PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sastra merupakan suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai medianya. Dalam penciptaan sastra harus ada ide yang akan dinyatakan dalam karya itu, ada bahasa untuk menyampaikannya, ada intelektualitas yang ingin diamanahkannya, ada penulis yang akan menuliskan dan merealisasikan ide tersebut dan ada pembaca, penikmat yang akan memberikan penilaian terhadap karya cipta itu. Dengan demikian, karya cipta yang berasal dari proses kreatif itu dapat diterima oleh pembaca.
Bahasa dalam sastra bukan hanya untuk dipahami, tapi yang lebih penting adalah keberadaan pilihan kata itu meninggalkan pesan pada pikiran pembaca. “sastra bukan hanya bergantung pada apa yang disampaikan, tetapi juga bagaimana ia disampaikan, sastra sangat erat dengan penggunaan bahasa dan bagaimana bahasa itu digunakan” (Jalil dan Rahman, 2001:11)
Sastra adalah karya dan kegiatan seni yang berhubungan dengan ekspresi dan penciptaan, dan juga merupakan ungkapan spontan dari perasaan yang mendalam, serta ekspresi pikiran dalam bahasa. Maksud “pikiran” adalah pandangan, ide-ide, perasaan, pemikiran dan semua kegiatan mental manusia. Bahan untuk mewujudkan bentuk sastra adalah bahasa. Bahasa dalam sastra dapat berwujud lisan dan melahirkan sastra lisan. Akan tetapi juga dapat dalam bentuk tulisan yang melahirkan sastra tulis.
1.2 Masalah
Jika ingin mengapresiasikan suatu karya sastra seperti cerpen, berarti kita membicarakan suatu karya seni yang mengandung unsur-unsur intrinsik yang lengkap dan membutuhkan pemahaman yang tinggi pula agar sebuah cerpen dapat dipahami dengan baik. Dengan kepribadian cerpen yang demikianlah, jelas bahwa betapa rumit dan kompleksnya cerpen itu.
Sebagai karya sastra yang baik kalau tidak dipahami pembaca tentu tudak akan berarti apa-apa. Untuk memahami suatu karya sastra harus ditempuh dengan berbagai cara. Salah satun cara memahaminya yaitu dengan menganalisis karya sastra tersebut. Oleh sebab itu, perlu adanya model kajian cerpen yang uraiannya mendalam, sistematis tetapi praktis, dapat dipergunakan untuk memahami cerpen secara lebih mudah.
Masalah perlu dirumuskan dan ruang lingkupnya dibatasi sesuai dengan kemampuan penulis. Masalah yang dimaksud adalah bagaimana menganalisis cerpen Waktu Nayla karya Djenar Maesa Ayu berdasarkan pendekatan-pendekatan sastra?
Mengingat banyaknya permasalahan dalam kegiatan menganalisis cerpen, maka penulis mengambil suatu alternatif agar tidak terjadi kerancuan dan penyimpangan dalam pembahasan. Penulis membatasi masalah dengan membahas:
1. Analisis Cerpen Waktu Nayla Karya Djenar Maesa Ayu berdasarkan pendekatan mimetik
2. Analisis Cerpen Waktu Nayla Karya Djenar Maesa Ayu berdasarkan pendekatan pragmatik
3. Analisis Cerpen Waktu Nayla Karya Djenar Maesa Ayu berdasarkan pendekatan ekspresif
4. Analisis Cerpen Waktu Nayla Karya Djenar Maesa Ayu berdasarkan pendekatan semiotik peirce
5. Analisis Cerpen Waktu Nayla Karya Djenar Maesa Ayu berdasarkan pendekatan semiotik Saussure
6. Analisis Cerpen Waktu Nayla Karya Djenar Maesa Ayu berdasarkan pendekatan sintagmatik dan paradigmatik
7. Analisis Cerpen Waktu Nayla Karya Djenar Maesa Ayu berdasarkan pendekatan sosiologi sastra
8. Analisis Cerpen Waktu Nayla Karya Djenar Maesa Ayu berdasarkan pendekatan formalisme
9. Analisis Cerpen Waktu Nayla Karya Djenar Maesa Ayu berdasarkan pendekatan resepsi sastra
10. Analisis Cerpen Waktu Nayla Karya Djenar Maesa Ayu berdasarkan pendekatan intertekstual
11. Analisis Cerpen Waktu Nayla Karya Djenar Maesa Ayu berdasarkan pendekatan dekonstruksi
1.3 Tujuan
Tujuan penulis menganalisis cerpen Waktu Nayla karya Djenar Maesa Ayu ini untuk menemukan jawaban terhadap permasalah yang telah diuraikan pada bagian atas:
1. Memaparkan hasil analisis Cerpen Waktu Nayla Karya Djenar Maesa Ayu berdasarkan pendekatan mimetik
2. Memaparkan hasil analisis Cerpen Waktu Nayla Karya Djenar Maesa Ayu berdasarkan pendekatan pragmatik
3. Memaparkan hasil analisis Cerpen Waktu Nayla Karya Djenar Maesa Ayu berdasarkan pendekatan ekspresif
4. Memaparkan hasil analisis Cerpen Waktu Nayla Karya Djenar Maesa Ayu berdasarkan pendekatan semiotik peirce
5. Memaparkan hasil analisis Cerpen Waktu Nayla Karya Djenar Maesa Ayu berdasarkan pendekatan semiotik saussure
6. Memaparkan hasil analisis Cerpen Waktu Nayla Karya Djenar Maesa Ayu berdasarkan pendekatan sintagmatik dan paradigmatik
7. Memaparkan hasil analisis Cerpen Waktu Nayla Karya Djenar Maesa Ayu berdasarkan pendekatan sosiologi sastra
8. Memaparkan hasil analisis Cerpen Waktu Nayla Karya Djenar Maesa Ayu berdasarkan pendekatan formalisme
9. Memaparkan hasil analisis Cerpen Waktu Nayla Karya Djenar Maesa Ayu berdasarkan pendekatan resepsi sastra
10. Memaparkan hasil analisis Cerpen Waktu Nayla Karya Djenar Maesa Ayu berdasarkan pendekatan intertekstual
11. Memaparkan hasil analisis Cerpen Waktu Nayla Karya Djenar Maesa Ayu berdasarkan pendekatan dekonstruksi
1.4 Manfaat
1. Manfaat teoritis dari analisis ini adalah untuk pengembangan ilmu sastra di Indonesia. Khususnya dalam bidang genre cerpen, apalagi dalam bidang penerapan teori sastra untuk kajian ilmiah, khususnya penerapan pendekatan-pendekatan sastra.
2. Manfaat praktis dari analisis ini adalah untuk meningkatkan kemampuan pembaca dalam memahami cerpen, baik pembaca di lingkungan pelajar, mahasiswa, maupun masyarakat umum yang berminat pada pemahaman cerpen.
BAB II
PEMBAHASAN
1. MIMETIK
A. Teori Mimetik
Secara umum, yang dimaksudkan dengan teori adalah suatu sistem ilmiah atau pengetahuan sistematik yang menetapkan pola pengaturan hubungan antara gejala-gejala yang diamati. Teori berisi konsep/uraian tentang hukum-hukum umum suatu objek ilmu pengetahuan dari suatu titik pandang tertentu. Suatu teori dapat dideduksi secara logis dan dicek kebenarannya (diverifikasi) atau dibantah kesahihannya (difalsifikasi) pada objek atau gejala-gejala yang diamati tersebut. Teori ialah seperangkat konsep, kaidah atau prinsip dasar tentang sastra yang dimanfaatkan oleh pengkaji dalam kajiannya (Jalil dan Rahman, 2004: 161).
Mimesis (Yunani: perwujudan atau peniruan) pertama kali dipergunakan dalam teori-teori tentang seni seperti dikemukakan Plato (428-348) dan Aristoteles (384-322), dan dari abad ke abad sangat mempengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa (Van Luxemburg, 1986:15). Aristoteles juga mengambil teori mimesis Plato yakni seni menggambarkan kenyataan, tetapi dia berpendapat bahwa mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan melainkan juga menciptakan sesuatu yang baru karena 'kenyataan' itu tergantung pula pada sikap kreatif orang dalam memandang kenyataan.
Pendekatan mimetik memandang karya satra sebagai tiruan atau pembayangan dunia kehidupan nyata sebagaimana dikemukakan pertama kali oleh filsuf Plato dan Aristoteles. Plato berpendapat bahwa seni hanyalah tiruan alam yang nilainya jauh di bawah realitas sosial dan ide, sedangkan Aristoteles menyatakan bahwa tiruan itu justru membedakannya dari segala sesuatu yang nyata dan umum karena seni merupakan aktivitas menusia (Yudiono, 2009: 42).
1. Pengertian Mimetik
Dalam mengkaji karya sastra si pengkaji memiliki suatu cara memandang dan mendekati objek tersendiri yang lazim dinamakan pendekatan (Jalil dan Elmustian, 2004: 163). Dengan kata lain pendekatan adalah asumsi-asumsi dasar yang dijadikan pegangan dalam memandang suatu objek (A. Semi dalam Jalil dan Rahman, 2004: 163). Pendekatan Mimetik memandang karya sastra sebagai tiruan atau pembayangan dunia kehidupan nyata. Konsep ini dikembangkan oleh Plato dan diungkapkan oleh Aristoteles. Namun, keduanya berbeda dalam menafsirkan makna mimetik.
Plato
Plato memperlihatkan sikapnya yang negatif terhadap seni. Menurut plato seni hanya menyajikan suatu ilusi (khayalan) tentang kenyataan dan tetap jauh dari kenyataan. Teori plato tersebut adalah:
Dalam kenyataan yang dapat kita amati setiap benda terwujud menurut berbagai bentuk, tetapi setiap benda mencerminkan suatu ide yang asli gambar bentuk terhadap aneka bentuk ranjang dan meja tetapi itu semua berasal dari ide atau gambar induk mengenai sebuah ranjang ia menciplak ranjang seperti terhadap dalam dunia ide-ide. Ciplakan atau copy itu menjadi aslinya, artinya: kenyataan yang dapat kita amati dengan panca indra selalu kalah dengan dunia ide. Tapi seorang lebih dekat pada kebenaran dari pada seorang pelukis atau penyair. Mereka menciplak kenyataan yang dapat disentuh dengan panca indera, atau dengan lain perkataan mereka menciplak suatu ciplakan, membuat copy dari sebuah copy, ciplakan mereka tidak bermutu satu-satunya yang dapat mereka capai ialah gambar-gambar yang kosong, yang mengambang (Luxemburg dalam Dianto 2008:15).
Menurut Plato, maka tulang-tulang yang membuat berang-barang lebih berguna dari pada orang-orang yang hanya melukiskan barang-barang itu. Para penyair dan penulis tidak kalah penting dibandingkan dengan para pembuat undang-undang, penemu-penemu, guru-guru, dan seterusnya, karena mereka hanya menggambarkan sesuatu. Oleh sebab itu, menurut Plato para penyair dan penulis tidak ada gunanya dalam sebuah negara ideal. Mereka bahkan harus dikeluarkan dari negara itu apalagi karena fiksi, puisi, dan drama memberikan umpan kepada emosi dan meredupkan akal budi. Itulah sebabnya, mengapa fiksi, puisi, dan drama menghalangi usaha menusia untuk menjadi lebih bahagia dan sejahtera. Satu-satunya bentuk fiksi, puisi, dan drama yang boleh dilaksanakan ialah puisi yang berisikan pujian terhadap para dewa dan tokoh-tokoh yang berguna bagi umat manusia, sehingga puisi tersebut mengarahkan manusia pada aspek-aspek positif dalam negara.
Meskipun demikian, ucapan Plato itu hendaknya kita baca dalam konteksnya, tapi penolakan Plato terhadap fiksi, puisi, dan drama itu cukup mengherankan. Plato tidak melihat kenyataan bahwa seorang seniman dan penulis bila ia melukiskan sesuatu sekaligus juga menciptakan sesuatu dengan menolak bentuk sastra tertantu dan menerima bentuk sastra lain (yang bersifat pujian) maka Plato dapat dipandang sebagai penemu lembaga sensor yang tak terpuji.
Plato dengan panjang lebar memaparkan peranan karya sastra. Khususnya dalam hubungan dengan kenyataan. Pandangan Plato tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan pendirian filsafatnya mengenai kenyataan, yang bersifat hirarki. Menurut Plato ada beberapa tataran tentang nilai-nilai yang mengatasi tatarnnya. Yang nyata secara mutlak hanya yang baik terhadap ada yang abadi.; derajat kenyataan semesta tergantung pada derajat kedekatannya terhadap ada yang abadi (Plato dalam Dianto, 2008:19).
Bagi plato mimesis terikat pada ide pendekatan dan idealisme dalam seni; lewat mimesis tataran yang lebih tinggi hanya dapat disarankan. Dalam rangka ini menurut Plato mimesis atau sarana artistik tidak mungkin mengacu langsung pada nilai-nilai yang ideal, karena seni terpisah dari tataran, ada yang sungguh-sungguh oleh derajat dunia kenyataan yang fenomenal.
Seni hanya dapat meniru dan membayangkan hal-hal yang ada dalam kenyataan yang tampak. Jadi berdiri di bawah kenyataan itu sendiri dalam hirarki. Wujud yang ideal terjelma langsung dalam karya seni. Tapi ini tidak berarti bahwa seni sama sekali kehilangan nilai. Sebab walaupun seni terikat pada tataran yang lebih rendah dari kenyataan yang tampak, namun seni yang sungguh-sungguh mencoba mengatasi kenyataan sehari-hari (Teeuw dalam Dianto, 2008: 20).
Plato berpendapat tidak ada pertentangan antara realisme dan idealisme dalam seni: seni yang terbaik lewat mimesis, peneladanan kenyataan mengungkapkan suatu makna hakiki kenyataan itu. Maka seni yang baik harus benar dan seniman harus bersifat rendah hati; dia harus tahu bahwa lewat seni dia hanya dapat mendekati yang ideal dari jauh dan serba salah.
Aristoteles
Teori mimesis Aristoteles sangat bertolak belakang dengan teori mimesis Plato. Aristoteles menganggap sudah sewajarnya bahwa kegiatan seniman dan pengarang dianggap mulia. Mereka adalah seorang pencipta, mereka dapat menciptakan karya berkat daya imajinasinya, sebuah dunia rekaan yang mutu kebenarannya pada azas yang lebih tinggi dan mempunyai nilai estetik.
Pandangan Aristoteles mengenai mimesis:
Penampilan kenyataan dan ide-ide tidak lepas dari yang satu dari yang lainnya, dari setiap objek yang kita amati di dalam kenyataan terkandung idenya dan itu tidak dapat dilepaskan dari objek itu. Bagi Aristoteles mimesis itu tidak semata-mata menciplak kenyataan, melainkan sebuah proses kreatif atau pengarang yang berpijak pada kenyataan, menciptakan sesuatu yang baru. Dengan bermimesis penyair ataupun pengarang menciptakan kembali kenyataan, adapun bahayanya ialah barang-barang seperti pernah ada, atau seperti kita bayangkan atau seperti ada menurut pendapat orang atau seperti seharusnya ada (yaitu fakta dari masa kini atau masa silam, keyakinan, cita-cita) (Luxemburg dalam Dianto, 2008:16-17).
Dengan pandangan tersebut, Aristoteles tidak lagi memandang sastra sebagai suatu tiruan asli mengenai kenyataan, melainkan sebagai suatu ungkapan atau suatu perwujudan mengenai universal atau konsep-konsep umum. Ini bukan berarti dalam pandangan Plato, yakni dunia ide, melainkan sebagai pikiran. Perasaan dan perbuatan yang khas bagi semua orang.
Konsep mimesis Aristoteles sering ditafsirkan secara sempit, menampilkan yang universal dalam perbuatan manusia lalu ditafsirkan seolah-olah seorang pengarang menciptakan tipe-tipe sosial yang khas bagi suatu tempat atau kurun waktu tertentu. Apakah dalam karya seni kenyataan indrawi sering ditampilkan sehingga kita dapat mengenalnya kembali. Tetapi dalam ilmu sastra modern teori Aristoteles mengenai mimesis kembali diperhatikan. Aristoteles juga melihat nilai sastra dalam kemampuannya memperlihatkan yang khas dalam suatu peristiwa individual, sehingga pengertian kita tentang kenyataan makin diperdalam.
Sastra menciptakan kenyataan sendiri terhadap suatu teori, bahwa sastra membuat suatu model mengenai (bagan) kenyataan. Berbagai teori mimesis itu mempunyai suatu unsur yang sama perhatian diarahkan pada hubungan ant ra gambar dan apa yang digambar. Tolok ukur estetik pertama ialah sejauh mana gambar itu sesuai dengan kenyataan. Apakah kenyataan itu merupakan ide dunia yang universal atau dunia yang khas itu tidak begitu penting?
Bagi Aristoteles seniman ataupun penulis lebih tinggi nilai karyanya dari pada seorang tukang; sebab penafsiran kenyataanlah yang dominan dan kepandaiannya diabadikan melalui interpretasi, pemberian makna pada eksistensi manusia. Karya seni menurut Aristoteles menjadi sarana pengetahuan yang khas, cara yang unik untuk pemahaman tentang suatu aspek atau tahap situasi manusia yang tidak dapat diungkapkan dan dikomunikasikan dengan jalan lain. Aristoteles berpendapat lain bahwa mimetik tidak semata-mata menjiplak kenyataan, tetapi merupakan sebuah proses kreatif; pengarang sambil bertitik pangkal pada kenyataan, menciptakan sesuatu yang baru.
Pendekatan mimetik adalah pendekatan yang mendasarkan pada hubungan karya sastra dengan universe (semesta) atau lingkungan sosial-budaya yang melatarbelakangi lahirnya karya sastra itu. Perhatian penelaah adalah hubungan antara karya seni dan realitas yang melatarbelakangi kemunculannya. Dalam hubungan ini Lewis menjelaskan pendekatan mimetik memandang seni sebagai tiruan dari aspek-aspek realitas, dari gagasan-gagasan eksternal dan abadi, dari pola-pola bunyi, pandangan, gerakan, atau bentuk yang muncul secara terus menerus dan tidak pernah berubah (Lewis, 1976:46). Apabila dirumuskan secara ringkas maka kritik sastra mimetik berarti kritik sastra yang menekankan perhatian atau analisisnya pada ketepatan atau kesesuaian karya sastra dengan objek yang dlukiskan (Yudiono, 2009:44).
2. Prinsip-prinsip Mimetik
M.H. Abrams mengatakan bahwa orientasi mimetik menjelaskan seni pada prinsipnya sebuah tiruan dari aspek alam (1953: 8). Andre Haryana berpendapat bahwa aspek mimetik merupakan unsur luar yang sangat berpengaruh dalam proses terciptanya suatu karya sastra, sehingga tidak berlebihan jika dikatakan roman atau novel yang besar lewat daya khayal pengarangnya adalah sebuah penafsiran kembali dari persoalan-persoalan masyarakat, termasuk sejarah dan pengalaman sosial manusia dalam lingkungan hidup dan jamannya. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa analisis mimetik berdasarkan pada relevansi antara karya sastra dengan kenyataan yang merupakan proses kreatif pengarang berdasarkan pengalaman hidupnya.
Levin (1973:56-60) mengungkapkan bahwa konsep 'mimesis' itu mulai dihidupkan kembali pada zaman humanisme Renaissance dan nasionalisme Romantik. Humanisme Renaissance sudah berupaya mengkaji prinsipial antara sastra modern dan sastra kuno dengan menggariskan paham bahwa masing-masing kesusastraan itu merupakan ciptaan unik yang memiliki pembayangan historis dalam zamannya.
George Lukacs, seorang kritikus Marxis terkemuka yang berasal dari Hungaria dan menulis dalam bahasa Jerman (Damono, 1979:31). Lukacs mempergunakan istilah "cermin" sebagai ciri khas dalam keseluruhan karyanya. Lukacs menegaskan pandangan tentang karya realisme yang sungguh-sungguh sebagai karya yang memberikan perasaan artistik yang bersumber dari imajinasi-imajinasi yang diberikannya. Imajinasi-imajinasi itu memiliki totalitas intensif yang sesuai dengan totalitas ekstensif dunia. Penulis tidak memberikan gambaran dunia abstrak melainkan kekayaan imajinasi dan kompleksitas kehidupan untuk dihayati untuk membentuk sebuah tatanan masyarakat yang ideal.
3. Kaidah Mimetik
Hubungan antara kenyataana dan rekaan dala sastra adalah hubungan dialektis atau bertangga: mimesis tidak mungkin tanpa kreasi tetapi kreasi tidak mungkin tanpa mimesis. Takaran dan kaitan antara kedua-duanya dapat berbeda menurut kebudayaanya, menurut jenis sastra, zaman, kepribadian pengarang dan banyak lagi. Tetapi, yang satu tanpa yang lain tidak mungkin. Perpaduan antara kreasi dan mimesis tidak hanya berlaku untuk penulis sastra. Tidak kalah pentingnya untuk pembaca. Pembaca pun memadukan aktivitas mimetik dengan kreatif mereka. Pemberian makna pada karya sastra berarti perjalanan bolak-balik yang tak berakhir antara dunia nyata dan dunia khayal. Manusia dapat hidup dalam perpaduan antara kenyataan dan impian, yang kedua-duanya hakiki untuk kita sebagai manusia.
Dilihat dari sudut pandang penciptaan atau kepengarangan, dapat dikatakan bahwa karya sastra tidak dapat dilepaskan dari sang pengarangnya. Dalam kaitan ini, dalam proses kepengarangan, sang pengarang itu tentu tidak asal mengarang atau menulis karya sastra; dia tentu terlebih dahulu melakukan observasi dan lalu melakukan komtemplasi (perenungan) atas peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan. Melalui proses observasi dan komtemplasi, dia melakukan imajinasi dakam rangka untuk menciptakan karya sastra (berkreasi). Singkat kata, melalui proses-proses itu maka terwujudlah suatu karya sastra.
Karena karya sastra banyak berkait dengan persoalan-persoalan kemanusiaan, maka untuk dapat memahaminya kita perlu mengkaitkannya dengan bidang-bidang atau disiplin-disiplin sosial/humaniora lainnya. Pemahaman dengan cara yang demikian mengacu kepada pemahaman karya sastra secara interdisipliner.
Menurut Brecht, pengarang hendaknya menghindari alur yang dihubungkan secara lancar dengan makna dan nilai-nilai universal yang pasti. Fakta-fakta ketidakadilan dan ketidakwajaran perlu dihadirkan untuk mengejutkan dan mengagetkan pembaca. Pembaca jangan ditidurkan dengan cerita yang dilukiskan sesuai kenyataan, namun harus disertai ilusi-ilusi palsu atau rekaan pengarang dengan tujuan menciptakan suatu karya yang baru dan berbeda. Para pelaku tidak harus menghilangkan personalitas dirinya untuk mendorong identifikasi pembaca atas tokoh-tokoh pahlawannya. Mereka harus mampu menimbulkan efek alienasi (keterasingan). Pemain bukan berfungsi menunjukkan melainkan mengungkapkan secara spontan individualitasnya (Selden, 1991:30-32).
Rohrberger dan Woods (1971:9) memandang pendekatan mimetik sebagai pendekatan historis-sosiologis. Pendekatan historis-sosiologis menyaran kepada pendekatan yang menempatkan karya yang sebenarnya dalam hubungannya dengan peradaban yang menghasilkannya. Peradaban di sini dapat didefinisikan sebagai sikap-sikap dan tindakan-tindakan pengarang tertentu dalam mencerminkan serta menggambarkan apa yang dilihatnya, dialaminya dari waktu ke waktu, ditung dan dilukiskan dalam karya sastranya, selain itu sastra mewadahi sikap-sikap dan tindakan-tindakan mereka dalam melukiskan kehidupan maupun alam.
Dalam mengimplementasikan pendekatan-pendekatan di atas, kritikus memahami suatu karya atas dasar teks tertulis; kritikus memandang teks tertulis itu sebagai pengungkapan pengalaman, perasaan, imajinasi, persepsi, sikap dan sebagainya dari pengarang; dan kritikus menghubungkannya dengan realitas yang terjadi di masyarakatnya. Langkah-langkah ini pernah dilakukan Fatchul Mu’in (2001) ketika dia menganalisis novel Native Son karya Richard Wright dalam tesisnya yang berjudul Richard Wright’s Native Son: A Study of White Domination and Its Effects on African Americans. Dalam mengimplementasikan pendekatan-pendekatan itu, penulis tesis ini memahami Native Son karya Richard Wright atas dasar teks tertulisnya, kemudia memandangnya sebagai ungkapan pengarang novel itu tentang pengamalannya, perasaannya, imajinasinya dan sebagainya. Setelah itu, dia menghubungkan novel itu dengan realitas atau kehidupan Amerika sebagai latar belakang penulisan novel itu sendiri.
4. Metode Mimetik
Menurut Yudiono K.S dalam Jalil dan Rahman (2004: 163) metode adalah cara kerja untuk memahami objek suatu kajian. Pengertian metode dalam kritik sastra dapat dipahami sebagai metode analisis yang bertumpu pada pendekatan dan metode yang dapat dilakukan dalam kritik sastra. Pada hakikatnya semua metode kritik sastra adalah analisis teks (karya sastra) karena hanya dengan analisislah karya sastra apapun dapat dijelaskan maknanya. Seperti teori-teori pendekatan sastra yang tidak boleh dipilih-pilih mana yang paling benar, metode-metode kritik sastra pun tidak perlu diperdebatkan mana yang paling benar atau mana pula yang terbaik sebab setiap metode memiliki tugas dan fungsi yang relevan dengan tujuan tertentu dalam kritik sastra (Yudiono, 2009: 54, 61)
Metode kritik sastra merupakan langkah operasional seorang kritikus dalam menghadapi atau menilai sebuah karya sastra setelah terlebih dahulu menetapkan suatu kerangka teori dan pendekatan sastra. Pada prinsipnya, metode apapun dalam kritik sastra adalah analisis yang nama atau sebutannya sesuai dengan kerangka teori tertentu. Sementara ini, ditawarkan empat metode kritik sastra, yaitu metode pengudaran teks, metode struktural, metode sosiosastra, dan metode perbandingan (Yudiono, 2009: 61). Namun, dalam pendekatan mimetik, kritikus hanya bisa menggunakan metode pengudaran teks.
Metode Pengudaran Teks
Menurut Yudiono (2009: 61) Prinsip metode pengudaran teks adalah menganalisis karya sastra secara langsung dengan segenap pengalaman dan pengetahuan kritikus sehingga memperoleh pemahaman yang orisinal mengenai karya sastra yang bersangkutan.dengan metode ini, kritikus terikat pada konvensi atau kaidah yang substansinya relevan dengan karya sastra, yaitu:
1. Menganalisis dunia pengarang,
2. Menganalisis segala unsur dan aspek karya sastra,
3. Merumuskan hasil analisis itu sedemikian rupa sehingga terungkaplah penafsirannya yang orisinil.
Tujuannya adalah menemukan segala makna yang tersembunyi di dalam karya sastra dengan pandangan dasar bahwa karya sastra apapun merupakan sebuah organisme yang utuh dan lengkap dengan segala unsurnya sendiri.
B. Menangis Tengah Malam
Identitas buku
Judul buku : Mereka Bilang, Saya Monyet!
Judul cerpen : Waktu Nayla
Pengarang : Djenar Maesa Ayu
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Ketujuh
Kota terbit : Jakarta
Tahun terbit : 2004
Halaman : 65-75
Nayla adalah sebuah nama yang diciptakan oleh Djenar Maesa Ayu dalam cerpennya yang berjudul Waktu Nayla. Cerpen yang bersudut pandang orang ketiga serba tahu ini merupakan sebuah cerpen yang bertemakan kehidupan. Kehidupan seorang wanita yang hidupnya seakan dikejar waktu. Alur cerita yang tidak berbelit-belit (maju) membuat pembaca mudah memahami amanat yang ingin disampaikan pengarang. Kita sebagai manusia hanyalah mampu mengikuti aturan dan ketetapan yang telah ditentukan oleh Tuhan. Semua telah diatur olehNya dan kita wajib mentaatiNya hingga batas waktu yang diberikan kepada kita berakhir. Maka, sebelum itu, lakukanlah yang terbaik. Demikian pula lah yang dilakukan oleh tokoh dalam cerpen ini. Dia adalah seorang wanita yang sangat tidak bersahabat dengan waktu. Setiap kegiatan yang ia lakukan selalu terburu-buru karena ia ingin memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Ia selalu mengemudi mobilnya dengan kecepatan tinggi agar cepat sampai ke tempat yang ingin ditujunya. Ia selalu memperhatikan detik demi detik jam yang terletak indah di mobilnya itu. Namun, tidak jarang ia mampir di pinggir jalan hanya untuk menanyakan waktu. Kerap kalil ia tidak percaya dengan waktu yang ditunjukkan oleh jam yang terdapat di mobilnya itu.
Wanita yang ingin menunda waktu ini benar-benar tak ingin membuang waktu tanpa melakukan hal-hal yang bermanfaat. Kadang-kadang, ia begitu iri melihat orang-orang di sekelilingnya bisa menikmati waktu santai bersama keluarga sambil bergandengan tangan, berjemur di tepi pantai, bertamasya, memasak untuk keluarga dan mengantarkan anak ke sekolah. Hal-hal seperti itu sungguh jauh dari hidupnya. kini hidupnya hanya lah berperang dengan waktu. Waktu akan mengeksekusinya dari kehidupan. Ia sangat benci ketika harus mendengar jarum jam berdenting. Suara itu seakan mengatakan padanya bahwa umurnya hanya tinggal setahun saja. Suara itu menakutkannya dan menertawakannya karena kanker ganas yang telah menyerang ovariumnya. Ia pun ketakutan dan mulai meneteskan air mata. Hanya itu yang bisa ia lakukan saat ini. Namun, ia tak hanya berdiam diri. Ia ingin semua ini berakhir baik dan indah. Untuk mewujudkan hal itu, ia menghadap Tuhannya untuk memohon ampun atas segala dosa yang pernah ia lakukan. Ia ingin menjadi hamba Tuhan yang taat sebelum tubuhnya yang kini nyata berubah menjadi abu.
Tangisan Malam
Judul cerpen ini sudah menyatakan isinya, yaitu persoalah hidup yang penuh kesedihan, yang mana tokoh perempuan dalam cerita tidak berdaya menerima nasibnya yang akan segera tereksekusi sang waktu. Kemudian sang perempuan diceritakan sebagai wanita yang tegar dalam menghadapi cobaan hidupnya meski kadang kala ia pernah menangis ketakutan.
Dengan cerpennya ini, Djenar Maesa Ayu ingin memberantas kebiasaan perempuan yang hidup bebas, melakukan hal-hal yang melampaui batas, seperti seorang wanita yang hobi clubbing dan nongkrong bersama teman-temannya. Padahal kewajiban seorang istri adalah mengurus rumah tangga. Nayla Maesa Ayu seolah-olah melukiskan kehidupan yang disadari atau tidak, sering terjadi dalam kehidupan kita. Keadaan kita sendiri dilukiskannya dalam cerpennya, kejadian-kejadian di sekeliling kita digambarkannya. Dia melihat dan dia menuliskan. Tetapi, yang dituliskannya adalah yang buruk-buruk. Seolah-olah, keburukan bangsanya dituliskan terang-terangan. Inilah perannya sebagai pujangga. Pujangga yang memperhatikan kemajuan bangsanya. Apa yang didapatnya, itulah yang dilukiskannya dalam cerpennya Waktu Nayla. Dalam cerpen ini, manusia dilukiskannya hidup-hidup, mulai dari moralnya, hingga tingkah lakunya.
Cerpen yang Bermutu
Pertama-tama cerpen ini menarik perhatian justru karena judulnya yang unik, yaitu Waktu Naylaa. Sebelum membacanya, pembaca sempat berfikir apa atau siapakah Nayla itu? Apakah waktu hanya milik Nayla saja? Pikiran-pikiran inilah tentunya yang memotivasi pembaca untuk membaca cerpen ini lebih lanjut. Dengan menceritakan cerminan imajinasi uniknya itu, Djenar Maesa Ayu berhasil membawa pembaca dalam dunia rekaannya yang seolah-olah benar-benar terjadi di dunia nyata. Karya ini dianggap baik dan bermutu karena sesuai dengan harapan dan ideologi kritikus terhadap isi atau dunia rekaan karya sastra yang merupakan pencerminan dari imajinasi pengarang.
2. PRAGMATIK
A. Teori Pragmatik
Untuk menganalisis karya sastra berdasarkan teori dan kritik sastra, hendaknya menganalisis karya sastra dengan tidak hanya melihat dari satu norma saja, jangan subjektif melainkan harus objektif dan tidak memihak, harus ada pertimbangan baik buruk karya sastra berdasarkan kenyataannya, sehingga dapat menunjukkan hal-hal yang baru pada karya sastra yang dikritik. Adapun pendekatan yang dapat digunakan dalam menganalisis suatu karya sastra salah satunya adalah pendekatan pragmatik.
Untuk diketahui, pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sesuatu yang dibangun untuk mencapai efek-efek tertentu pada audience (pembaca atau pendengar), baik berupa efek kesenangan estetik ataupun ajaran/pendidikan maupun efek-efek yang lain. Pendekatan ini cenderung menilai karya sastra berdasarkan berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan tersebut. Selain itu, pendekatan ini menekankan strategi estetik untuk menarik dan mempengaruhi tanggapan-tanggapan pembacanya kepada masalah yang dikemukakan dalam karya sastra.
Dalam ilmu bahasa, pemakaian istilah pragmatik (pragmatics) dipopulerkan oleh seorang filosof bernama Charles Morris (1938), yang mempunyai perhatian besar pada ilmu pengetahuan tentang tanda-tanda, atau semiotik (semiotics). Dalam semiotik, Morris membedakan tiga cabang yang berbeda dalam penyelidikan, yaitu: sintaktik (syntactics) atau sintaksis (syntax) yaitu telaah tentang relasi formal dari tanda yang satu dengan tanda yang lain, semantik (semantics) yaitu telaah tentang hubungan tanda-tanda dengan objek di mana tanda-tanda itu diterapkan (ditandainya), dan pragmatik yaitu telaah tentang hubungan tanda-tanda dengan penafsir (interpreters). Ketiga cabang tersebut kemudian lebih dikenal dengan teori trikotomi.
Morris memberikan contoh interjeksi seperti Oh!, Come here!, Good morning! dipengaruhi oleh hukum pragmatik, yaitu bahwa variasi retoris dan alat puitis hanya muncul di bawah kondisi tertentu dalam batas-batas pemakaian bahasa. Akhirnya pengarang menyimpulkan bahwa perbedaan pemakaian istilah pragmatik ditimbulkan dari bagian asal-usul semantik karya Morris, yaitu suatu telaah dari sebagian besar jajaran fenomena psikologis dan sosiologis yang mencakup sistem tanda pada umumnya atau dalam bahasa tertentu (the Continental sense of the term); atau telaah konsep abstrak tertentu yang membuat acuan pada pelaku (agents) (satu gagasan dari Carnap); atau studi istilah indeksikal atau deiktis (deictis) (gagasan Montague); atau akhirnya pemakaian dalam linguistik Anglo-American dan filsafat.
1. Pengertian
Pendekatan pragmatik memberikan perhatian utama terhadap peranan pembaca. dalam kaitannya dengan salah satu teori modern yang paling pesat perkembangannya, yaitu teori resepsi sastra, pendekatan pragmatik dipertentangkan dengan pendekatan ekspresif. Subjek pragmatik dan subjek ekspresif, sebagai pembaca dan pengarang berbagi objek yang sama, yaitu karya sastra. Perbedaannya pengarang merupakan subjek pencipta, tetapi secara terus menerus fungsi-fungsinya dihilangkan, bahkan pada gilirannya pengarang dimatikan. Sebaliknya, pembaca yang sama sekali tidak tahu menahu tentang proses kreativitas diberikan tugas utama bahkan dianggap sebagai penulis.
Pendekatan pragmatik dengan demikian memberikan perhatian pada pergeseran dan fungsi-fungsi baru pembaca tersebut. Secara historis (Abrams dalam Ratna, 2006: 71) pendekatan pragmatik telah ada tahun 14 SM, terkandung dalam Ars Poetica (Horatius). Meskipun demikian, secara teoritis dimulai dengan lahirnya strukturalisme dinamik. Stagnasi strukturalisme memerlukan indikator lain sebagai pemicu proses estetis, yaitu pembaca (Mukarovsky).
Pada tahap tertentu pendekatan pragmatik memiliki hubungan yang cukup dekat dengan sosiologi, yaitu dalam pembicaraan mengenai masyarakat pembaca. pendekatan pragmatik memiliki manfaat terhadap fungsi-fungsi karya sastra dalam masyarakat, perkembangan dan peruasannya, sehingga manfaat karya sastra dapat dirasakan. Dengan indikator pembaca dan karya sastra, tujuan pendekatan pragmatik memberikan menfaat terhadap pembaca. pendekatan pragmatik secara keseluruhan berfungsi untuk menopang teori resepsi sastra, teori sastra memungkinkan pemahaman hakikat karya tanpa batas.
Pendekatan pragmatik mempertimbangkan implikasi pembaca melalui berbagai kompetensinya. Dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan pembaca, maka masalah-masalah yang dapat dipecahkan melalui pendekatan pragmatik diantaranya berbagai tanggapan masyarakat terhadap sebuah karya sastra, baik sebagai pembaca eksplisit maupun implisit, baik dalam kerangka sinkronis maupun diakronis. Teori-teori postrukturalisme sebagian besar bertumpu pada kompetensi pembaca sebab semata-mata pembacalah yang berhasil untuk mengevokasi kekayaan khasanah kultural bangsa.
Berbeda dengan pendekatan pragmatik, pragmatik dalam ilmu bahasa adalah salah satu cabang dari linguistik yang secara khusus mengkaji hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa. Dalam penjelasan ini, “pengertian/ pemahaman bahasa” merujuk pada fakta bahwa untuk mengerti suatu ungkapan/ujaran diperlukan juga pengetahuan di luar makna kata dan hubungan tata bahasanya, yakni hubungannya dengan konteks pemakainya. Bidang “pragmatik” dalam linguistik dewasa ini mulai mendapat perhatian para peneliti dan pakar bahasa di Indonesia. Bidang ini cenderung mengkaji fungsi ujaran atau fungsi bahasa daripada bentuk atau strukturnya. Dengan kata lain, pragmatik lebih cenderung ke fungsionalisme daripada ke formalisme. Hal itu sesuai dengan pengertian pragmatik yang dikemukakan oleh Levinson (1987:5 dan 7), pragmatik adalah kajian mengenai penggunaan bahasa atau kajian bahasa dan perspektif fungsional. Artinya, kajian ini mencoba menjelaskan aspek-aspek struktur bahasa dengan mengacu ke pengaruh-pengaruh dan sebab-sebab nonbahasa.
Berikut merupakan beberapa definisi pragmatik:
1. cabang ilmu bahasa yang menelaah penggunaan bahasa. Satuan-satuan lingual dalam penggunaannya.
2. studi kebahasaan yang terikat konteks.
3. studies meaning in relation to speech situation (Leech, 1983).
4. cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan digunakan dalam komunikasi (Wijana, 1996: 2).
Cukup banyak kiranya batasan atau definisi mengenai pragmatik. Levinson (1987: 1-53), misalnya, membutuhkan 53 halaman hanya untuk menerangkan apakah pragmatik itu dan apa saja yang menjadi cakupannya. Di sini dikutipkan beberapa di antaranya yang dianggap cukup penting.
1. Pragmatik adalah kajian mengenai hubungan antara tanda (lambang) dengan penafsirnya, sedangkan semantik adalah kajian mengenai hubungan antara tanda (lambang) dengan objek yang diacu oleh tanda tersebut.
2. Pragmatik adalah kajian mengenai penggunaan bahasa, sedangkan semantik adalah kajian mengenai makna.
3. Pragmatik adalah kajian bahasa dan perspektif fungsional, artinya kajian ini mencoba menjelaskan aspek-aspek struktur linguistik dengan mengacu ke pengaruh-pengaruh dan sebab-sebab nonlinguistik.
4. Pragmatik adalah kajian mengenai hubungan antara bahasa dengan konteks yang menjadi dasar dari penjelasan tentang pemahaman bahasa.
5. Pragmatik adalah kajian mengenai deiksis, implikatur, praanggapan, tindak tutur, dan aspek-aspek struktur wacana.
6. Pragmatik adalah kajian mengenai bagaimana bahasa dipakai untuk berkomunikasi, terutama hubungan antara kalimat dengan konteks dan situasi pemakaiannya.
Dari beberapa definisi tersebut dapat dipahami bahwa cakupan kajian pragmatik sangat luas sehingga sering dianggap tumpang tindih dengan kajian wacana atau kajian sosiolinguistik. Yang jelas disepakati ialah bahwa satuan kajian pragmatik bukanlah kata atau kalimat, melainkan tindak tutur atau tindak ujaran (speech act). Objek data pragmatik itu konkrit dan jelas karena, (1) jelas kapan bahasa itu digunakan, (2) siapa yang berbicara, (3) kepada siapa.
Di dalam ilmu pragmatik terdapat berbagai macam fenomena salah satunya adalah tindak tutur. Tindak tutur adalah gejala individual yang bersifat psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh John Austin (1911-1960). Dalam teori ini, Austin membedakan tindak tutur menjadi tiga bagian, yaitu: tndak lokusioner (lokusi), tindak ilokusioner (ilokusi), tindak perlokusioner (perlokusi). Tindak lokusi adalah makna dasar dan referensi dari suatu ujaran. Tindak ilokusi adalah daya yang ditimbulkan oleh pemakainya. Sedangkan tindak perlokusi adalah hasil atau efek dari apa yang diucapkan terhadap pendengarnya.
Tindak Tutur dan Jenis-Jenisnya
Tutur (istilah Kridalaksana ‘pertuturan’ / speech act, speech event): pengujaran kalimat untuk menyatakan agar suatu maksud dari pembicara diketahui pendengar (Kridalaksana, 1984: 154) Speech act: an utterance as a functional unit in communication (Richards, 1989: 265). Tuturan (utterance, oleh Kridalaksana disebut dengan istilah ujaran): (1) regangan wicara bermakna di antara dua kesenyapan aktual atau potensial, (2) kalimat atau bagian kalimat yang dilisankan (Kridalaksana, 1984: 2001). Intinya: bahasa pada umumnya sebagai alat komunikasi, tetapi sebenarnya ada tindakan tertentu yang baru dapat terlaksana kalau orang itu mengemukakan tuturan/bahasa. Dengan demikian bahasa bukan semata-mata alat untuk menyatakan sesuatu tetapi juga melakukan sesuatu. Di dalam mengatakan suatu kalimat, seseorang tidak semata-mata mengatakan sesuatu dengan pengucapan kalimat itu. Di dalam pengucapan kalimat ia juga “menindakkan” sesuatu. Ada banyak hal yang dapat ditindakkan di dalam berbicara, antara lain, permintaan (requests), pemberian izin (permissons), tawaran (offers), ajakan (invitation), dan penerimaan akan tawaran (acceptation of offers).
Filosof J.L. Austin membedakan antara tuturan performatif (performativei) dan konstatif (constative). Tuturan performatif (performative utterance): tuturan yang memperlihatkan bahwa suatu perbuatan telah diselesaikan pembicara dan bahwa dengan mengungkapkannya berarti perbuatan itu diselesaikan pada saat itu juga; misalnya: dalam ujaran Saya mengucapkan terima kasih, pembicara mengujarkannya dan sekaligus menyelesaikan perbuatan “mengucapkan” (Kridalaksana, 1984: 2001). Secara ringkas dikatakan pula bahwa tuturan performatif adalah tuturan untuk melakukan sesuatu (perform the action). Tuturan performatif tidak dievaluasi sebagai benar atau salah, tetapi sebagai tepat atau tidak tepat, misalnya: Saya berjanji bahwa saya akan hadir di sana dan performatif primer atau tuturan primer Saya akan hadir di sana (Geoffrey Leech (terjemahan), 1993: 280). Tuturan konstatif atau deskriptif (constative utterance) adalah tuturan yang dipergunakan untuk menggambarkan atau memerikan peristiwa, proses, keadaan, dsb. dan sifatnya betul atau tidak betul (Kridalaksana, 1984: 2001), atau Austin mengatakan bahwa tuturan konstatif dapat dievaluasi dari segi benar-salah (Geoffrey Leech (terjemahan), 1993: 316). Misalnya: (1) Ali pergi ke Jakarta, (2) Saya tidur di hotel.
Ciri-ciri tindakan performatif:
· Subyek harus orang pertama, bukan orang kedua atau ketiga.
· Tindakan sedang/akan dilakukan
Austin dalam menentukan ciri-ciri tuturan performatif ini hanya melihat aspek gramatikalnya saja. Akhirnya direvisi (dilengkapi) oleh murid-muridnya, yaitu dengan adanya syarat-syarat lainnya yang disebut syarat tuturan performatif (felicity condition). Syarat-syarat itu antara lain:
· Orang yang menyatakan tuturan dan tempatnya harus sesuai atau cocok. Misalnya: Saya nyatakan Anda berdua suami-isteri. Penuturnya adalah penghulu (naib), pendeta, rama, tempatnya di KUA, Gereja, Pura, Masjid, objeknya 2 orang (berdua).
· Tindakan harus dilakukan secara sungguh-sungguholeh penutur. Misalnya: Saya mohon maaf atas kesalahan saya. Harus diucapkan sungguh-sungguh, tidak dengan tindakan menginjak kaki mitra tutur-nya.
Syarat itu juga belum cukup, kemudian diperbaharui lagi oleh John Searle, sebagai berikut:
· Penutur harus memiliki niat yang sungguh-sungguh dalam mengemukakan tuturannya. Misalnya: Saya berjanji akan setia padamu. (the act of promising).
· Penutur harus yakin bahwa ia mampu melakukan tindakan itu. atau mampu melakukan apa yang dinyatakan dalam tuturannya. Misalnya: Sesuk kowe tak-tukokke sepur (yakin tidak, kalau tidak berarti bukan tuturan performatif).
· Tuturan harus mempredikasi tindakan yan g akan dilakukan, bukan yang telah dilakukan. Misalnya: Saya berjanji akan setia.
· Tuturan harus mempredikasi tindakan yang akan dilakukan oleh penutur, bukan oleh orang lain. Misalnya: Saya berjanji bahwa saya akan selalu datang tepat waktu.
· Tindakan harus dilakukan secara sungguh-sungguh oleh kedua belah pihak. Misalnya: Aku njaluk pangapura marang sliramu, tumindakku kang ora ndadekake renaning penggalihmu. (Orang perta dan kedua melakukan tindakan secara sungguh-sungguh).
Kalau tuturan tidak memenuhi kelima syarat tersebut, maka tuturan itu dikatakan tidak valid (infelicition).
Tindak tutur (selanjutnya TT) atau tindak ujaran (speech act) mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam pragmatik karena TT adalah satuan analisisnya. Uraian berikut memaparkan klasifikasi dari berbagai jenis TT.
1. Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi
Apabila seseorang menggunakan bahasa, maka ada 3 jenis tindakan atau tindak tutur (selanjutnya disingkat TT), yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Hal ini sejalan dengan pendapat Austin (1962) yang melihat adanya tiga jenis tindak ujar, yaitu tindak lokusi (melakukan tindakan mengatakan sesuatu), tindak ilokusi (melakukan tidakan dalam mengatakan sesuatu), dan tindak perlokusi (melakukan tindakan dengan mengatakan sesuatu). Austin (1962) dalam How to do Things with Words mengemukakan bahwa mengujarkan sebuah kalimat tertentu dapat dipandang sebagai melakukan tindakan (act), di samping memang mengucapkan kalimat tersebut. Ia membedakan tiga jenis tindakan yang berkaitan dengan ujaran, yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi.
Lokusi adalah semata-mata tindak berbicara, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna kata itu (di dalam kamus) dan makna kalimat itu sesuai dengan kaidah sintaksisnya. Di sini maksud atau fungsi ujaran itu belum menjadi perhatian. Jadi, apabila seorang penutur (selanjutnya disingkat P) Jawa mengujarkan “Aku ngelak” dalam tindak lokusi kita akan mengartikan “aku” sebagai ‘pronomina persona tunggal’ (yaitu si P) dan “ngelak” mengacu ke ‘tenggorokan kering dan perlu dibasahi’, tanpa bermaksud untuk minta minum. Ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu. Di sini kita mulai berbicara tentang maksud dan fungsi atau daya ujaran yang bersangkutan, untuk apa ujaran itu dilakukan. Jadi, “Aku ngelak” yang diujarkan oleh P dengan maksud ‘minta minum’ adalah sebuah tindak ilokusi. Perlokusi mengacu ke efek yang ditimbulkan oleh ujaran yang dihasilkan oleh P. Secara singkat, perlokusi adalah efek dari TT itu bagi mitra-tutur (selanjutnya MT). Jadi, jika MT melakukan tindakan mengambilkan air minum untuk P sebagai akibat dari TT itu maka di sini dapat dikatakan terjadi tindak perlokusi.
2. TT Representatif, Direktif, Ekspresif, Komisif, dan Deklaratif
Searle (1975) mengembangkan teori TT dan membaginya menjadi lima jenis TT (dalam Ibrahim, 1993: 11-54). Kelima TT itu sebagai berikut:
(1) TT representatif yaitu TT yang mengikat P-nya kepada kebenaran atas apa yang dikatakannya, misalnya menyatakan, melaporkan, menunjukkan, dan menyebutkan.
(2) TT direktif yaitu TT yang dilakukan P-nya dengan maksud agar si pendengar atau MT melakukan tindakan yang disebutkan di dalam ujaran itu, misalnya menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, dan menantang.
(3) TT ekspresif ialah TT yang dilakukan dengan maksud agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi mengenai hal yang disebutkan di dalam ujaran itu, misalnya memuji, mengucapkan terima kasih, mengritik, dan mengeluh.
(4) TT komisif adalah TT yang mengikat P-nya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam ujarannya, misalnya berjanji dan bersumpah.
(5) TT deklaratif merupakan TT yang dilakukan P dengan maksud untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru, misalnya memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, dan memberi maaf.
3. TT Langsung dan TT Tidak Langsung
Derajat kelangsungan TT dapat diukur berdasarkan “jarak tempuh” antara titik ilokusi ( di benak P) ke titik tujuan ilokusi (di benak MT). Derajat kelangsungan dapat pula diukur berdasarkan kejelasan pragmatisnya: makin jelas maksud ujaran makin langsunglah ujaran itu, dan sebaliknya. Dari kesembilan bentuk ujaran tersebut, yang paling samar-samar maksudnya ialah bentuk ujaran (9), berupa isyarat halus. Karena kata “meja” sama sekali tidak disebutkan oleh P dalam ujaran (9), maka MT harus mencari-cari konteks yang relevan untuk dapat menangkap maksud P.
Selain TT-L dan TT-TL, P dapat juga menggunakan tindak tutur harafiah (TT-H) atau tindak tutur tidak harafiah (TT-TH) di dalam mengutarakan maksudnya. Jika kedua hal itu, kelangsungan dan keharafiahan ujaran, digabungkan maka akan didapatkan empat macam ujaran, yaitu:
1. TT-LH : “Buka mulut”, misalnya diucapkan oleh dokter gigi kepada pasiennya.
2. TT-LTH : “Tutup mulut”, misalnya diucapkan oleh seseorang yang jengkel kepada MT-nya yang selalu “cerewet”.
3. TT-TLH : “Bagaimana kalau mulutnya dibuka?”, misalnya diucapkan oleh dokter gigi kepada pasien yang masih kecil agar anak itu tidak takut.
4. TT-TLTH : “Untuk menjaga rahasia, lebih baik jika kita semua sepakat menutup mulut kita masing-masing”, misalnya diucapkan oleh P yang mengajak MT-nya untuk tidak membuka rahasia.
Dengan demikian, secara ringkas, berdasarkan uraian dan contoh-contoh di atas dapat dicatat ada delapan TT sebagai berikut (bandingkan Wijana, 1996: 36).
(1) Tindak tutur langsung (TT-L)
(2) Tindak tutur tidak langsung (TT-TL)
(3) Tindak tutur harafiah (TT-H)
(4) Tindak tutur tidak harafiah (TT-TH)
(5) Tindak tutur langsung harafiah (TT-LH)
(6) Tindak tutur tidak langsung harafiah (TT-TLH)
(7) Tindak tutur langsung tidak harafiah (TT-LTH)\
(8) Tindak tutur tidak langsung tidak harafiah (TT-TLTH)
2. Prinsip-prinsip Pragmatik
Pada tahap tertentu pendekatan pragmatik memiliki hubungan yang cukup dekat dengan sosiologi, yaitu dalam pembicaraan mengenai masyarakat pembaca. pendekatan pragmatik memiliki manfaat terhadap fungsi-fungsi karya sastra dalam masyarakat, perkembangan dan peruasannya, sehingga manfaat karya sastra dapat dirasakan. Dengan indikator pembaca dan karya sastra, tujuan pendekatan pragmatik memberikan menfaat terhadap pembaca. pendekatan pragmatik secara keseluruhan berfungsi untuk menopang teori resepsi sastra, teori sastra memungkinkan pemahaman hakikat karya tanpa batas.
Pendekatan pragmatik mempertimbangkan implikasi pembaca melalui berbagai kompetensinya. Dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan pembaca, maka masalah-masalah yang dapat dipecahkan melalui pendekatan pragmatik diantaranya berbagai tanggapan masyarakat terhadap sebuah karya sastra, baik sebagai pembaca eksplisit maupun implisit, baik dalam kerangka sinkronis maupun diakronis. Teori-teori postrukturalisme sebagian besar bertumpu pada kompetensi pembaca sebab semata-mata pembacalah yang berhasil untuk mengevokasi kekayaan khasanah kultural bangsa.
Berbeda dengan kajian pendekatan pragmatik, kajian pragmatik lebih menitikberatkan pada ilokusi dan perlokusi daripada lokusi sebab di dalam ilokusi terdapat daya ujaran (maksud dan fungsi tuturan), perlokusi berarti terjadi tindakan sebagai akibat dari daya ujaran tersebut. Sementara itu, di dalam lokusi belum terlihat adanya fungsi ujaran, yang ada barulah makna kata/kalimat yang diujarkan.
Fungsi bahasa yang paling utama adalah sebagai sarana komunikasi. Di dalam komunikasi, satu maksud atau satu fungsi dapat dituturkan dengan berbagai bentuk tuturan. Misalnya, untuk maksud “menyuruh” agar seseorang melakukan suatu tindakan dapat diungkapkan dengan menggunakan kalimat imperatif, kalimat deklaratif atau kalimat interogatif. Jadi, secara pragmatis, kalimat berita (deklaratif) dan kalimat tanya (interogatif) di samping berfungsi untuk memberitakan atau menanyakan sesuatu juga berfungsi untuk menyuruh (imperatif atau direktif).
Kalau orang berbicara kepada orang lain pasti ingin mengemukakan sesuatu. Selanjutnya orang lain diharapkan menangkap apa (hal) yang dikemukakan. Dengan adanya 2 tujuan ini, maka orang akan berbicara sejelas mungkin, tidak berbelit-belit, ringkas, tidak berlebihan, berbicara secara wajar (termasuk volume suara yang wajar). Hanya saja dalam pragmatik terdapat penyimpangan-penyimpangan, ada maksud-maksud tertentu, tetapi ia harus bertanggung jawab atas penyimpangan itu, sehingga orang lain bisa mengetahui maksudnya. Mereka harus saling menjaga prinsip kerja sama (cooperative principle) agar proses komunikasi berjalan dengan lancar. Tanpa adanya prinsip kerja sama komunikasi akan terganggu. Prinsip kerja sama ini terealisasi dalam berbagai kaidah percakapan. Secara lebih rinci, Grice menjabarkan prinsip kerja sama itu menjadi empat maksim percakapan (Gunarwan, 1993: 11; Lubis, 1993: 73; dan bandingkan pula Wijana, 1996: 46-53). Keempat maksim percakapan itu ialah sebagai berikut:
1. Maksim kuantitas:
a. Berikan informasi Anda secukupnya atau sejumlah yang diperlukan oleh MT.
b. Bicaralah seperlunya saja, jangan mengatakan sesuatu yang tidak perlu.
2. Maksim kualitas:
a. Katakan yang relevan.
b. Bicaralah sesuai dengan permasalahan.
3. Maksim relevansi:
a. Katakanlah hal yang sebenarnya.
b. Jangan katakan sesuatu yang Anda tahu bahwa sesuatu itu tidak benar.
c. Jangan katakan sesuatu tanpa bukti yang cukup.
4. Maksim cara:
a. Katakan dengan jelas.
b. Hindari kekaburanan ujaran.
c. Hindari ketaksaan.
d. Bicaralah secara singkat, tidak bertele-tele.
e. Berkatalah secara sistematis.
Kenyataan membuktikan, di dalam percakapan sehari-hari tidak jarang kita temukan praktik-praktik pelanggaran terhadap maksim-maksim Grice tersebut. Akan tetapi, bagi pengamat pragmatik, justeru pelanggaran-pelanggaran itulah yang menarik untuk dikaji: mengapa P melakukan pelanggaran terhadap maksim tertentu, ada maksud apa di balik pelanggaran maksim tersebut? Misalnya, mengapa P yang bermaksud meminjam uang atau memerlukan bantuan kepada MT biasanya diawali dengan menceritakan secara panjang lebar keadaan dirinya seraya disertai dengan janji-janji? Apakah itu berlaku secara universal? Bukankah tindakan tersebut melanggar maksim kuantitas?
Di antara empat maksim itu, maksim ketiga atau maksim relevansilah yang paling penting sebab betapa pun informasi yang kita sampaikan itu cukup serta disampaikan dengan cara yang jelas, sistematis, dan tidak ambigu, kalau informasi itu tidak relevan dengan permasalahan maka tidak akan membawa manfaat. Sejauh mana asumsi ini benar, masih memerlukan pengkajian secara pragmatis.
Asumsi pragmatik ini merupakan titik acuan (point of reference). Untuk memenuhi komunikasi secara wajar dan terjadi kerja sama yang baik, maka dalam komunikasi harus memenuhi prinsip (maksim). Dalam pragmatik dikontrol oleh maksim (principle controlled), sedangkan dalam gramatika/ tatabahasa diatur oleh kaidah (rule governed).
Terdapat beberapa asumsi pragmatik, yaitu:
1. Maksim kuantitas, berbicara sejumlah yang dibutuhkan oleh pendengar. Kalau lebih berarti ada tujuannya. Misalnya: Ibu kota Provinsi Jawa Timur Surabaya. (Secara kuantitas cukup jelas). Ibu kota Provinsi Jawa Timur Sura …… Tuturan ini disampaikan oleh guru, lalu murid menjawab ….. baya.
2. Maksim kualitas, prinsip yang menghendaki orang-orang berbicara berdasarkan bukti-bukti yang memadai. Misalnya: Buku itu dibuat dari kertas. Bukti cukup memadai, tetapi apabila ada tuturan *Buku itu dibuat dari nasi, bukti tidak memadai. Dalam kaitannya dengan maksim kualitas, terdapat penyimpangan maksim, misalnya Modal saja tidak bisa dan Untung saja tidak dapat.
3. Maksim relevansi, Penutur dan mitra tutur berbicara secara relevan berdasarkan konteks pembicaraan.
Misalnya:
A : Ini jam berapa?
B : Ini jam 3.
Akan menjadi tidak relevan misalnya apabila B menjawab Ini baju kamu atau Di sana.
4. Maksim cara, tuturan harus dikomunikasikan secara wajar, tidak boleh ambigu (taksa), tidak terbalik (harus runtut).
Misalnya:
A : Dia penyanyi solo.
B : Benar, dia sering tampil di TVRI.
Tetapi kadang-kadang dalam tuturan yang wajar terjadi dis-ambiguasi (pengawaambiguan), sehingga kata-kata yang ambigu itu hanya satu makna.
Misalnya:
A : Kamu penjahat kelas kakap, ya?
B : Bukan, mujair.
A : Ini Tanah Abang, ya?
B : Jangan menghina, masak saya miskin seperti ini punya tanah.
Keempat prinsip tersebut di atas termasuk pada jenis ‘retorika tekstual’ sebab dalam pragmatik dikenal adanya retorika tekstual dan retorika interpersonal. Retorika tekstual harus memenuhi 4 prinsip (maksim) kerja sama, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara. Sedangkan retorika interpersonal harus memperhitungkan orang lain. Jadi tidak hanya bersifat tekstual. Retorika interpersonal membutuhkan prinsip kesopanan (politeness principle). Menurut Leech, ada 6 macam prinsip kesopanan, yaitu:
1. Maksim kebijaksanaan/kedermawanan, tact maxim. Ditujukan pada orang lain (other centred maxim). Jenis maksim ini untuk berjanji dan menawarkan (impositif, komisif), yaitu memaksimalkan keuntungan orang lain, meminimalkan kerugian orang lain.
Misalnya:
A : Mari saya bawakan!
B : Tidak usah.
Tuturan A dan B disebut pragmatik paradoks.
2. Maksim penerimaan (approbation maxim). Ditujukan pada diri sendiri, bukan pada orang lain (self centred maxim). Maksim penerimaan ini ditujukan untuk menawarkan dan berjanji. = memaksimalkan kerugian diri sendiri, meminimalkan keuntungan diri sendiri.
Misalnya:
Bolehkah saya bantu?
Mari saya bantu.
Apakah Anda bersedia membawakan?
3. Maksim kemurahhatian (generosity maxim). Pusatnya orang lain (other centred maxim) Maksim ini ditujukan untuk kategori asertif dan ekspresif. = memaksimalkan rasa hormat pada orang lain, meminimalkan rasa tidak hormat pada orang lain.
Misalnya:
Omahmu jane apik, ning emane cedhak pabrik.
Pekarangane jembar, nanging emane akeh sukete.
4. Maksim kerendahhatian (modesty maxim). Pusatnya pada diri sendiri (self centred maxim). = meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri dan memaksimalkan rasa tidak hormat pada diri sendiri.
Misalnya:
A : Kau sangat pandai.
B : Ah tidak, biasa-biasa saja.
A : Mobilnya bagus!
B : Ah, begini saja kok bagus.
5. Maksim kesetujuan atau kecocokan (agreement maxim). Pusatnya pada orang lain (other centred maxim). Ditujukan untuk menyatakan pendapat dan ekspresif. = memaksimalkan kesetujuan pada orang lain dan meminimalkan ketidaksetujuan pada orang lain.
Misalnya:
A : rumah kamu bagus.
B : Iya, bagus sekali.
A : Wah, ayu cantik sekali
B : Iya, lumayan
(Ketidaksetujuan parsial / sopan)
6. Maksim kesimpatian (symphaty maxim). Pusatnya orang lain (other centred maxim). Ditujukan untuk menyatakan asertif dan ekspresif. = memaksimalkan simpati pada orang lain dan meminimalkan antipati pada orang lain.
Misalnya:
A : Saya lolos di UMPTN, Jon.
B : Selamat, ya.
A : Baru-baru ini dia telah meninggal.
B : Oh, saya turut berduka cita.
3. Kaidah-kaidah Pragmatik
Pendekatan pragmatik mementingkan pengaruh karya sastra terhadap pembaca/pendengar atau khalayaknya. Bila suatu karya sastra ada manfaat kesenangan dan intelektual (Jalil dan Rahman, 2004: 178)
Berbeda dengan kaidah pendekatan pragmatik, kaidah pragmatik dalam ilmu bahasa yaitu:
1. Pragmatik menelaah mengenai hubungan tanda-tanda dengan penafsir (Morris, 1938:6). Teori pragmatik menjelaskan alasan atau pemikiran para pembicara dan penyimak dalam menyusun korelasi dalam suatu konteks sebuah tanda kalimat dengan suatu proposisi (rencana, atau masalah). Dalam hal ini teori pragmatik merupakan bagian dari performansi.
2. Pragmatik menelaah mengenai hubungan antara bahasa dan konteks yang tergramatisasikan atau disandikan dalam struktur sesuatu bahasa.
3. Pragmatik menelaah mengenai segala aspek makna yang tidak tercakup dalam teori semantik, atau dengan perkataaan lain: memperbincangkan segala aspek makna ucapan yang tidak dapat dijelaskan secara tuntas oleh referensi langsung kepada kondisi-kondisi kebenaran kalimat yang ciucapkan. Secara kasar dapat dirumuskan: pragmatik = makna - kondisi-kondisi kebenaran.
4. Pragmatik menelaah laporan pemahaman bahasa, dengan kata lain: telaah mengenai kemampuan pemakai bahasa menghubungkan serta menyerasikan kalimat-kalimat dan konteks-konteks secara tepat.
5. Pragmatik menelaah mengenai deiksis, implikatur, anggapan penutur (presupposition), tindak ujar, dan aspek struktur wacana.
Pragmatik sebenarnya merupakan bagian dari ilmu tanda atau semiotics atau semiotika. Pemakaian istilah pragmatik (pragmatics) dipopulerkan oleh seorang filosof bernama Charles Morris (1938), yang mempunyai perhatian besar pada ilmu pengetahuan tentang tanda-tanda, atau semiotik (semiotics). Dalam semiotik, Morris membedakan tiga cabang yang berbeda dalam penyelidikan, yaitu: sintaktik (syntactics) atau sintaksis (syntax) yaitu telaah tentang relasi formal dari tanda yang satu dengan tanda yang lain (mempelajari hubungan satuan lingual dengan satuan lingual lain: tanda dengan tanda); semantik (semantics) yaitu telaah tentang hubungan tanda-tanda dengan objek di mana tanda-tanda itu diterapkan (ditandainya) (atau hubungan antara penanda dan petanda (signifiant dan signifie/yang ditandai)); dan pragmatik yaitu telaah tentang hubungan tanda-tanda dengan penafsir (interpreters). Ketiga cabang tersebut kemudian lebih dikenal dengan teori trikotomi.
4. Metode dan Teknik
- Metode
Metode yang digunakan adalah metode analisis deskriptif kualitatif. Metode deskriptif kualitatif merupakan metode yang dilakukan dengan cara menguraikan dan memaparkan fakta-fakta kemudian disusul dengan anallisis. Analisis deskriptif terhadap karya Djenar Maesa Ayu dalam cerpen Waktu Nayla memaparkan bentuk analisis pendekatan pragmatik. Teks yang dianalisis mempergunakan kajian landasan teori yang dipakai, kemudian dideskripsikan pada hasil yang ditemukan pada teks cerpen, selanjutnya kualitas cerpen diketahui berdasarkan manfaatnya bagi pembaca.
- Teknik Analisis Data
1. Pembaca membaca cerpen yang dianalisis secara keseluruhan
2. Mengidentifikasi
3. Mengklasifikasi
4. Analisis
5. Menyimpulkan
B. Belajar dari Pengalaman Nayla
Identitas Buku
Judul buku : Mereka Bilang, Saya Monyet!
Judul cerpen : Waktu Nayla
Pengarang : Djenar Maesa Ayu
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Ketujuh
Kota terbit : Jakarta
Tahun terbit : 2004
Halaman : 65-75
Nayla adalah sebuah nama yang diciptakan oleh Djenar Maesa Ayu dalam cerpennya yang berjudul Waktu Nayla. Cerpen yang bersudut pandang orang ketiga serba tahu ini merupakan sebuah cerpen yang bertemakan kehidupan. Kehidupan seorang wanita yang hidupnya seakan dikejar waktu. Alur cerita yang tidak berbelit-belit (maju) membuat pembaca mudah memahami amanat yang ingin disampaikan pengarang. Kita sebagai manusia hanyalah mampu mengikuti aturan dan ketetapan yang telah ditentukan oleh Tuhan. Semua telah diatur olehNya dan kita wajib mentaatiNya hingga batas waktu yang diberikan kepada kita berakhir. Maka, sebelum itu, lakukanlah yang terbaik. Demikian pula lah yang dilakukan oleh tokoh dalam cerpen ini. Dia adalah seorang wanita yang sangat tidak bersahabat dengan waktu. Setiap kegiatan yang ia lakukan selalu terburu-buru karena ia ingin memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Ia selalu mengemudi mobilnya dengan kecepatan tinggi agar cepat sampai ke tempat yang ingin ditujunya. Ia selalu memperhatikan detik demi detik jam yang terletak indah di mobilnya itu. Namun, tidak jarang ia mampir di pinggir jalan hanya untuk menanyakan waktu. Kerap kali ia tidak percaya dengan waktu yang ditunjukkan oleh jam yang terdapat di mobilnya itu.
Berdasarkan pendekatan pragmatik, maka Cerpen Waktu Nayla memiliki citra yang berbeda-beda dari tiap-tiap pembaca. Hal ini disebabkan adanya perbedaan pandangan antara pembaca satu dan pembaca lain, adakalanya pembaca memandang dari sudut estetika. Para pembaca yang memandang cerpen Waktu Nayla dari sudut pandang ini akan mengutarakan pendapatnya secara objektif dan mengacu pada interpretasinya sendiri sehingga terkadang akan muncul pendapat bahwa karya cerpen Waktu Nayla ini adalah suatu karya sastra yang indah dan menarik, diihat dari struktur penyampaian atau penulisannya.
Sedangkan pembaca yang melihat karya cerpen Waktu Nayla ini berdasarkan pelajaran/pendidikan, apa yang dia (pembaca) terima, pembaca cenderung menganggap karya ini adalah karya sastra yang kurang baik, karena adanya penyimpangan nilai norma/moral yang ada di masyarakat, misal: Nayla yang suka mengkonsumsi alkohol bersama teman-temannya di Bar. Hal ini disebabkan latar kebudayaan yang menjadi setting dalam karya ini, yaitu kebudayaan masyarakat Jakarta yang umumnya hidup bebas karena telah tepengaruh lingkungan. Jakarta sebagai pusat industri, pusat komunikasi, pusat entertain, tentu memiliki pengaruh yang sangat besar kepada masyarakatnya. Oleh karena itu, tokoh utama dalam cerpen ini hidup dalam kebebasan. Meskipun ia adalah seorang Ibu dan seorang istri yang seharusnya selalu di rumah mengurus anak dan suami, seakan tidak mengindahkan norma dan hukum dari ketentuan dirinya sebagai seorang ibu dan seorang istri. Hal ini juga yang menyebabkan cerpen Waktu Nayla memperoleh citra baik dari pembaca yang melihat karya ini dari sudut pandang pendidikan/edukasi. Terlepas dari itu, pandangan-pandangan pembaca ini seharusnya tidak menjatuhkan cerpen Waktu Nayla, melainkan makin memperkaya pandangan kita terhadap suatu karya.
Ditinjau dari struktur penulisannya, Djenar menggunakan bahasa yang sederhana sehingga mudah ditafsirkan pembaca maksud dari cerpen ini. Namun, dalam mengungkapkan cerita, Djenar Maesa Ayu menampilkan cara yang berbeda. Ia menyampaikan cerita dengan retorikanya yang menonjolkan seksualitas. Hal ini membuat pembaca menafsirkan karya ini dengan beragam. Selain itu, penggunaan kosakata dari bahasa gaul (bahasa yang digunakan oleh mereka yang bebas pergaulannya) membuat para pembaca yang tidak pernah berbicara menggunakan bahasa tersebut yang biasanya hanya terdapat dilingkungan mereka yang hobi clubbing merasa kesulitan untuk mengerti apa yang dimaksud oleh penulis. Namun anehnya, beberapa orang (kritikus) menganggap bahwa kesulitan dalam memahami karya sastra merupakan suatu keistimewaan atau keindahan dari karya sastra tersebut.
3. EKSPRESIF
A. Teori Ekspresif
1. Pengertian
Secara umum, Abrams (dalam Teeuw, 1984:50) mengemukakan empat pendekatan dalam melihat karya sastra. Salah satu pendekatan itu adalah penekanan pada pengarangnya. Pendekatan ini lebih dikenal sebagai pendekatan ekspresif. Abrams menjelaskan bahwa pendekatan ekspresif memandang karya sastra sebagai pernyataan dunia batin pengarang yang bersangkutan. Jika dibayangkan bahwa segala gagasan, cita rasa, emosi, ide, dan angan-angan merupakan ‘dunia dalam’ pengarang, karya sastra merupakan ‘dunia luar’ yang bersesuaian dengan ‘dunia dalam’ itu; dengan cara pendekatan ini, penilaian karya sastra tertuju pada emosi atau keadaan jiwa pengarang. Karya sastra dianggap sebagai sarana untuk memahami keadaan jiwa pengarang, atau sebaliknya. Penelitian yang menggunakan pendekatan ekspresif, seperti dilontarkan oleh Abrams (1976), ialah penelitian karya sastra yang menekankan peranan penulis karya sastra sebagai penciptanya. Penelitian yang menggunakan teori ini perlu dikaji ulang dalam kaitannya dengan teori interpretasi.
Penekanan aspek ekspresif karya sastra telah lama dimulai. Pada masa Yunani dan Romawi penonjolan aspek ekspresif karya sastra telah dimulai seorang ahli sastra Yunani Kuno, Dionysius Casius Longius, dalam bukunya On the Sublime (Mana Sikana, dalam Atmazaki, 1990: 32-33). Menurut Longius karya sastra harus mempunyai gaya bahasa yang baik, mempunyai falsafah, pemikiran, dan persoalan agung yang penting, harus mempunyai emosi yang intens dan terpelihara serta tahan menghadapi zaman. Kenyataan ini menyebabkan pengarang mesti punya konsep yang jelas dan jauh dari kebimbangan-kebimbangan yang melanda dirinya.
Bila kemudian Plato mengungkapkan bahwa karya sastra adalah meniru dan meneladani ciptaan Tuhan, cukupkah sampai di situ peran seoraang pengarang? Ternyata Aristoteles menolak pendapat yang menyatakan bahwa posisi pengarang hanya berada di bawah Tuhan. Menurutnya, ciptaan Tuhan hanyalah sebagai tempat bertolak. Pengarang dalam penciptaan karyanya, dengan daya khayal dan kreativitas yang dipunyainya, justru mampu menciptakan kenyataan yang lebih kurang terlepas dari kenyataan alami. Dalam hal ini secara “lancang” menurut Aristoteles (dalam Atmazaki, 1990: 33) pengarang dengan sombongnya sebagai pencipta telah menyamai Tuhan.
Aspek ekspresif sebagai salah satu pendekatan dalam sastra barangkali lebih cocok dipakai dalam melihat kebimbangan pengarang dalam berkarya. Atmazaki (1990: 34-35) mengatakan bahwa pementingan aspek ekspresif ini disebabkan oleh alasan-alasan berikut:
1. Pengarang adalah orang pandai. Ia adalah filsuf yang ajarannya dianggap sebagai filsafat yang menguasai cara berpikir manusia.
2. Kata author berarti pengarang, yang bila ditambah akhiran –itu berarti berwenang atau berkuasa. Dalam hal ini yang dimaksudkan sudah tentu penguasaan bahasa, namun menciptakan kenyataan lewat bahasa yang tidak sama dengan kenyataan alami. Akan tetapi, walaupun tidak sama kenyataan itu adalah hakiki, kenyataan yang tinggi nilainya, sehingga orang dapat bercermin dengan kenyataan tersebut.
3. Pengarang adalah orang yang mempunyai kepekaan terhadap persoalan, punya wawasan kemanusiaan yang tinggi dan dalam. Pengarang punya pemikiran dan perasaan yang selalu lebih maju, walau dalam masyarakat hal ini seringkali dianggap membingungkan lantaran rumitnya.
Kecurigaan yang pertama kali atas ketidakjujuran seorang pengarang dalam berkarya adalah persoalan konsepnya dalam mengarang dan kelabilan untuk segera “cepat mapan”. Bila terpengaruh dianggap sebagai sesuatu yang dibolehkan, dalam kenyataannya memang banyak yang melakukannya. Namun mengambil dengan jelas-jelas karya orang lain dan menganggapnya sebagai karya sendiri, sudah tentu tidak dapat dimaafkan dan menghilangkan rasa simpati serta kepercayaan orang. Kesusahan yang telah dijalani pengarang lain dirampok begitu saja. Kelabilan atau kebimbangan pengarangnya dilihat dari aspek ekspresif, bisa menghasilkan hal menarik dalam sebuah telaahan kritis.
Harga sebuah kata, tulis Goenawan Mohamad (dalam Horison, Januari 1986), ditentukan oleh tebalnya lapisan penderitaan yang membuat kata itu ditulis. Sebuah puisi atau novel, adalah pencerminan pribadi; sebuah komposisi dari pengalaman yang tulen. Justru karena puisi atau novel mendapatkan kekuatannya dari sana, ia tidak perlu tersisih dari perhatian. Di sampingnya, sang pengarang seharusnya tak perlu lagi menunjukkan diri.
2. Prinsip-prinsip Ekspresif
Atmazaki (1990:36) menguraikan mengenai pendekatan ekspresif sebagai berikut:
a. Pendekatan ekspresif berhubungan erat dengan kajian sastra sebagai karya yang dekat dengan sejarah, terutama sejarah yang berhubungan dengan kehidupan pengarangnya. Dalam kaitan ini maka dibahaslah latar belakang kehidupan pengarang, daerah kelahirannya, latar belakang sosial ekonomi, latar belakang pendidikannya, pengalaman-pengalaman penting yang pernah dilewatinya, dan lain-lain.
b. Karya sastra dianggap sebagai pancaran kepribadian pengarang. Gerak jiwa, pengembaraan imajinasi dan fantasi pengarang terlukis dalam karyanya.
Kebimbangan-kebimbangan dalam kesusastraan berawal dari kebimbangan dalam diri pengarangnya, baik ketika ia akan terjun di dunia itu atau yang telah ‘mapan’ sekalipun. Kebimbangan-kebimbangan ini akhirnya dicatat sebagai sejarah, membesar dan menjadi kebimbangan pemikiran kesusastraan atau kebudayaan. Bahaya besar sebenarnya, justru datang tak lain dan tak bukan dari kaum pengarang itu sendiri.
Di antara gemuruh mengalirnya karya sastra, di antara riak gelombang perdebatan yang ada, di antara kebimbangan-kebimbangan yang terlukis lewat polemik yang tak habis-habisnya, ternyata kesusastraan tak mampu menyelesaikan masalah. Mungkin benar, sastra hanyalah sebagai alternatif-alternatif semata. Ia tak pernah benar-benar eksis sebagai sesuatu yang bisa diandalkan, walaupun misalnya dalam demonstrasi sekalipun. Ia hanya penggugah, pelopor, atau pilihan yang masih memerlukan upaya lebih besar lagi darinya.
3. Kaidah-kaidah Ekspresif
Teori ekspresif lebih menonjolkan penulis karya sastra sebagai penciptanya. Jika dalam aliran sastra, maka mencanangkan pengucapan pribadi untuk ciptaan-ciptaanya. Karya-karyanya adalah sepenuhnya pengucapan pribadi, pencurahan perasaan dan pikiran, yang berasal dari diri sastrawan. Dapat dibandingkan dengan imperionisme. Eksperionisme yaitu visi pribadi bukan realitas (Rahman dan Jalil, 2004:178).
Jika masing-masing pengarang kita tanyakan apa tujuan atau motivasi dari kepengarangannya, maka berbagai jawaban pun akan terkumpul. Boleh jadi kepengarangannya lantaran ingin mengungkapkan ekspresi, karena bakat, keinginan untuk terkenal, sebagai profesi, dan sebagainya. Tapi jujurkah jawaban yang mereka ungkapkan? Lebih jauh, jujurkah mereka dalam gerak lajunya untuk memperoleh titel pengarang “yang benar-benar sukses”?
Berbagai kejadian di dunia kepengarangan, khususnya dalam kasus plagiat karya pengarang yang telah “mapan” tidak hanya sekali dua kali kita dengar. Kelabilan para (calon) pengarang terkadang tidak segan-segannya berbuat sesuatu yang sebenarnya merusak namanya sendiri. Pada dasarnya, mereka menginginkan kesejajaran dengan pengarang yang telah “sukses” terlebih dahulu dengan bersusah payah. Kelabilan bersikap, kelabilan berkarya, dan kelabilan dalam memahami dunia yang tengah ditekuninya, merupakan di antara penyebab kegoncangan dunia sastra.
Menjadi seorang pengarang memang bukan pekerjaan yang mudah. Walaupun begitu, pekerjaan mengarang tidak pula sesuatu yang mengerikan. Konsistensi dalam mengarang bisa menjadikannya kaya, terutama di bidang pengetahuan yang didalami. Seorang pengarang termashur menurut Jassin (1985:11) kebanyakan mempunyai ilmu yang tidak langsung bersangkutan dengan pekerjaannya sebagai pengarang. Banyak di antara mereka yang seharusnya bisa mencapai dan memakai titel sarjana dan doktor, tapi tidak memakai titel itu. Memang bukan dalam titel letaknya kebesaran dan kebahagiaan pengarang, melainkan masak atau tidaknya buah ciptaannya.
Tentu akan menjadi tiada berarti bila pengarang hanya sibuk sendiri tanpa melihat dan mengikutsertakan masyarakatnya. Bisa jadi puisi dan novelnya – yang mungkin penting – tidak akan dibaca. Kritik karya yang yang penuh rayuan gombal jalan sendiri dan masyarakat merasa tidak membutuhkannya. Kebimbangan pengarang bisa menjadi tidak terkendali. Kritik sastra yang diberlakukan berubah menjadi psikoanalisis, dan akhirnya gosip. Goenawan Mohammad (dalam Horison, Januari 1986) menyebut situasi yang terjadi di pihaak pengaran adalah gosip-gosipan, dimana ia berubah menjadi tokoh publik.
4. Metode dan Teknik
- Metode
Metode yang digunakan adalah metode analisis deskriptif kualitatif. Metode deskriptif kualitatif merupakan metode yang dilakukan dengan cara menguraikan dan memaparkan fakta-fakta kemudian disusul dengan anallisis. Analisis deskriptif terhadap karya Djenar Maesa Ayu dalam cerpen Waktu Nayla memaparkan bentuk analisis resepsi sastra. Teks yang dianalisis mempergunakan kajian landasan teori yang dipakai, kemudian dideskripsikan pada hasil yang ditemukan pada teks cerpen, selanjutnya kualitas cerpen diketahui berdasarkan tanggapan pembaca.
- Teknik Analisis Data
1. Pembaca membaca cerpen yang dianalisis secara keseluruhan
2. Mengidentifikasi
3. Mengklasifikasi
4. Analisis
5. Menyimpulkan
B. Kesedihan Nayla
Identitas Buku
Judul buku : Mereka Bilang, Saya Monyet!
Judul cerpen : Waktu Nayla
Pengarang : Djenar Maesa Ayu
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Ketujuh
Kota terbit : Jakarta
Tahun terbit : 2004
Halaman : 65-75
Nayla adalah sebuah nama yang diciptakan oleh Djenar Maesa Ayu dalam cerpennya yang berjudul Waktu Nayla. Cerpen yang bersudut pandang orang ketiga serba tahu ini merupakan sebuah cerpen yang bertemakan kehidupan. Kehidupan seorang wanita yang hidupnya seakan dikejar waktu. Alur cerita yang tidak berbelit-belit (maju) membuat pembaca mudah memahami amanat yang ingin disampaikan pengarang. Kita sebagai manusia hanyalah mampu mengikuti aturan dan ketetapan yang telah ditentukan oleh Tuhan. Semua telah diatur olehNya dan kita wajib mentaatiNya hingga batas waktu yang diberikan kepada kita berakhir. Maka, sebelum itu, lakukanlah yang terbaik. Demikian pula lah yang dilakukan oleh tokoh dalam cerpen ini. Dia adalah seorang wanita yang sangat tidak bersahabat dengan waktu. Setiap kegiatan yang ia lakukan selalu terburu-buru karena ia ingin memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Ia selalu mengemudi mobilnya dengan kecepatan tinggi agar cepat sampai ke tempat yang ingin ditujunya. Ia selalu memperhatikan detik demi detik jam yang terletak indah di mobilnya itu. Namun, tidak jarang ia mampir di pinggir jalan hanya untuk menanyakan waktu. Kerap kalil ia tidak percaya dengan waktu yang ditunjukkan oleh jam yang terdapat di mobilnya itu.
Djenar Maesa Ayu dalam keseharian adalah seorang ibu muda, beranak dua, berdaster batik ria saat di rumah, memasak, membersihkan rumah berlantai tiga dan mengurus anak-anaknya. Sendirian. Tidak ada pembantu, meski tinggal di rumah gedongan pinggiran Jakarta Barat. “Saat seperti inilah saya merasa “kaya”. Tanpa pembantu, saya bisa memaksimalkan peran saya sebagai ibu,” kata Djenar sambil menatap mesra wajah anak bungsunya, Bidari Maharani (8) yang terlelap di atas pangkuannya, dan anak sulungnya, Banyu Bening (17). Seperti kehidupan sehariannya, Cerpen Waktu Nayla merupakan cerpen yang mengisahkan sosok seorang wanita yang memiliki suami dan anak. Melakukan kegiatan seperti memasak, mengantar anak ke sekolah, dan mengurus keluarga. Namun, Nayla dalam cerpen ini menderita kanker ganas. Penyakit itu seperti belati yang setiap waktu siap membunuhnya. Ekspresi ketakutan akan kematian dari Nayla ini tentu saja dapat kita temukan dalam cerpen ini. Seperti pada kutipan Nayla mulai merasakan dadanya berdebar (hal74). Itu artinya, nayla sangat takut ketika akan menghadapi kematian yang tentu saja belum diinginkan kehadirannya. Ekspresi kesedihan Nayla terlihat pada kutipan menghapus air mata yang menitik (hal. 68). Dari kutipan itu dapat kita ketahui bahwa kesedihannya diekspresikannya dengan menitikkan air mata. Dari sosok Nayla ini, ada hubungan yang terjalin antara pengarang dengan karyanya. Sebagai seorang wanita, Djenar menciptakan cerpen yang feminimisme, tentang seorang Ibu, seorang Istri, ataupun wanita simpanan.
Bilamana dalam cerpennya ini ia mengusung persoalan seks, ini terjadi karena dalam dirinya seks bukan sesuatu yang “mewah”. Naluri seksual baginya adalah sesuatu yang amat alamiah dan perlu. Ditilik secara medis pun, diakui bahwa seks dibutuhkan oleh metabolisme tubuh. Dalam cerpen Waktu Nayla ini, Djenar secara terang-terangan menceritakan tentangan hubungan intim antara Nayla dan suaminya. Ia mengatakan bahwa mereka bercinta berdasarkan sistim kalender, kapan sperma baik untuk dimasukkan dan kapan lebih baik dikeluarkan di luar (hlm.68). Baginya, pemahaman seks bebas bukanlah sekadar seks di luar nikah.
Hal semacam ini berhubungan dengan keberadaannya (eksistensinya), dan hubungan itu ditentukan oleh “kesadaran”. Kalau benda-benda tidak menyadari bahwa dirinya ada, manusia dengan kesadarannya mengetahui bahwa dirinya ada. Dengan demikian, kesadaran selalu berhubungan dengan sesuatu yang lain (kesadaran akan sesuatu). Kesadaran inilah yang membuat manusia tidak hanya menjadi objek, tetapi juga menjadi subjek yang melihat objek, yaitu dirinya. Oleh sebab itu, manusia memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan-pilihan dan tindakannya. Seperti halnya yang terjadi pada diri Nayla bahwa karena ia “sadar” akan keberadaannya, ia pun bebas memilih bagi dirinya, bertindak untuk dirinya, termasuk apa saja yang dilakukannya ketika suaminya bekerja, ia bersenang-senang bersama teman, rekreasi, serta memarahi pembantu sesuka hati. Itulah sebabnya, manusia tidak lain adalah kumpulan tindakannya, ia adalah hidupnya sendiri. Akan tetapi, hal demikian mengandung pengertian bahwa manusia harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Apa pun jadinya eksistensinya, apa pun makna yang hendak diberikan kepada eksistensinya, tidak lain adalah dirinya sendiri yang bertanggung jawab. Oleh sebab itu, setiap pilihan yang dijatuhkan terhadap alternatif yang dihadapinya adalah pilihannya sendiri. Hal demikian berarti bahwa manusia tidak berhubungan dengan kekuatan yang berada di luar dirinya, termasuk kekuatan Tuhan, karena segalanya dipilih, ditentukan, dan dipertanggungjawabkan sendiri.
Keyakinan itulah yang agaknya tergambar pada diri Nayla dalam cerpen Djenar Maesa Ayu ini. Nayla sebenarnya sangat terpukul dan sedih ketika mengetahui dirinya akan mati akibat kanker yang di deritanya. Namun, ia berusaha tegar. Tetap melakukan aktivitas meskipun terburu-buru, ia pun tak lagi bersahabat dengan waktu (hlm.66). Selain itu, Nayla juga sering merasa dirinya kecil, tidak berarti, dan tidak berdaya, sehingga tidak jarang ia berlutut dan berdoa. Namun, semua yang dilakukannya dirasakan masih kurang. Kekurangan itulah yang justru membuat dirinya terus bertanya apakah benar kekuatan di luar dirinya itu ada. Karena yang ada di dalam dirinya hanyalah serangkaian pertanyaan yang tidak kunjung terjawab. Akhirnya ia memutuskan untuk bersimpuh memohon pengampunan atas dosa-dosa yang pantas ia sesali, sebelum jam tangannya berubah menjadi sapu, mobil sedannnya berubah jadi labu, dan dirinya berubah jadi abu.
Djenar mengatakan “Karya saya berasal dari kehidupan sekitar dan apa yang saya pikirkan. Pelecehan seksual misalnya, sebagai ibu dari dua anak perempuan, saya benar-benar concern dengan masalah itu. Tiap hari ada saja berita yang saya dengar dan lihat baik dari media cetak maupun televisi. Walaupun saya tidak ngalamin, tapi saya bisa merasakan, Walaupun tidak riil, tapi rasa sakitnya terasa riil. Itulah sebabnya saya menganggapnya sebagai problem saya juga.” ujarnya panjang. Ia juga keberatan jika karya-karyanya ditenggarai sebagai biografi dirinya. “Saya menyebutnya biografi psikologis. Bukan biografi,” sanggahnya, sambil kembali menenggak bir langsung dari mulut botol. Meski demikian, kalimat-kalimat yang meluncur dari dirinya terasa teduh saat itu. Tak ada ledakan. Tak ada emosi yang meluap-luap. Ia terasa seperti seorang ibu yang memberi tahu anaknya dengan rasa sayang, mengusap-usap, hingga sang anak tertidur dalam buaiannya.
Dari pernyataan Djenar tersebut, dapat kita simpulkan bahwa sosok Nayla dalam cerpen Waktu Nayla adalah gambaran dari sosok seorang Djenar Maesa Ayu. Mereka memiliki kepribadian yang sama. Dalam kehidupan nyata, Djenar mengkonsumsi bir. Begitu pula Nayla dalam cerpennya. Nayla memiliki hobi nongkrong di Bar bersama teman-temannnya. Selain itu, Djenar dan Nayla sama-sama seorang Ibu, seorang Istri, dan seorang wanita yang memiliki aktivitas yang sama.
4. SEMIOTIK PIERCE
A. Teori Semiotik Pierce
Proses semiosis adalah suatu proses pemaknan tanda yang bermula dari persepsi atas dasar, kemudian dasar merujuk pada objek, akhirnya terjadi proses interpretan. Penerapan dari model trikotomis Peirce ini dapat dilihat dalam contoh berikut: apabila seseorang melihat sebuah bendera warna kuning ( R ) yang membuatnya merujuk pada suatu O, yakni dilekatkan pada sebuah kayu yang dipegang oleh seorang pengendara motor. Proses selanjutnya ialah saat menafsirkannya, misalnya, bahwa bendera itu menandakan bahwa ada orang yang meninggal dan si pemegang bendera hendak mengantar si jenazah ke pekuburan (I). Pada saat tanda (bendera berwarna kuning) ini masih dalam tataran antara R dan O, maka tanda itu masih menunjukkan identitas (dasar: identitas). Inilah nanti yang disebut dengan ikon. Selanjutnya, bila dalam kognisi pemakai tanda itu, ia menafsirkan bahwa bendera kuning adalah simbol ada kematian maka tanda seperti itu disebut lambang, yaitu hubungan antara R dan O bersifat konvensional (seseorang harus memahami konvensi tentang hubungan antara bendera berwarna kuning dengan “kematian”. Bagi Peirce, makna tanda yang sebenarnya adalah mengemukakan sesuatu. Jadi, suatu tanda mengacu pada suatu acuan, dan representasi seperti itu menjadi fungsi utamanya.
1. Pengertian
Teori sastra yang memahami karya sastra sebagai tanda itu adalah semiotik. Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Tanda-tanda itu mempunyai arti dan makna, yang ditentukan oleh konvensinya, karya sastra merupakan tanda-tanda yang bermakna. Karya sastra itu karya seni bermedium bahasa. Bahasa sebagai bahan karya sastra, bahasa disesuaikan dengan konvensi sastra, konvensi arti sastra yaitu makna (Significanse).
Pendekatan semiotik memerlukan penganalisis mencari penggunaan tanda-tanda dalam sesebuah karya. Tanda-tanda tersebut diungkap melalui penanda, mengikut paradoks dan kontradisksi penggunaan stail dan mekanisme penciptaan sesebuah karya yang dikuasai oleh pengarang. Maka, penganalisis menggunakan semiotik untuk memberikan makna bagi tanda-tanda dalam teks yang dikaji. Semiotik melihat karya dalam perspektif yang lebih luas. Prinsip kedua daripada pendekatan semiotik menuntut penganalisis memperhatikan hubungan sistem sesebuah teks yang dikaji dengan sistem yang ada di luar teks tersebut; iaitu segala perkara yang membawa kepada lahirnya teks tersebut. Ini merangkumi sistem hidup dan kebudayaan masyarakat yang menjadi sumber inspirasi penghasilan teks yang dikaji. Segala ungkapan atau tanda-tanda yang dicerakinkan dari dalam teks memainkan peranan yang penting bagi kewujudan satu bentuk sistem dalam pembinaan teks tersebut. Maka, prinsip ketiga dalam pendekatan semiotik memberi penghargaan terhadap pengarang dan keperangannya. Ini menjelaskan bahawa terdapat sebab bagi penggunaan setiap ungkapan yang dihasilkan dalam teks kerana segalanya mempunyai pengertiannya yang tersendiri.
Semiotik adalah sebuah disiplin ilmu sains umum yang mengkaji sistem perlambangan di setiap bidang kehidupan. Ia bukan sahaja merangkumi sistem bahasa, tetapi juga merangkumi lukisan, ukiran, fotografi mahupun pementasan drama atau wayang gambar. Ia wujud sebagai teori membaca dan menilai karya dan merupakan satu displin yang bukan sempit keupayaannya. Justeru itu ia boleh dimandatkan ke dalam pelbagai bidang ilmu dan boleh dijadikan asas kajian sebuatu kebudayaan. Oleh kerana sosiologi dan linguistik merupakan bidang kajian yang mempunyai hubungan di antara satu sama lain, semiotik yang mengkaji sistem tanda dalam bahasa juga berupaya mengkaji wacana yang mencerminkan budaya dan pemikiran. Justeru, yang menjadi perhatian semiotik adalah mengkaji dan mencari tanda-tanda dalam wacana serta menerangkan maksud daripada tanda-tanda tersebut dan mencari hubungannya dengan ciri-ciri tanda itu untuk mendapatkan makna signifikasinya
Dengan perkembangan teori sastra di Indonesia, sejak Romantisme, Strukturalisme, dengan sayap resepsi dan sosiologi sastra, termasuk di dalamnya tawaran pendekatan Semiotik (Dasri Al-Mubary, 2002: 9). Studi sastra yang bersifat semiotik itu ditegaskan pula oleh Pemiger dalam Jabrihim (2003: 94) “semiotik adalah usaha untuk menganalisis karya sastra sebagai suatu sistem tanda-tanda dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna. Dengan melihat variasi-variasi di dalam struktur karya sastra atau hubungan antar unsur-unsurnya, akan dihasilkan bermacam-macam makna”.
Semiotik dalam studi sastra memiliki tiga asumsi. Pertama, karya sastra merupakan gejala komunikasi yang berkaitan dengan (i) pengarang, (ii) wujud karya sastra sebagai sistem tanda, dan (iii) pembaca. kedua, karya sastra merupakan salah satu bentuk penggunaan sistem lambang (system of sings) yang memiliki struktur dalam tata tingkat tertentu. Ketiga, karya sastra merupakan fakta yang harus direkonstruksikan pembaca sejalan dengan dunia pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya (Aminuddin, 1995:55).
Peirce menyebut ilmu yang dibangunnya semiotika (semiotics). Bagi Peirce yang ahli filsafat dan logika, penalaran manusia senantiasa dilakukan lewat tanda. Artinya, manusia hanya dapat bernalar lewat tanda. Dalam pikirannya, logika sama dengan semiotika dan semiotika dapat ditetapkan pada segala macam tanda (Berger, 2000:11-22). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah semiotika lebih populer daripada semiologi.
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), berfungsi tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan adalah sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut benda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang tertentu, suatu sikap, setangkah bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap. Bicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan semuanya itu dianggap sebagai tanda (Zoest, 1993:18).
Tanda-tanda menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif. Ia mampu menggantikan sesuatu yang lain yang dapat dipikirkan atau dibayangkan. Cabang ilmu ini semula berkembang dalam bidang bahasa, kemudian berkembang pula dalam bidang seni rupa dan desain komunikasi visual. Sementara itu, Charles Sanders Pierce, menandaskan bahwa kita hanya dapat berpikir dengan medium tanda. Manusia hanya dapat berkomunikasi lewat sarana tanda.
Tanda dalam kehidupan manusia bisa tanda gerak atau isyarat. Lambaian tangan yang bisa diaritkan memanggil atau anggukan kepala dapat diterjemahkan setuju. Tanda bunyi seperti tiupan peluit, terompet, genderang, suara manusia, dering telepon, tanda tulisan, di antaranya huruf dan angka juga tanda gambar berbentuk rambu lalu lintas, dan masih banyak ragamnya (Noth, 1995: 44).
Karya sastra merupakan struktur yang bermakna. Hal ini mengingat bahwa karya sastra itu merupakan sistem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan medium bahasa. Hal ini seperti dikemukakan oleh Dasri Al Mubary (2002: 39) bahwa:
Kata-kata mewakili tanda dan penanda. Setiap pembacaannya kata itu bergerak ke dalam syaraf otak kecil dan otak besar untuk kemudian dipahami dalam pemaknaan. Setiap kata adalah tanda dan penanda setiap pembaca memberiny sinyal visi dan misi dari keterbacaannya dalam wujud pengertian-pengertian.
· Interpretasi dalam Kajian Sastra
Aminuddin dalam Yanti (2006: 15) menjelaskan interpretasi sebagai peristiwa khusus dalam proses memahami karya sastra ditafsirkan ada di antara eksplanasi dan proses komprehensi. Eksplanasi merupakan penerangjelasan makna dari unsur-unsur pembentuk teks sastra. Sementara komprehensi merupakan penghubungan gambaran makna unsur pembentuk teks sastra secara menyeluruh. Sebagai peristiwa khusus, interpretasi membuahkan hubungan dialektik antara eksplanasi dan komprehensi. Puisi selalu menyelidiki cara-cara kerja penanda arti, maka untuk mengetahui apa yang hendak disampaikan oleh pengarang, berarti kita harus memahami bahasa yang dipakai pengarang untuk menyatakan pikiran itu. Dalam kenyataannya karya sastra sebagai tulisan bisa bermakna karena kita memiliki daya penghayatan dan pengetahuan menyangkut keberadaannya, untik itu digunakan pendekatan semiotik.
· Hubungan Tanda dan Penanda
Hubungan tanda dan penanda dalam karya sastra merupakan makna yang dapat dipahami dari karya sastra tersebut. Penerjemahan tanda berupa apapun ke dalam gambaran dunia acuan dan bentuk perlambangannya disebut naturalisasi. Proses naturalisasi menyangkut penggunaan sistem tanda. Sebuah sistem tanda yang utama yang menggunakan lambang adalah bahasa, bahasa yang merupakan sistem tanda yang dalam karya sastra menjadi mediumnya itu adalah sistem tanda tingkat pertama. Dalam ilmu tanda-tanda disebut (meaning) arti. Dalam karya sastra, arti kata-kata (bahasa) ditentukan oleh konvensi sastra. Dengan demikian timbullah arti baru yaitu arti sastra itu. Untuk membedakannya (dari arti bahasa), arti sastra itu disebut makna (significanse).
Apabila pengkajian menyingkapi perwujudan gaya dalam teks sastra sebagai bentuk sistem tanda dan bukan hanya sebagai bentuk penggunaan bahasa yang terdiri atas kata-kata dan kalimat, maka pengembangan model teoritiknya bukan hanya bertumpu pada wawasan linguistik melainkan juga wawasan semiotik. Artinya penelitian yang dilakukan bukan hanya berfokus pada bentuk penggunaan bahasanya melainkan juga bentuk sistem tanda di luar lambang kebahasaan yang diasumsikan berfungsi dalam menampilkan gagasan pengarang.
Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi. Konvensi yang penting dalam karya sastra yaitu ketidaklangsungan ekspresi sastra dan konvensi hubungan antarteks. Menurut Riffaterre dalam Yanti (2006: 16) ketidaklangsungan ekspresi disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distoring of meaning), dan penciptaan arti (crerting of meaning)”.
1. Penggantian arti (displacing of meaning) disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimia dalam karya sastra. Metafora ini dalam arti luasnya untuk menyebutkan bahasa kiasan pada umumnya, tidak terbatas pada bahasa kiasan metafora dan metonimia saja. Hal ini disebabkan oleh metafora dan metonimia merupakan bahassa kiasan yang sangat penting hingga untuk mengganti bahasa kias lainnya, yaitu simile, perbandingan, personifikasi, sinekdoke, perbandingan epos, dan alegori (hlm 71)
2. Penyimpangan arti (distoring of meaning) disebabkan oleh tiga hal, yaitu: ambiguitas disebabkan oleh bahasa sastra itu berarti ganda, lebih-lebih bahasa puisi, kontradiksi berarti mengandung pertentangan, disebabkan oleh paradoks atau ironi, nonsense adalah “kata-kata” yang secara linguistik tidak mempunyai arti sebab hanya berupa rangkaian bunyi dan tidak terdapat dalam kamus. Akan tetapi, dalam puisi nonsense itu mempunyai makna, yaitu arti sastra karena konvensi sastra (hlm 73)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar