliknya, melainkan juga membangkitkan segala wujud kreativitas dalam kehidupan sehari-hari dan dalam menghadapi berbagai tantangan. Demi revitalisasi maka teks-teks kebudayaan perlu dikaji ulang dan diberi tafsir baru. Tafsir baru akan mencerahkan manakala ada kaji banding secara kritis dengan berbagai budaya asing (Chaedar, 2006: 18).
Pada definisinya, pelestarian adalah sebuah upaya yang berdasar, dan dasar ini disebut juga faktor-faktor yang mendukungnya baik itu dari dalam maupun dari luar budaya yang dilestarikan. Maka dari itu, sebuah proses atau tindakan pelestarian mengenal strategi atapun teknik yang didasarkan pada kebutuhan dan kondisinya masing-masing.
Pelestarian budaya tidak mungkin berdiri sendiri, senantiasa berpasangan dengan perkembangan budaya.  Artinya, budaya yang dilestarikan memang masih ada dan diketahui, walaupun pada perkembangannya semakin terkisis atau dilupakan. Pelestarian itu hanya bisa dilakukan secara efektif manakala budaya yang dilestarikan itu tetap digunakan dan tetap ada penyungsungnya. Kapan budaya itu tak lagi digunakan maka budaya itu akan hilang. Kapan alat-alat itu tak lagi digunakan oleh masyarakat, alat-alat itu dengan sendirinya akan hilang (I Gede Pitana, 2003).
Pengembangan adalah memperdalam dan memperluas pengetahuan yang telah ada. Pengembangan adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang telah terbukti kebenarannya untuk meningkatkan fungsi, manfaat, dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada, atau menghasilkan teknologi baru (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2002).
Budaya atau kebudayaan dalam bahasa Inggris disebut culture, yang berasal dari kata  latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia. Budaya didefinisikan sebagai suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.  
Berpikir adalah kemampuan seseorang menggunakan akalnya untuk menilai mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang menguntungkan dan mana yang merugikan, dan pertimbangan positif dan negatif lainnya (Rahman, 2003:156). Berpikir merupakan budaya Melayu, tetapi budaya berpikir orang Melayu tidak berkembang secara signifikan. Keadaan ini menyebabkan etos kerja orang Melayu menjadi lemah, sehingga kehidupan mereka terpuruk dan tertinggal dibandingkan dengan etnis-etnis lain di Asia Tenggara. Berpikir dahulu sebelum melakukan suatu perbuatan merupakan bagian dari kehidupan keseharian keluarga Melayu.
Melayu merupakan sebuah nama yang diberikan kepada salah satu etnik (komunitas) yang berada di rantau tanah Melayu. Oleh karena itu, kita menemukan adanya bangsa Melayu Indonesia, Melayu Malaysia, Melayu Brunei Darussalam, Melayu Thailand, Melayu Kamboja, dan sebagainya.
Istilah Melayu ditakrifkan oleh UNESCO pada tahun 1972 sebagai suku bangsa Melayu di Semenanjung Malaysia, Thailand, Indonesia, Filipina, dan Madagaskar. Bagaimanapun menurut Perlembagaan Malaysia, istilah Melayu hanya mengacu pada seseorang yang berketurunan Melayu yang menganut agama Islam. Dengan kata lain, bukan semua orang yang berasal dari keturunan Melayu atau orang yang nenek moyangnya Melayu adalah orang Melayu. (http://ms.wikipedia.org/wiki/Melayu/22/10/2010). Terdapat dua teori mengenai asal-usul bangsa Melayu yaitu: berasal dari Yunnan (Teori Yunnan) dan berasal dari Nusantara (Teori Nusantara) (http://ms.wikipedia.org/wiki/Melayu/22/10/2010).
Pelestarian dan pengembangan budaya berpikir Melayu merupakan upaya untuk menjadikan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh etnik (komunitas) yang berada di rantau tanah Melayu yang diwariskan dari generasi ke generasi tetap selama-lamanya dan tidak berubah serta untuk ditingkatkan fungsinya, manfaatnya, dan aplikasinya berdasarkan kemampuan suatu etnik Melayu itu menggunakan akalnya dalam menerima pengaruh positif dan pengaruh negatif bagi kehidupan. Untuk menyelesaikan suatu masalah haruslah digunakan akal pikiran, bukan dengan menggunakan perasaan atau hati. Selain itu, untuk menyelesaikan suatu masalah yang yang harus diikuti adalah jalan pikiran atau akal yang sehat, bukan dengan mengikuti rasa atau hati. Kalau yang diikuti kata hati, maka pastilah akan mendapat kesulitan.
Pepatah-petitih yang menunjukkan bahwa Melayu mengutamakan berpikir dari pada mengikuti perasaan adalah adanya pantun nasihat sebagai berikut:
1.      Bangsal di hulu kerapatan
Sayang durian gugur bunganya
Sesal dahulu pendapatan
Sesal kemudian tiada gunanya
Artinya, Sebelum melakukan suatu perbuatan hendaklah dipikirkan terlebih dahulu tentang baik-buruknya, benar salahnya, dan untung ruginya supaya terhindar dari sesal dan duka cita.
Pepatah Melayu lain berbunyi:
2.      Setali membeli kemenyan
Sekupang membeli ketaya
Sekali lancung ke ujian
Seumur hidup orang tak percaya
Artinya, Sekali ketahuan perangai seseorang yang tidak baik, seumur hidup orang tidak akan percaya lagi. Oleh karena itu, sebelum melakukan suatu perbuatan hendaklah dipikirkan terlebih dahulu.
Banyak orang Melayu kini tidak memahami dan mengamalkan budaya berpikir itu dalam kehidupan keseharian mereka, menyebabkan budaya berpikir di kalangan sebagian besar orang Melayu tidak berkembang, menyebabkan wawasan berpikir mereka menjadi amat sempit. Budaya Melayu sangat erat kaitannya dengan budaya Islam. Islam merupakan identitas utama Melayu. Etos Islam juga menjadi etos Melayu. Islam menempatkan berpikir pada posisi yang terhormat. Salah satu hadist Rasulullah berbunyi, “Berpikir sesaat itu lebih baik dari pada beribadah setahun” (Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban).

  1. Pemikir-pemikir Ulung Sejarah Melayu
Dalam sejarah-sejarah orang Melayu, tercatat paling tidak tiga orang pelaku sejarah yang menunjukkan bahwa berpikir menjadi etos di kalangan Melayu. Mereka adalah Hang Nadim, budak Melayu yang menyelamatkan Singapura dari serangan ikan todak. Raja Kecil, pendiri kerajaan Siak Sri Indrapura, orang yang dengan kemampuan berpikirnya futuristik telah menyelamatkan kerajaan Kubu dari perpecahan karena perebutan tahta. Datuk Rubiah, seorang wanita, kepala suku Bebiyah (Tuk Biyah) dari kerajaan Bangko yang terkenal dengan pernyataan-pernyataannya yang argumentatif.

*   Hang Nadim
Singapura dilanggar Todak
Hatta, tiada berapa lama di antaranya (setelah Jana Khatib dibunuh atas perintah Raja Singapura (Paduka Sri Maharaja), maka segala orang yang tinggal di pantai itu banyak mati dilanggar oleh Todak tersebut. Paduka Sri Maharaja pun segera naik gajah, lalu beliau keluar diiringi oleh segala menteri, hulubalang, dan sida-sida bentara sekalian. Setelah datang ke pantai, baginda pun heranlah melihat perihal Todak itu: barang yang kena dilompatinya sama sekali mati!
Baginda pun menitahkan orang berkotakan betis, maka dilompati oleh Todak itu, terus berkancing ke sebelah. Adapun Todak itu seperti hujan, usahkan kurang, makin banyak orang mati. Syahdan, pada antara itu, datanglah seorang budak, Hang Nadim, kemudian ia berkata, “Apa kerja kita berkotakan betis ini? Mendayakan diri kita. Jika berkotakan batang Pisang, alangkah baikya.”
Segeralah dikerjakan orang berkotakan batang Pisang. Maka segala Todak yang melompat itu lekatlah jongornya, tercacak kepada batang pisang, dibunuh oranglah bertimbun-timbun di pantai itu, hingga tiadalah termakan lagi oleh segala rakyat. Maka Todak itu, tidaklah melompat lagi (Sulalatussalatin, hal.63 dalam Rahman, 2003: 159). Kisah Singapura dilanggar Todak itu melukiskan sikap orang Melayu menghadapi keadaan yang darurat yang tidak diduga sebelumnya. Kisah tersebut sekaligus memberikan contoh cara berpikirdan cara bertindak yang salah dan yang tepat dalam menghadapi keadaan darurat.
Paduka Sri Maharaja hanya memikirkan tindakan, tanpa memikirkan kemungkinan hasil yang akan dicapai dari tindakan itu. Akibatnya ratusan prajurit dan rakyat tewas dilanggar Todak. Sebaliknya Hang Nadim memikirkan tindakan sekaligus tindakan yang patutdan kemungkinan hasil yang dicapai. Begitu pagar betis diganti dengan pagar batang pisang, semua kesulitan teratasi, sehingga keadaan darurat berakhir dengan baik.
Edward de Bono, pakar teori berpikir Inggrs, maupun Doug Hooper, pakar teori Amerika, sama-sama berpendapat bahwa ketika menghadapi keadaan darurat, orang tidak hanya memikirkan tindakan yang patut, tapi harus pula memikirkan kemungkinan hasil yang akan dicapai dari tindakan itu. Ketika orang Barat baru memulai menyusun teorinya, orang Melayu sebenarnya telah mengamalkannya pada sekian ratus tahun yang lalu.

*   Raja Kecil
Kerajaan Kubu (sekarang Kecamatan Kubu, Kabupaten Rokan Hilir, Riau) dahulunya hanya ada dua suku, yaitu suku Rawa dan suku Hambaraja. Generasi kedua petinggi negeri itu, yaitu raja Megat Mahkota, Raja Kubu dan sekaligus kepala suku Rawa berseteru dengan Bendahara Banda Jalal, kepala suku Hambaraja, karena berebut tahtaKubu. Padahal keduanya berkakak adik ipar. Kakak Banda Jalal bernama Tun Rinti menikah dengan Megat Mahkota.
Menghindarkan pertumpahan darah, Megat Mahkota beserta pengikut-pengikutnya mengungsi ke siak. Ditinggal pergi rajanya, kerajaan Kubu kacau-balau. Banda Jalal sadar akan kesalahannya. Ia menyusul kakak iparnya ke Siak dan memintanya untuk pulang. Mula-mula Raja Megat Mahkota enggan, tetapi kemudian keduanya menghadap Sultn Siak I, yaitu Raja Kecil (1723-1746). Raja kecil menasihatkan, jika di sebuah negeri hanya ada dua suku, jika terjado perseteruan di antara mereka, tidak ada yang memisah.
Raja kecil memberi contoh pemerintahan Rasulullah Saw. Menurut Raja Kecil, pemerintahan Rasulullah kuat lantaran didukung oleh empat sahabat. Oleh karenanya, jika Raja Kubu menginginkan suatu pemerintahan yang kuat, ia harus didukung oleh empat penasehat yang merupakan para kepala suku empat suku  yang ada di negeri itu. Karena di Kubu baru ada dua suku, atas anjuran Raja Kecil dibentuklah dua suku baru, yaitu suku Haru dan suku Bebas. Kepala suku-kepala empat suku itu menjadi penasihat Raja yang disebut “Datuk Empat Suku.” Sejak itu, pemerintahan di Kerajaan Kecil menjadi stabil.

*   Datuk Rubiyah
Datuk Rubiyah adalah perempuan sederhana dari Desa Bentayan. Beliau adalah pemimpin suku Bebiyah di kerajaan Bangko (sekarang Kecamatan Bangko, kabupaten Rokam Hilir, Riau). Salah satu hal yang menarik dari beliau adalah dasar pemikirannya. Untuk warga sukunya, Datuk Rubiyah menentukan hak ulayat (dusun) jatuh kepada anak perempuan. Jika tidak ada anak perempuan, maka hak itu jatuh kepada kemenakan perempuan. Yang laki-laki hanya “tumpang makan”, hanya boleh mengambil hasil tanah ulayat untuk dimakan sendiri. Tetapi bila anak laki-laki itu dihukum oleh hakim untuk membayar sejumlah denda atau utang, ia diperkenankan mengambil hasil bumi tanah ulayat itu untuk pembayarannya.
Pada masa pimpinan Datuk Rubiyah, harta-benda keluarga atau warisan bisa musnah di meja judi atau untuk berfoya-foya atau dijual guna pembayar utang atau denda akibat kejahatan atau pelanggaran adat yang dilakukan oleh anak laki-laki. Makanya, keputusan Datuk Rubiyah itu lahir dari suatu pemikiran berdasarkan fakta dan dibuat untuk kepentingan sukunya di masa depan. Dengan keputusan itu, Datuk Rubiyah mengharapkan agar adat dapat menjaga harta-benda milik suku, tetap utuh dengan jaminan moral yang tinggi dari kaum perempuan.

  1. Pandangan Barat tentang Berpikir
Menurut Norman Vincent Peale seorang konsultan ternama Amerika, berpikir telah menjadi objek penelitian di Eropa sejak abad ke-19. Dari penelitian ini muncul teori-teori berpikir seperti berpikir positif, lateral, dan lain sebagainya. Di negara-negara Barat berpikir telah menjadi disiplin. Ilmu tersebut diajarkan di lembaga-lembaga penelitian tertentu. Di Malaysia misalnya, mereka mengulas teori-teori berpikir para pakar teori berpikir Barat, yaitu dengan cara menyajikan kolom-kolom tetap mengenai teori-teori pola berpikir modern dalam koran-koran Malaysia. Dengan mempelajari pola berpikir modern ini, konon amat berpengaruh pada pola berpikir generasi muda Malaysia kini (Norman Vincent Peale dalam Rahman, 2003: 162).
Di Jepang, buku-buku mengenai cara berpikir modern, terutama yang ditulis oleh penulis-penulis nonfiksi Barat, laku seperti “pisang goreng”. Keadaan ini sangat mempengaruhi cara berpikir generasi muda negeri matahari terbit itu. Begitu pula halnya di Indonesia. Di toko-toko buku amat banyak dijual buku-buku tentang cara berpikir, ditulis oleh penulis-penulis Barat maupun wiraswastawan Indonesia sendiri. Namun, koran-koran Indonesia, baik yang terbit di pusat maupun di Riau, tidak pernah secara khusus menyajikan kolom tetap mengenai pola berpikir, seperti yang terdapat dalam koran Malaysia.
 Menurut Norman Vincent Peale dalam  Rahman (2003: 163), penemuan terpenting di abad 20 ini adalah, bahwa manusia bisa mengubah pola hidupnya dengan cara mengubah pola hidupnya dengan cara mengubah pola pikirnya. Orang Melayu bisa mengubah pola berpikirnya, semodern apapun, tentu saja kalau mau, karena Melayu memiliki etos berpikir yang kuat. Membentuk pola pikir itu amat penting karena menyangkut efisiensi dalam berpikir dan efektivitas dalam bertindak. Meskipun Melayu memiliki etos berpikir yang kuat, tetapi jika budaya berpikir itu tidak berkembang, maka yang terjadi adalah kekerdilan dalam menggunakan akal, sehingga sudut pandangnya sempit. Terjadi pula pemborosan potensi berpikir, yang ujungnya tindakan yang tidak efektif, sehingga berkesan tidak rasional. Pikir itu pelita hari, ikut hati mati, ikut rasa binasa (Rahman, 2003:163).
Kebudayaan Melayu sebenarnya bisa menerima perubahan-perubahan, termasuk perubahan dalam pola berpikir. Seperti kata pepatah:
Akal tak sekali tiba,
Pikiran tak sekali datang
Alah bisa tegal biasa
Maknanya, suatu pekerjaan yang susah, kalau biasa dilakukan akan menjadi mudah. Memang susah mengubah kelakuan seseorang yang sudah menjadi kebiasaannya. Namun, hal yang susah itu jika dikerjakan secara terus menerus dengan tekun, lama-kelamaan akan menjadi mudah. Caranya, biasakan meninggalkan perangai yang negaatif dan biasakan menggantikannya dengan yang positif. Niscaya, tingkah laku buruk pun akan berubah ke arah yang baik.
Hambatan bagi generasi muda Melayu untuk mengembangkan budaya berpikir adalah mereka tidak suka membaca. Jangankan teori-teori berpikir Barat, budayanya sendiri yang merupakan tunjuk ajar Melayu pun tidak pernah mereka baca. Sehingga, jangankan mengamalkannya, tahu pun tidak. Oleh karena itu, budaya berpikir mereka tidak berkembang. Fenomena ini membuat mereka bersifat menunggu, kurang berinisiatif, tak dapat menciptakan sendiri kesempatan-kesempatan. Bahkan kesempatan emas di negeri sendiri direbut orang lain, kaarena orang Melayu tidak siap untuk bersaing. Inilah fenomena Melayu, yang menurut Mahathir Mohamad suatu “Dilema Melayu.”

  1. Pandangan Orang Melayu tentang Takdir
Sikap dan pandangan orang Melayu tentang takdir mempengaruhi kualitas etos kerja mereka. Sebagai orang Islam, orang Melayu tidak dapat melawan takdir illahi. Tetapi orang Melayu dapat melawan kesalahan pemahaman tentang takdir. Kesalahan pemahaman tentang takdir akan membuat orang Melayu terbelenggu dalam ketergantungan kepada pihak lain. Keadaan ini akan membuat wawasan berpikir mereka menjadi sempit, sehingga satu-satunya lapangan kerja yang tampak di dalam mata mereka adalah pegawai negeri dan karyawan perusahaan-perusahaan besar. Mereka tidak menyadari bahwa lapangan kerja dapat diciptakan sendiri.
Orang Melayu harus telebih dahulu mengembangkan budaya berpikirnya untuk sampai ke tahapan tersebut. Orang Melayu harus kembali ke jati dirinya sehingga memiliki rasa percaya diri yang besar, punya keyakinan yang besar, motivasi dan daya kreativitas yang unggul untuk mengembangkan kemampuan dirinya, siap menyusuri jalan menuju masa depan yang lebih gemilang. Generasi muda Melayu harus menyadari bahwa sumber keberhasilan seseorang bukan di tangan orang lain, melainkan di dalam kepala mereka sendiri.

3.    Penutup
a.      Simpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah penulis lakukan, maka penulis menyimpulkan bahwa orang Melayu harus menyadari bahwa keadaan mereka memang tertinggal dibandingkan dengan etnis-etnis lain di Asia Tenggara. Kesadaran ini hendaklah disambut dengan jiwa yang besar, sehingga tidak menimbulkan rasa iri dan dengki terhadap etnis-etnis lain yang lebih maju. Sebaliknya justru membangkitkan semangat bersaing yang kuat, sehingga membangkitkan hasrat untuk maju mengejar ketertinggalannya dari etnis-etnis lain yang sudah maju. Orang Melayu harus sadar bahwa mereka punya kesempatan untuk maju sama dengan etnis-etnis lain yang sudah maju.

b.      Saran
Harapan penulis ke depan agar budaya berpikir Melayu dilestarikan dan dikembangkan, agar orang Melayu dapat mengikuti perkembangan dunia modern, namun tetap dengan kepribadian Melayu. Kiranya makalah ini akan membantu usaha kita memecahkan masalah orang Melayu yang kini belum memahami dan mengamalkan budaya berpikir dalam kehidupan keseharian mereka, menyebabkan budaya berpikir di kalangan sebagian besar orang Melayu tidak berkembang, menyebabkan wawasan berpikir mereka menjadi amat sempit.  Kesempatan ini memberi peluang kepada kita untuk evaluasi diri. Evaluasi itu akan menyadarkan kita tentang keberadaan dan kelemahan pola berpikir yang dimiliki orang Melayu untuk dicarikan solusi yang tepat.

Daftar Pustaka
Alwasilah, A. Chaedar. 2006. Pokoknya Sunda : Interprestasi Untuk Aksi. Bandung: Kiblat
Endarmoko, Eko. 2006. Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.
I Gede Pitana, Bali Post, edisi Minggu, 21 desember 2003
Rahman, Elmustian, dkk.2003.Alam Melayu: Sejumlah Gagasan Menjemput Keagungan.Pekanbaru:Unri Press
Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Bogor :Ghalia Indonesia.
Soekanto, Soerjono. 2003. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali Pers.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2002









2 komentar: