Entri Populer

Kamis, 19 Januari 2012

menulis cerita


DESA GADING
Oleh: Sartini dede Irawati

Gading adalah nama sebuah desa di Pulau Kundur, Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau. Nama Desa Gading berasal dari nama sebuah benda yang terbuat dari kayu, bengkok bentuknya dan digunakan sebagai pembentuk badan kapal. Dahulunya, Desa Gading merupakan daerah pendistribusian gading. Benda ini diangkut ke luar daerah melalui pantai yang ada di Desa Gading. Karena daerah tersebut sering digunakan untuk pendistribusian gading, maka daerah tersebut dinamakan Desa Gading. 
Penduduk Desa Gading mayoritas bersuku Melayu. Melayu merupakan suku asli Desa Gading. Mereka bekerja sebagai nelayan, petani dan memanfaatkan hasil alam seperti batu dan pasir. Para nelayan memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menangkap ikan di laut. Para petani memenuhi kebutuhan hidupnya dengan berkebun durian, rambutan, rambai, manggis, cempedak, dan sebagainya. Selain itu mereka juga berladang seperti menanam jagung, cabai, sawi dan berbagai jenis sayuran lainnya.
Di Desa Gading terdapat banyak batu besar dan pasir. Batu besar dan pasir tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk diolah secara tradisional. Masyarakat setempat menyebut proses pengolahan itu dengan sebutan mengetok batu. Batu besar diolah menjadi kerikil kemudian kerikil digunakan masyarakat sebagai bahan dasar bangunan. Namun, ada juga yang menjualnya ke luar Kundur. Berbeda dengan pasir yang hanya dimanfaatkan sebagai bahan bangunan. Pasir tidak dijual ke luar Kundur karena jumlahnya yang terbatas dan hanya cukup untuk kebutuhan masyarakat sekitar.
Desa Gading terkenal dengan keindahan alamnya. Di desa ini terdapat sebuah bukit dan terhampar luas sebuah pantai. Karena terletak di Desa Gading, maka nama bukit dan pantai itu adalah Bukit Gading dan Pantai Gading.
Bukit dan Pantai Gading merupakan objek wisata di Pulau Kundur. Bukit Gading merupakan bukit yang ditanami pepohonan rindang, menjulang, dan berusia puluhan tahun. Pepohonan yang ditanami tersebut adalah pohon durian, pohon mangga, pohon rambutan, dan manggis. Pada saat pepohonan tersebut berbuah dan musim panen tiba, Bukit Gading akan ramai dikunjungi oleh masyarakat luar Desa Gading. Mereka mengunjungi Bukit Gading untuk membeli buah-buahan tersebut langsung dari pemiliknya. Selain mendapat buah yang segar, harga yang ditawarkan pun lebih murah dibandingkan dengan harga buah yang sudah dijual di pasar.
Selain terkenal dengan bukitnya, Gading juga terkenal dengan keindahan pantainya. Pantai Gading terletak di lereng Bukit Gading. Karena hal itu, untuk menuju Pantai Gading, harus melintasi Bukit Gading. Melintasi Bukit Gading dengan cara mendaki bukit menggunakan tangga beton. Tangga beton tersebut sengaja dibuat oleh masyarakat sekitar untuk memudahkan pendaki. Jika tidak menggunakan tangga, maka akan sangat sulit untuk menuju pantai karena bukit tersebut tanahnya sangat licin dan terjal.
Setelah melintasi Bukit Gading, akan ditemukan Pantai Gading yang terhampar luas. Dari pantai ini terlihat banyak kapal berlayar menuju pulau-pulau yang terletak tidak jauh dari Pulau Kundur. Ciri khas pantai ini adalah terdapat tumpukan batu-batu besar di sepanjang pantai. Batu-batu yang bertumpuk dengan berbagai ukuran. Batu-batu ini akan terlihat semakin membesar dalam kurun waktu yang lama. Masyarakat setempat meyakini bahwa batu-batu tersebut adalah batu hidup. Namun pada dasarnya batu itu tidaklah hidup. Batu itu muncul ke permukaan karena erosi yang terjadi di pinggir pantai.
Pantai Gading terkenal dengan tangga keramat. Tangga tersebut adalah tangga beton berwarna kuning, berpagar beton, tinggi sekitar 5 meter, lebar sekitar 1,5 meter, dan terletak tidak jauh dari bibir Pantai Gading. Karena masih terletak di kawasan Desa Gading, maka tangga keramat ini dinamakan Tangga Keramat Gading. Tangga ini disebut keramat karena memiliki keanehan atau kejanggalan. Keanaehan tersebut terjadi pada jumlah anak tangga. Cara mengetahui keanehan tersebut adalah dengan cara menghitung jumlah anak tangga saat naik dan saat turun. Jumlah anak tangga jika dihitung saat naik akan berbeda dengan  jumlah hitungan saat turun. Jumlah anak tangga keramat itu jika dihitung pasti berubah jumlahnya. Artinya, setiap orang yang telah menghitung anak tangga tersebut pasti menyebutkan jumlah yang berbeda-beda.
Tangga Keramat Gading merupakan media untuk menuju kuburan keramat yang teletak di atas Bukit Gading. Kuburan Keramat terletak di dalam sebuah cungkup. Cungkup adalah sebuah gubuk kecil beratap dan di dalamnya terdapat kuburan. Di dalam cungkup tersebut terdapat dua kuburan yang dikeramatkan oleh masyarakat Desa Gading. Kedua kuburan itu terpisah namun berdekatan.
Menurut mitos, kuburan keramat yang berada di dalam cungkup itu adalah kuburan seorang Raja Melayu dan Panglimanya yang tidak diketahui secara pasti namanya. Namun, kuburan yang paling dikeramatkan oleh masyarakat Desa Gading adalah kuburan Raja Melayu. Untuk menghormati Sang Raja, pada bagian tengahnya dibuat sesuatu menyerupai dinding tembok beton setinggi 150 cm dan lebar 15 cm. Dinding tembok tersebut dijadikan sebagai nisan. Seluruh bagian itu dibaluti kain berwarna kuning. 
Kuburan keramat dijaga oleh seorang juru kunci. Juru kunci tersebut ditugaskan untuk menjaga dan merawat kuburan keramat. Hal ini dilakukan agar kuburan tersebut terpelihara dengan baik. Juru kunci ini bertempat tinggal tidak begitu jauh dari kuburan keramat. Namun, ia tidak berada setiap saat di kawasan kuburan keramat. Ia selalu mengunci cungkup saat tidak berada di lokasi. Hal ini penting dilakukan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di dalam cungkup tersebut.
Selain menjaga kuburan keramat, juru kunci juga menjaga dan merawat kuburan-kuburan tua yang ada di sekitar cungkup. Juru kunci selalu membersihkan wilayah pemakaman tersebut karena wilayah ini sudah digunakan sebagai tempat pemakaman umum oleh masyarakat Desa Gading.
Kuburan Keramat merupakan kuburan yang diyakini memiliki kekuatan ghaib dan dijadikan sebagai tempat persemedian. Persemedian dilakukan untuk meminta semacam keberuntungan serta mendapatkan petunjuk atau wangsit. Biasanya, kegiatan ritual semacam ini dilakukan pada malam selasa dan malam jumat. Malam selasa dan malam jumat diyakini sebagai malam bergentayangannya makhluk ghaib. Malam-malam tersebut merupakan malam yang sakral bagi para pemuja atau bagi orang yang melakukan semedi.
Semedi dilakukan dengan membawa berbagai perlengkapan. Perlengkapan tersebut terdiri atas kemenyan/dupa dan beberapa jenis bunga (kembang). Ada beberapa hal yang sering dilakukan saat bersemedi. Pertama, menaburkan beberapa jenis bunga (kembang) pada kuburan tersebut layaknya sedang berziarah. Kedua, membakar kemenyan/dupa. Terakhir, bersemedi sambil membaca sejenis mantera dan menunggu datangnya wangsit.
Begitulah cerita tentang Tangga Keramat Gading. Sampai saat ini misteri Tangga Keramat Gading belum terpecahkan dan masih menjadi hal tabu bagi masyarakat Desa Gading dan para pengunjung. Oleh karena itu, masih banyak orang yang terus menghitung jumlah anak Tangga Keramat Gading bahkan hingga berulang kali. Hal ini dilakukan karena rasa penasaran yang teramat besar. 


RIWAYAT HIDUP 
Sartini Dede Irawati adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Lahir di Saka Kuali pada 18 Juli 1990 yaitu anak dari pasangan Bambang Irawan dan Jumaatin. Saudara pertama penulis bernama Eka Gusbawanti dan adik penulis bernama Oksa Tigirti. Penulis tinggal di Tanjung Sari Qauman, Tanjungbatu, Kabupaten Karimun. Penulis menjalani pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 023 Bente pada 1997-2001 dan menyelesaikan pendidikan
tersebut di SDN 027 Parit Panyirok pada 2001-2003. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah di SMP Negeri 2 Kundur pada 2003-2006. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Kundur pada 2006-2009. Setelah lulus SMA penulis melanjutkan pendidikannya di Perguruan Tinggi pada tahun yang sama yaitu di Universitas Riau melalui jalur PBUD dan mengambil Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.



Apa yang terjadi pada bahasa dan komunikasi setelah terjadi kerusakan di dalam otak?


1.      PENDAHULUAN
Secara neurobiologis, otak manusia terdiri atas miliaran sel saraf atau neuron yang menyebar ke keseluruhan otak manusia. Seperti yang dikemukakan oleh seorang neurolog, Gerald Edelman, pemenang hadiah nobel, dibutuhkan lebih dari 32 juta tahun untuk menghitung semua sinaps di dalam otak manusia dengan kecepatan satu sinaps perdetik. Jika dipusatkan perhatian pada kemungkinan jumlah hubungan saraf di dalam otak, maka didapati jumlah yang sangat menakjubkan yaitu 10 diikuti sejuta angka nol. Setiap saraf otak itu saling berhubungan dan berkomunikasi melalui satu hubungan atau lebih (Restak, 2004: 5).
Bahasa adalah media manusia berpikir secara abstrak yang memungkinkan objek-objek faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol abstrak. Dengan adanya transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai tentang sebuah objek, meskipun objek itu tidak terinderakan saat proses berpikir itu dilakukan olehnya (Surya Sumantri, 1998).
Menurut saya, otak dan bahasa sebagai sumber komunikasi. Keduanya mempunyai kaitan yang erat dalam proses komunikasi. Tidak ada satu peristiwa komunikasi pun yang tidak melibatkan otak dan bahasa. Apabila terjadi kerusakan pada otak, berbagai gangguan akan terjadi. Gangguan-gangguan tersebut tentu saja berkaitan dengan bahasa dan komunikasi, seperti gangguan berbahasa, gangguan berbicara, dan gangguan komunikasi.
Untuk mengetahui kaitan fungsi otak terhadap bahasa dan komunikasi, pada makalah ini akan dijelaskan mengenai Otak, Bahasa, Komunikasi, Hubungan Otak dengan Bahasa dan Komunikasi, Pengaruh Kerusakan Otak terhadap Bahasa dan Komunikasi, dan Hal-hal yang Terjadi pada Bahasa dan Komunikasi setelah Terjadi Kerusakan Di Dalam Otak.





2.      PEMBAHASAN
2.1  Otak
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj2FHLYA38wxhfBI986CnOtNQFfYmcE7tEKSw4-860S7raCQvAEL-cIK46tlWyahOOXMOcESBqOM39xHY9C8MHDSKVAF_TK6AH2ZAsYYBWoYi2Z07tj-ORealx3bzYnGXL6nd09zpiTKAf7/s320/323885-002.jpgTubuh manusia dibentuk oleh sel-sel. Begitu juga dengan otak. Otak (serebrum dan serebelum) adalah salah satu komponen dalam sistim susunan saraf manusia. Komponen lainnya adalah sumsum  tulang belakang atau  medula spinalis dan saraf tepi. Otak berada di dalam ruang tengkorak; medula spinalis berada di dalam  ruang tulang  belakang; sedangkan saraf tepi (saraf spinalis dan  saraf otak)  sebagian
berada di luar  tengkorak (Kusumoputro, 1981).  Otak manusia mulai dibentuk pada saat bayi masih di dalam kandungan, tepatnya pada minggu ketiga setelah bertemunya sperma dengan sel telur. Pada saat bayi dilahirkan sudah mempunyai kira-kira 100 miliar sel otak. Sel-sel otak tersebut masih belum terhubung dalam satu jaringan antara satu dengan yang lainnya.
              Jaringan yang akan dibentuk oleh sel-sel otak inilah bagian yang sangat penting. Pembentukan sel-sel otak ini akan dipengaruhi oleh bagaimana bayi tersebut terhubung langsung dengan dunia. Bayi belajar dari ekspresi wajah yang ditunjukkan kepadanya; bayi mendengar bagaimana orang di sekelilingnya bicara, menyanyikan lagu atau membacakan buku kepadanya; bayi merasakan bagaimana seseorang menyentuhnya. Sentuhan ini adalah hal yang paling penting, karena dengan sentuhan ini akan memberikan rangsangan kepada bayi supaya otaknya menghasilkan hormon-hormon yang penting untuk pertumbuhannya.
Hubungan antar sel-sel otak dibentuk dengan adanya saling kirim-dan-terima signal. Signal yang berupa getaran aliran listrik ini mengalir dari sel  satu ke sel lainnya, dan dengan bantuan zat kimia seperti serotonin, terbentuklah hubungan antara sel-sel otak tersebut. Rangsangan yang terus-menerus diberikan melalui bentuk kegiatan berulang-ulang, akan semakin memperkuat hubungan antar sel-sel otak. Satu sel otak mampu membuat 15.000 hubungan dengan sel otak lain. Hubungan yang sangat rumit inilah membentuk jaringan antar sel-sel otak.
Sejak bayi lahir, jaringan ini akan dibentuk dengan cepat sekali, dan pada usia anak mencapai 3 tahun, otak anak akan membuat kira-kira 1000 triliun hubungan, di mana jumlah ini adalah 2 kali lipat dari jumlah hubungan jaringan otak orang dewasa. Hubungan otak yang densitas/kerapatannya sangat tinggi ini akan tetap dipertahankan hingga berusia 10 tahun.
Setelah anak menginjak usia 11 tahun, hubungan antar sel-sel otak tersebut akan diseleksi secara alami, di mana hubungan yang sering digunakan akan semakin diperkuat dan menjadi permanen, sedangkan hubungan yang tidak pernah digunakan akan diputus/dibuang. Di sinilah pentingnya pengalaman pada usia awal/dini. Sebagai contoh, anak yang jarang diajak bicara atau dibacakan buku, nantinya bayi akan mengalami kesulitan dalam perkembangan bahasanya, karena sel-sel otak yang mengendalikan fungsi bahasa tidak dipergunakan dengan baik, sehingga hubungan antar selnya diputus.
Perkembangan hubungan antar sel-sel otak tentunya tidak terjadi sekaligus, tetapi berurutan berdasarkan prioritas pertumbuhan bayi tersebut. Artinya, kemampuan yang harus dipunyai bayi untuk bertahan hidup pada usia tertentu akan dibentuk terlebih dahulu daripada kemampuan lain yang diperlukan nanti. Misalnya, selama masa kehamilan, sel-sel otak akan membentuk ”cortex” (bagian otak yang digunakan untuk berpikir) pada tempatnya dan pada waktu yang tepat. Waktu ini disebut sebagai ”waktu utama” atau ”periode peka”. Kegagalan pembentukan bagian ini akan berakibat pada terganggunya perkembangan (atau bahkan tidak terbentuknya) bagian tersebut, sehingga bayi akan lahir dalam keadaan cacat mental. Kegagalan pembentukan bagian penting ini dapat terjadi akibat dari ibu yang suka minum minuman keras, merokok atau obat-obatan terlarang, atau akibat dari infeksi toxoplasma, dan sebagainya.
Periode peka perkembangan otak terjadi pada saat bayi belum lahir dan sesudah lahir. Panjang periode peka tersebut bisa lama, dan bisa juga sangat pendek. Dr. Montessori telah banyak melakukan penelitian tentang periode peka pada perkembangan anak, jauh sebelum para ahli syaraf mengetahui tentang cara kerja bagian otak. Ternyata, periode peka yang ditemukan oleh Dr. Montessori itu berhubungan erat dengan periode di mana jaringan otak yang mengendalikan fungsi tubuh itu sedang tumbuh dan berkembang.
Menurut Dr. Montessori, periode peka yang penting dalam perkembangan anak adalah:
·         Periode penyerapan secara total, perkenalan dan pengalaman indera dan gerakan senso-motorik (0 – 3 tahun)
·         Perkembangan kemampuan bahasa (1,5 – 3 tahun)
·         Perkembangan koordinasi antara mata dengan otot tangan. Anak mulai memperhatikan benda-benda kecil (1,5 – 4 tahun)
·         Menyenangi ketertiban dan keteraturan (2,5 – 3,5 tahun)
·         Perkembangan penyempurnaan gerakan. Anak mulai memperhatikan hal-hal yang nyata, menyadari tentang urutan waktu dan ruang (2–4 tahun)
·         Penyempurnaan penggunaan seluruh indera (2,5 – 6 tahun)
·         Peka terhadap pengaruh orang dewasa (3– 6 tahun)
·         Mulai senang menulis (3,5 – 4,5 tahun)
·         Mulai senang membaca (4,5– 5,5 tahun)
·         Indera menjadi lebih peka (4 – 4,5 tahun)

Munculnya periode peka ini bisa berlainan pada tiap anak, tergantung pada faktor keturunan dan terlebih lagi pada stimulasi yang diterimanya. Pada periode peka ini, akan lebih mudah mengajarkan hal-hal yang sedang peka itu daripada setelah periode peka ini berakhir. Hubungan dengan anak akan sangat mempengaruhi berhasil tidaknya anak menerima stimulasi. Pada akhirnya menentukan bagaimana jaringan otak anak akan terbentuk. Para ahli telah menemukan bahwa dengan memberikan kehangatan dan kasih sayang, serta memberikan respons dengan cepat, anda akan memperkuat sistem biologis yang membantu anak mengendalikan emosinya, sehingga mampu beradaptasi dengan lebih baik apabila anak mengalami stres.
Dari hal-hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip perkembangan otak adalah sebagai berikut:
Ø  Dunia luar atau lingkungan mempengaruhi bentuk jaringan otak.
Ø  Dunia luar yang dialami oleh anak melalui penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan dan rasa, akan mampu memerintahkan otak untuk membuat dan merubah bentuk hubungan jaringan.
Ø  Otak bekerja dengan prinsip: ”digunakan atau dibuang”.
Ø  Hubungan dengan orang lain pada awal kehidupan anak menjadi sumber utama dalam perkembangan otak, terutama bagian otak yang mengendalikan emosi dan sosial.
Setiap saraf yang ada dalam otak mempunyai tanggung jawab dan fungsi masing-masing. Misalnya, kegiatan membaca mengaktifkan area oksipital dan frontal. Mendengarkan musik dengan mata terpejam mengaktifkan area temporal, frontal dan serebelum. Di samping itu, secara garis besar, otak manusia terbagi atas kerja otak belahan otak kanan, tetapi aktivitas kerja kedua otak tersebut tidak terpisah. Aktivitas kedua otak itu saling menyatu dan juga saling membangun. Seperti yang diketahui bahwa metode pembelajaran konvensional yang pada umumnya digunakan oleh pendidik dalam belajar bahasa cenderung menekankan pada pola kerja otak kiri, seperti latihan yang menitikberatkan pada rangsangan dengar (otak kiri) berupa latihan-latihan, pengulangan, kurang melibatkan proses pemecahan suatu masalah. Sementara itu, dengan kemajuan teknologi, anak-anak sekarang terfokus pada acara yang disiarkan televisi, sehingga yang lebih banyak melakukan aktivitas adalah belahan otak kanan. Oleh karena itu, masalah pembelajaran menjadi tidak efektif.
Menurut Menyuk (dalam Abdul Chaer, 2003: 116), otak seorang bayi ketika baru dilahirkan beratnya hanyalah kira-kira 40 % dari berat otak orang dewasa; sedangkan makhluk primata lain seperti kera dan simpanse adalah 70 % dari otak dewasanya. Slobin (dalam Abdul Chaer, 2003: 116) menyatakan bahwa dari perbandingan tersebut tampak bahwa manusia kiranya telah dikodratkan secara biologis untuk mengembangkan otak dan kemampuannya secara cepat. Dalam waktu yang tidak terlalu lama otak itu telah berkembang menuju kesempurnaanya. Sebaliknya, makhluk primata lain seperti kera dan simpanse, yang ketika lahir telah memiliki 70 % dari otaknya itu dan tentunya yang telah dapat berbuat banyak sejak lahir, hanya memerlukan tambahan sedikit, yaitu sekitar 30 %. Sewaktu dewasa manusia mempunyai otak seberat 1350 gram, sedangkan simpanse dewasa hanya 450 gram. Lenneberg menyatakan memang ada manusia kerdil (termasuk nanochepalic) yang berat otaknya hanya 450 gram waktu dewasa, tetapi masih dapat berbicara seperti manusia lainnya, sedangkan makhluk lain tidak (dalam Abdul Chaer, 2003: 116).
Perbedaan otak manusia dan otak makhluk lain, seperti kera dan simpanse, bukan hanya terletak pada beratnya saja, melainkan juga pada struktur dan fungsinya. Pada otak manusia ada bagian-bagian yang dapat disebut manusiawi, seperti bagian-bagian yang berkenaan dengan ujaran. Sebaliknya, pada otak makhluk lain, banyak bagian yang berhubungan dengan insting; sedangkan pada manusia tidak banyak. Ini berarti bahwa perbuatan manusia bukan hanya karena insting (Abdul Chaer, 2003: 116).
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa otak manusia memiliki struktur yang lebih kompleks sehingga secara biologis lebih cepat untuk mengembangkan kemampuannya. Salah satu  kelebihan otak manusia daripada makhluk lain adalah otak manusia mampu berpikir untuk menciptakan berbagai hal yang baru karena dari otak manusia akan melahirkan akal yang tentu tidak dimiliki makhluk lain. Selain itu, otak manusia memiliki sisi manusiawi yang mengontrol setiap prilaku manusia dari perkara yang menyerupai makhluk lain.

2.1.1 Fungsi Otak Kanan dan Otak Kiri
              De Porter (2004: 36) mengungkapkan bahwa proses berpikir otak kiri bersifat logis, sekuensial, linear, dan rasional. Otak kiri berdasarkan realitas mampu melakukan penafsiran abstrak dan simbolis. Cara berpikir sesuai untuk tugas-tugas teratur, ekspresi verbal, menulis, membaca, asosiasi audiotorial, menempatkan detail dan fakta, fonetik, serta simbolisme. Untuk belahan otak kanan cara berpikirnya bersifat acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik. Cara berpikirnya sesuai dengan cara-cara untuk mengetahui yang bersifat nonverbal, seperti perasaan dan emosi, kesadaran yang berkenaan dengan perasaaan (merasakan kehadiran suatu benda atau orang, kesadaran spasial, pengenalan bentuk dan pola, musik, seni, kepekaan warna, kreativitas dan visualisasi (Restak, 2004).
              Otak kiri berkaitan dengan akademik maka otak kanan berfungsi dalam hal perbedaan, angka, urutan, tulisan, bahasa, hitungan dan logika. Merupakan pusat otak yang dominan untuk berbahasa lisan dan tulisan. Berperan dalam proses berpikir yang logis, analitis, linier dan bertindak rasional. Daya ingat otak kiri bersifat jangka pendek (shortterm memory). Bila terjadi kerusakan pada otak kiri maka akan terjadi gangguan dalam hal fungsi berbicara, berbahasa dan matematika. Otak kanan berfungsi dalam hal persamaan, khayalan, kreativitas, bentuk atau ruang, emosi, musik dan warna. Daya ingat otak kanan bersifat panjang (longterm memory). Bila terjadi kerusakan otak kanan misalnya pada penyakit stroke atau tumor otak, maka fungsi otak yang terganggu adalah kemampuan visual dan emosi. Para ahli banyak yang mengatakan otak kiri sebagai pengendali IQ (Intelligence Quotient), sementara otak kanan memegang peranan penting bagi perkembangan EQ (Freed, 1997)
              Selanjutnya, Restak (2004: 97) juga mengemukakan bahwa otak kiri berfungsi menjelaskan sesuatu secara verbal atau tulisan. Belahan otak kiri cenderung memecah segala sesuatu ke dalam bagian-bagian dan lebih mengenali perbedaan dari pada menemukan kesamaan ciri. Di samping itu menurut Restak, belahan otak kiri memproses dunia dengan cara yang linear dan runut. Sebalinya, belahan otak kanan kurang mengandalkan kata-kata dan bahasa, belahan otak kanan lebih bisa melihat gambar secara keseluruhan dengan memperhatikan dan menggabungkan menjadi sebuah gambaran umum. Belahan otak kanan terlibat dalam proses penyetaraan yang melibatkan banyak operasi sekaligus. Hal yang sama tentang fungsi otak kiri juga dikemukakan oleh Maksan (1993:55) bahwa tugas-tugas kebahasaan dikoordinasikan oleh otak kiri.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulakan bahwa yang berhubungan dengan bahasa adalah tanggung jawab dari belahan otak kiri, sedangkan otak kanan tidak berhubungan dengan bahasa tetapi berhubungan denga emosi. Kerusakan pada otak kiri menyebabkan gangguan dalam berbicara, berbahasa dan matematika. Kerusakan pada otak kanan seperti stroke atau tumor otak, menyebabkan fungsi otak terganggu yaitu terganggunya kemampuan visual dan emosi.

2.1.2 Bagaimana Kedua Belahan Otak Bekerja?
              Setiap belahan otak, baik otak kiri maupun otak kanan pada hakikatnya mempunyai mempunyai tanggung jawab dan fungsi masing-masing. Misalnya, Otak kiri berkaitan dengan akademik, seperti perbedaan, angka, urutan, tulisan, bahasa, hitungan dan logika, sedangkan otak kanan berfungsi dalam hal persamaan, khayalan, kreativitas, bentuk atau ruang, emosi, musik dan warna. Namun, aktivitas kerja kedua otak tersebut tidak terpisah. Aktivitas kedua otak saling menyatu dan membangun (Restak, 2004:97).
Menurut Restak (2004:97), orang 'berotak kiri' dominan cenderung sangat realistis, faktual, sistematis dan sistemik. Mereka adalah penagih data dan fakta dalam percakapan dengan hampir setiap orang. Mereka tidak suka mengumbar kata-kata yang dirasa tidak merepresentasikan apa yang mereka maksudkan. Mereka lebih mengedepankan logika dan rasio. Oleh karenanya, mereka sangatlah rasional dan logis dalam memaparkan pandangannya dan mengharapkan balasan sebanding. Mereka adalah para ilmuwan, akuntan, arsitek, dokter, peneliti ilmu-ilmu alam, ahli geolologi, fisika dan sejenisnya.
Sementara itu, orang 'berotak kanan' lebih mengedepankan interaksi sosial penuh persahabatan. Mereka adalah pembicara ulung dengan sederet referensi memukau. Murah senyum, berani tampil beda. Memiliki banyak gagasan dan sejuta pesona. Mereka adalah para pemasar sejati, pembicara publik, penjual, penyanyi, penyair, penjual obat dan sejenisnya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat kita simpulkan bahwa belahan otak kiri bertanggung jawab terhadap pengolahan bahasa dan mengutarakan konsep-konsep yang ada dalam persepsi seseorang. Namun, semua merupakan hasil dari penggeneralisasian yang dilakukan oleh belahan otak kanan. 


2.2  Bahasa
Bahasa adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu mampu termuat dalam lapangan pemahaman manusia. Oleh karena itu, memahami bahasa akan memungkinkan peneliti untuk memahami bentuk-bentuk pemahaman manusia. Bahasa adalah media manusia berpikir secara abstrak yang memungkinkan objek-objek faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol abstrak. Dengan adanya transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai tentang sebuah objek, meskipun objek itu tidak terinderakan saat proses berpikir itu dilakukan olehnya (Surya Sumantri, 1998).
Materi bahasa bisa dipahami melalui Linguistik sebagaimana dikemukakan oleh Yudibrata bahwa linguistik adalah ilmu yang mengkaji bahasa, biasanya menghasilkan teori-teori bahasa; tidak demikian halnya dengan siswa sebagai pembelajar bahasa, (1998: 2). Siswa sebagai organisme dengan segala prilakunya termasuk proses yang terjadi dalam diri siswa ketika belajar bahasa tidak bisa dipahami oleh linguistik, tetapi hanya  bisa dipahami melalui ilmu lain yang berkaitan dengannya, yaitu Psikologi. Atas dasar hal tersebut muncullah disiplin ilmu yang baru yang disebut Psikolinguistik atau disebut juga dengan istilah Psikologi Bahasa.
Terkait dengan hal di atas, dapat dikatakan sebenarnya manusia dapat berpikir tanpa menggunakan bahasa, tetapi bahasa mempermudah kemampuan belajar dan mengingat, memecakan persoalan dan menarik kesimpulan. Bahasa memungkinkan individu menjadi peristiwa dan objek dalam bentuk kata-kata. Dengan bahasa individu mampu mengabstraksikan pengalamannya dan mengkomunikasikannya pada orang lain karena bahasa merupakan sistim lambang tidak terbatas yang mampu mengungkapkan segala pemikiran.
Berbahasa berarti berkomunikasi dengan menggunakan suatu bahasa. Anak-anak yang lahir dengan alat artikulasi dan auditori yang normal akan dapat mendengar kata-kata melalui telinganya dengan baik dan juga akan dapat menirukan kata-kata itu. Untuk dapat berbahasa diperlukan kemampuan mengeluarkan kata-kata. Ini berarti, daerah Broca (gudang tempat menyimpan sandi ekspresi kata-kata dalam otak) harus berfungsi dengan baik. Kerusakan pada daerah tersebut dan sekitarnya menyebabkanterjadinya gangguan bahasa yang disebut afasia.

2.3  Komunikasi
Komunikasi pada hahekatnya adalah proses penyampaian pesan dari pengirim kepada  penerima. Hubungan komunikasi antara pengirim dan penerima, dibangun berdasarkan penyusunan kode atau simbol bahasa oleh pengirim (chiffrement) dan pembongkaran kode atau simbol bahasa oleh penerima (dechiffrement) (Rusdiarti, 2003: 35).
Tujuan utama komunikasi adalah menyampaikan informasi secara tepat dan cepat melalui bicara, tulisan dan gerakan isyarat. Seorang anak yang mempunyai kelainan berkomunikasi akan mengalami kesulitan untuk mengadakan interaksi dengan lingkungannya. Komunikasi dengan orang lain tersebut melalui bicara, dimana isi pikiran, perasaan dan emosi dikemukakan dengan simbul verbal atau akustik.
Menurut beberapa ahli komunikasi, bicara adalah kemampuan anak untuk berkomunikasi dengan bahasa oral (mulut) yang membutuhkan kombinasi yang serasi dari sistem neuromuskular untuk mengeluarkan fonasi dan artikulasi suara. Proses bicara melibatkan beberapa sistem dan fungsi tubuh, melibatkan sistem pernapasan, pusat khusus pengatur bicara di otak dalam korteks serebri, pusat respirasi di dalam batang otak dan struktur artikulasi, resonansi dari mulut serta rongga hidung. Terdapat dua hal proses terjadinya bicara, yaitu proses sensoris dan motoris.
Mengingat kenyataan bahwa dalam berkomunikasi kita dihadapkan oleh varian penerima yang sangat beragam, maka keberhasilan komunikasi akan sangat ditentukan oleh bagaimana cara menyampaikan pesan. Tidak jarang dalam kenyataan sehari-hari kita dapati bahwa komunikasi yang kita lakukan tidak berhasil akibat ketidaktepatan berkomunikasi yang kita lakukan. Wardhaugh dalam bukunya An Introduction to Sociolinguistics (1986) menjelaskan bahwa ketika orang akan mulai berbicara paling tidak ada tiga hal yang mesti diperhatikan agar komunikasinya berlangsung efektif. Pertama, apa yang akan dibicarakan. Kedua, dengan siapa dia akan bicara, dan ketiga, bagaimana cara membicarakannya. Dalam hal ini terkait dengan pemilihan ragam bahasanya, jenis kalimat, kosa kata, bahkan tinggi rendahnya suara saat berbicara. Keputusan mengenai mana yang akan dipakai  sangat tergantung pada sejauh mana hubungan sosial dengan lawan bicara.
Menurut Burke (dalam Eriyanto, 2000) dalam berkomunikasi manusia cenderung memilih kata-kata tertentu untuk mencapai tujuannya. Pemilihan kata-kata tersebut bersifat strategis. Dengan demikian, kata yang diucapkan, simbol yang diberikan, dan intonasi pembicaraan tidaklah semata-mata sebagai ekspresi pribadi atau cara berkomunikasi, tetapi dipakai dengan sengaja untuk maksud tertentu.
Sistem komunikasi ke otak pada manusia ada 3 macam:
1.      Visual atau penglihatan
2.      Auditorial atau pendengaran
3.      Kinestetik, meliputi gerak dan rasa
Orang yang tipenya penglihatan, biasanya memiliki ciri-ciri warna bajunya kelihatan bagus, dandanannya rapi, di kamarnya penuh dengan hiasan, kalau memilih mobil sangat memperhatikan warnanya dan lain-lain. Bahasa yang dipakai biasanya mengarah kepada mata. Misalnya, kelihatannya, tampaknya dan lain-lain. Biasanya cara berbicara yang cepat. Jika memberikan perintah, deskripsi pekerjaannya tidak jelas. Orang yang memiliki tipe pendengaran, akan lebih mementingkan hal-hal yang berkaitan dengan telinga,  sering bernyanyi-nyanyi, nada bicara naik-turun dan lambat. Orang yang memiliki tipe kinestetik, biasanya akan sangat mementingkan rasa.
Otak sebagai sumber komunikasi peradaban minimal terdapat dua alasan mengapa otak sangatlah penting bagi manusia. Pertama, secara biologis otak adalah pusat semua aktivitas tubuh, baik itu kegiatan disadari maupun tidak disadari. Oleh karenanya, otak selalu diklaim sebagai Central Prosesor Unit (CPU), sistem komputerisasi tubuh manusia. Kedua, secara simbolis, otak diposisikan pada bagian tubuh paling atas dan menempati posisi paling tinggi dari semua organ tubuh. Otak memproduksi pikiran. Pikiran manusia senantiasa abadi meskipun manusia dan otaknya telah tiada. Di samping itu, otak manusia memiliki daya tampung yang cukup banyak. Kelebihan lain dari otak manusia adalah memiliki letak (peta) yang begitu kompleks dan multifungsi sehingga dengan fungsinya masing-masing otak dapat dibedakan, misalnya, ada otak depan, otak belakang, otak kanan, otak kiri, kulit otak, dan sebagainya.
Bagian-bagian dari otak tersebut di atas, dalam dunia keseharian memiliki peran dan fungsi masing-masing. Otak kanan, misalnya, banyak digunakan untuk segala sesuatu yang bersifat seni dan perasaan, emosi, serta lainnya. Sementara itu, segala sesuatu yang bersifat matematis, objektif, dan rasional lebih banyak menggunakan fungsi otak kiri.

2.4  Hubungan Otak dengan Bahasa dan Komunikasi
Otak memegang peranan yang sangat penting dalam berbahasa dan berkomunikasi. Saraf-saraf tertentu dalam otak berkaitan dengan fungsi berbahasa baik lisan maupun tulisan. Ini dapat dibuktikan bahwa terdapat gangguan berbahasa bagi orang yang mengalami kerusakan otak atau kecelakaan yang mengenai kepala, selain itu juga dilakukan eksperimen terhadap saraf-saraf di otak bagi orang yang sehat.
Saraf-saraf dalam otak berkaitan dengan fungsi berbahasa adalah daerah broca, daerah Wernicke, dan daerah korteks ujaran superior atau daerah motorsuplementer. Berdasarkan tiga daerah saraf tersebut dapat dikatakan bahwa terdapat bagian-bagian tertentu pada saraf-saraf di otak kiri manusia yang mempengaruhi manusia untuk menghasilkan ujaran untuk berbahasa dan berkomunikasi dengan sesama.
Dalam kaitan otak dengan bahasa dan komunikasi ini, otak manusia terbagi atas dua bagian yaitu belahan otak kiri yang bersifat kebahasaan dan belahan otak kanan yang berhubungan dengan nonkebahasaan. Otak kanan yang bukan berfungsi sebagai kebahasaan, tetapi belahan otak kanan ini mempunyai hubungan dengan bagaimana otak kiri melahirkan bahasa.
Di dalam otak terdapat 3 pusat yang mengatur mekanisme berbahasa, dua pusat bersifat reseptif yang mengurus penangkapan bahasa lisan dan tulisan serta satu pusat lainnya bersifat ekspresif yang mengurus pelaksanaan bahsa lisan dan tulisan. Ketiganya berada di hemisfer dominan dari otak atau sistem susunan saraf pusat. Kedua pusat bahasa reseptif tersebut adalah area 41 dan 42 disebut area Wernick, merupakan pusat persepsi auditoro-leksik yaitu mengurus pengenalan dan pengertian segala sesuatu yang berkaitan dengan bahasa lisan (verbal). Area 39 broadman  adalah pusat persepsi visuo-leksik yang mengurus pengenalan dan pengertian segala sesuatu yang bersangkutan dengan bahasa tulis. Sedangkan area Broca adalah pusat bahsa ekspresif. Ketiga pusat tersebut berhubungan satu sama lain melalui serabut asosiasi.
Eksistensi hubungan antara otak dan bahasa telah dikenal dalam waktu yang sangat lama. Orang Mesir kuno telah merekam laporan-laporan mengenai kepala yang terluka yang menyebabkan hilangnya fungsi bicara, yang selanjutnya fenomena ini dikenal dengan afasia. Seperti telah kita ketahui bahwa otak berperan dalam performansi dan kompetensi kebahasaan. Perkembangan kemampuan produksi bahasa anak tergantung pada kematangan mekanisme kortikal (berkaitan dengan daerah-daerah otak) yang mengontrol sistem motor bicara. Mekanisme atau fungsi kortikal ini meliputi isi pikiran manusia, ingatan atau memori, emosi, persepsi, organisasi gerak dan aksi, dan juga fungsi bicara (bahasa). Kita juga mengetahui bahwa otak harus menyediakan pengorganisasian waktu bagi sistem produksi bahasa, dan ini merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam keterlibatan otak dengan bahasa.
Sejak orang Mesir kuno pertama kali menemukan afasia, kita telah mempelajari banyak hal tentang otak dan bahasa. Meskipun kita telah menerima banyak fakta, hubungan antara keduanya masih kita abaikan.

2.4.1 Struktur Otak dan Bahasa

Dalam diskusi mengenai otak dan bahasa, orang sering mendengarkan pernyataan bahwa manusia mempunyai otak yang luas, berat tubuh yang relatif, dibandingkan dengan makhluk lain. Kenyataan ini kadang-kadang digunakan untuk menjelaskan mengapa manusia yang memiliki bahasa; hanya mereka yang mempunyai otak cukup besar yang mencakup bahasa yang kompleks.
2.4.2 Lokalisasi Fungsi-fungsi Bahasa: Lateralisasi
Lateralisasi dapat diartikan sebagai pembagian tugas pada bagian (hemisfer) otak. Pembagian tugas yang dimaksud adalah tugas hemisfer kanan dan hemisfer kiri. Kedua hemisfer otak ini mempunyai peranan yang berbeda bagi fungsi kortikal. Fungsi bicara-bahasa dipusatkan pada hemisfer kiri. Hemisfer kiri ini disebut juga hemisfer dominan bagi bahasa, dan korteksnya dinamakan korteks bahasa. Hemisfer kiri ini memiliki bentuk yang berbeda dengan hemisfer kanan. Bentuknya lebih besar, lebih panjang, dan lebih berat daripada hemisfer kanan (Abdul Chaer, 2003: 120). Hemisfer kiri mempunyai arti penting bagi bicara-bahasa, juga berperan untuk memori yang bersifat verbal (verbal memory). Sebaliknya hemisfer kanan penting untuk fungsi emosi, lagu isyarat (gesture), baik emosional maupun verbal. Tanpa hemisfer kanan pembicaraan seseorang akan menjadi monoton, tak ada prosodi (kesenyapan), tak ada lagu kalimat; tanpa menampakkan adanya emosi; dan tanpa disertai isyarat-isyarat bahasa (Abdul Chaer, 2003: 120).
Pada waktu manusia dilahirkan, belum ada pembagian tugas antara kedua hemisfer (hemisfer kanan dan hemisfer kiri). Akan tetapi, menjelang anak mencapai umur sekitar 12 tahun terjadilah pembagian fungsi yang dinamakan Lateralisasi. Pada mulanya dinyatakan bahwa hemisfer kiri ditugasi terutama untuk mengelola ikhwal bahasa, sedangkan hemisfer kanan untuk hal-hal lain. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa hemisfer kanan pun ikut bertanggung jawab akan penggunaan bahasa.
Ada beberapa pendekatan untuk mempelajari Lateralisasi. Tes yang diperkenalkan oleh pakar bernama Wada dan Rasmussen (1960). Dalam tes ini obat sodium amysal diinjeksikan ke dalam sistem peredaran salah satu belahan otak. Belahan otak yang mendapatkan obat ini akan menjadi lumpuh untuk sementara. Jika hemisfer (belahan/bagian) otak kanan yang dilumpuhkan dengan sodium amysal ini, maka anggota-anggota badan sebelah kiri tidak berfungsi sama sekali. Namun, fungsi bahasa tidak terganggu sama sekali, dan orang yang diteliti ini dapat bercakap-cakap dengan normal seperti biasa. Apabila hemisfer kiri yang diberi sodium amysal, maka anggota badan sebelah kanan akan menjadi lumpuh, termasuk fungsi bahasa. Jadi, hasil tes ini membuktikan bahwa pusat bahasa berada pada hemisfer kiri. Tetapi teknik semacam ini sangat sulit dan banyak risikonya untuk diterapkan, sehingga jarang digunakan.
2.4.3 Sifat Dasar Hemisfer Dominan-Kiri
Pandangan lama memang mengatakan bahwa ikhwal kebahasaan itu ditangani oleh hemisfer kiri, dan sampai sekarang pandangan itu masih juga banyak dianut orang dan banyak pula benarnya. Dari hasil operasi yang dinamakan hemispherectomy – operasi di mana satu hemisfer diambil dalam rangka mencegah epilepsy – terbukti juga bahwa bila hemisfer kiri yang diambil, maka kemampuan berbahasa orang itu menurun dengan drastis. Sebaliknya, jika yang diambil hemisfer kanan, orang tersebut masih dapat berbahasa, meskipun tidak sempurna (Soenjono Dardjowidjojo, 2003: 212).
Meskipun kasus-kasus di atas mendukung peran hemisfer kiri sebagai hemisfer bahasa, dari penelitian-penelitian mutakhir didapati bahwa pandangan ini tidak seluruhnya benar. Hemisfer kanan pun ikut berperan dalam masalah bahasa. Hemisfer kanan berkaitan dengan gerak, ekspresi, dan sebagainya yang dapat membantu menyatakan maksud dalam menyampaikan bahasa.

2.4.4 Lokalisasi
Teori lokalisasi berpendapat bahwa pusat-pusat bahasa dan ucapan berada di daerah Broca dan Wernicke.

2.5  Pengaruh Kerusakan Otak terhadap Bahasa dan Komunikasi
Otak bertindak sebagai ”pusat komando” untuk bahasa dan komunikasi, mengendalikan komponen baik fisik dan mental berbicara. Kedua belahan otak diperkirakan berkontribusi pada pengolahan dan pemahaman bahasa: otak kiri memproses arti linguistik prosodi (atau, irama, stres, dan intonasi berbicara terhubung), sedangkan belahan kanan proses emosi yang disampaikan oleh prosodi. Studi anak-anak telah menunjukkan bahwa jika seorang anak memiliki kerusakan otak kiri, anak dapat mengembangkan bahasa di belahan kanan, bukan. Semakin muda anak, semakin baik pemulihan. Jadi, meskipun "alam" adalah kecenderungan untuk bahasa untuk mengembangkan di sebelah kiri, otak manusia mampu beradaptasi dengan keadaan yang sulit, jika kerusakan terjadi cukup dini.
Dalam pembicara (kanan), otak mengontrol semua aspek mental dan fisik dari berbicara. Kedengarannya mulai sebagai napas dikeluarkan dari paru-paru. Pada perjalanannya ke mulut, udara bergetar karena dipaksa melalui pita suara. Mulut, hidung dan lidah memodifikasi ini udara bergetar untuk membentuk gelombang suara. Ekspresi wajah dan gerak tubuh juga memainkan peran dalam komunikasi. Dalam pendengar (kiri), gelombang suara masukkan telinga dan kemudian dianalisis menjadi kata-kata oleh otak. Gambar Kredit: Zina Deretsky, National Science Foundation
Wilayah bahasa pertama dalam belahan kiri untuk ditemukan sebenarnya adalah wilayah Broca, yaitu setelah Paul Broca, yang menemukan daerah itu selama belajar pasien dengan afasia, gangguan bahasa. Area Broca tidak hanya menangani keluar mendapatkan bahasa dalam arti motor, meskipun. Tampaknya menjadi lebih umum terlibat dalam kemampuan untuk proses tata bahasa sendiri, setidaknya aspek yang lebih kompleks dari tata bahasa.

2.6  Hal-hal yang Terjadi pada Bahasa dan Komunikasi setelah Terjadi Kerusakan Di Dalam Otak

2.6.1        Gangguan Berbicara
a.      Berbicara Serampangan
Berbicara serampangan  ini karena kerusakan di serebelum atau bisa juga terjadi sehabis terkena kelumpuhan ringan sebelah badan. Berbicara serampangan atau sembrono adalah berbicara dengan cepat sekali, dengan artikulasi yang rusak, ditambah dengan menelan sejumlah suku kata, sehingga yang diucapkan sukar dipahami (Chaer, 2002: 150).  Akibat berbicara serampangan tersebut, maka bahasa yang digunakan sulit dipahami sehingga komunikasi tidak terjalin dengan baik.
                             
b.      Berbicara Propulsif
Berbicara propulsif biasanya terdapat pada penderita Parkinson. Hal ini terjadi akibat  kerusakan otak yang menyebabkan otot gemetar, kaku, dan lemah. Pada waktu berbicara, artikulasi sangat terganggu karena elastisitas otot lidah, otot wajah, dan pita suara, sebagian lenyap, volume suara kecil, monoton, tersendat-sendat, kemudian terus-menerus, dan akhirnya tersendat-sendat kembali (Chaer, 2002: 150). Akibat berbicara propulsif ini, bahasa apapun yang digunakan pembicara akan sangat sulit dipahami pendengar sehingga sulit melakukan komunikasi dengan orang lain.

c.       Berbicara Gagap
Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya gagap adalah  adanya kerusakan pada belahan otak  (hemisfer) yang dominan. Berbicara gagap adalah berbicara yang kacau karena sering tersendat-sendat, mendadak berhenti, lalu mengulang-ulang suku kata pertama, kata-kata berikutnya, dan setelah berhasil mengucapkan kata-kata itu kalimat dapat diselesaikan. Gagap atau stuttering, yaitu gangguan dalam kelancaran berbicara berupa pengulangan bunyi atau suku kata, perpanjangan dan ketidakmampuan untuk memulai pengucapan kata (Chaer, 2002: 153). Akibat berbicara gagap, komunikasi akan berlangsung lama dan menguji kesabaran mitra tutur untuk mendengar dan memahami bahasa yang diucapkan tersebut.

d.      Keterlambatan Bicara
Alergi makanan ternyata juga bisa mengganggu fungsi otak, sehingga mengakibatkan gangguan perkembangan salah satunya adalah keterlambatan bicara pada anak.  Gangguan  ini biasanya terjadi pada manifestasi alergi pada gangguan pencernaan dan kulit. Bila alergi makanan sebagai penyebab biasanya keterlambatan bicara terjadi usia di bawah 2 tahun, di atas usia 2 tahun anak tampak sangat pesat perkembangan bicaranya.
Keterlambatan bicara fungsional merupakan penyebab yang cukup sering  dialami oleh sebagian anak. Keterlambatan bicara fungsional sering juga diistilahkan keterlambatan maturasi atau keterlambatan perkembangan bahasa. Keterlambatan bicara golongan ini disebabkan karena keterlambatan maturitas (kematangan) dari proses saraf pusat yang dibutuhkan untuk memproduksi kemampuan bicara pada anak. Gangguan ini sering dialami oleh laki-laki dan sering terdapat riwayat keterlambatan bicara pada keluarga. Biasanya hal ini merupakan keterlambatan bicara yang ringan dan prognosisnya baik. Pada umumnya kemampuan bicara akan tampak membaik setelah memasuki usia 2 tahun. Terdapat penelitian yang melaporkan penderita dengan keterlambatan ini, kemampuan bicara saat masuk usia sekolah akan normal seperti anak lainnya. Akibat keterlambatan bicara ini, anak akan lambat pula menguasai bahasa pertamanya dan akan sangat sulit berkomunikasi lisan.

e.       Artikulasi Kata yang Kurang Jelas
Fungsi otak kiri antara lain untuk kemampuan berbicara. Dr. Paul Broca mengatakan apabila ada luka atau sakit pada bagian depan (anterior) otak kiri manusia akan mengakibatkan artikulasi kata yang kurang jelas, bunyi-bunyi ujar yang kurang baik lafalnya, kalimat yang tidak gramatikal, dan ketidaklancaran dalam berbicara. Akibatnya, bahasa yang diucapkan sulit dipahami dan mengganggu lancarnya komunikasi dan interaksi sosial.

f.       Dislogia
Dislogia diartikan sebagai satu bentuk kelainan bicara yang disebabkan oleh kemampuan kapasitas berpikir atau taraf kecerdasan di bawah normal. Terdapatnya kesalahan pengucapan yang terjadi disebabkan karena tidak mampu mengamati perbedaan bunyi-bunyi benda terutama bunyi-bunyi yang hampir sama. Misalnya tadi dengan tapi, kopi dengan topi. Rendahnya kemampuan mengingat menyebabkan penghilangan fonem, suku kata atau kata pada waktu mengucapkan kalimat. Akibatnya, akan terjadi salah tanggap atau inferensi yang tidak tepat oleh pendengar.

g.      Disartria
Disartria diartikan jenis kelainan bicara yang terjadi akibat adanya karena adanya kerusakan susunan syaraf pusat seperti kelumpuhan, kelemahan, kekakuan atau gangguan koordinasi otot alat-alat ucap atau organ bicara.

2.6.2        Gangguan Berbahasa

a.      Afasia
Afasia adalah istilah umum yang digunakan untuk mengacu pada gangguan berbicara karena kerusakan otak. Penyakit yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah, tersumbatnya pembuluh darah, atau kurangnya oksigen pada otak dinamakan stroke. Gangguan bicara yang disebabkan oleh stroke dinamakan afasia (aphasia) (Soenjono Dardjowidjojo, 2003:214). Kerusakan dapat berasal dari dalam otak misalnya perdarahan bagian otak atau karena tumor; atau dari luar misalnya luka di kepala. Gejala-gejala penderita afasia sangat bervariasi dari pasien satu dengan pasien yang lain, baik dalam hal jenis dan kerumitannya.
Afasia adalah gangguan fungsi bicara pada seseorang akibat kelainan otak. Orang yang menderita afasia tidak mampu mengerti maupun menggunakan bahasa lisan. Penyakit afasia biasanya berkembang cepat sebagai akibat dari luka pada kepala atau stroke, tetapi juga dapat berkembang secara lambat karena tumor otak, infeksi, atau dementia. Evaluasi medis dari penyakit ini dapat dilaksanakan oleh ahli penyakit saraf hingga ahli patologi bahasa.

·         Afasia: Gejala-gejala dan Sumber
Hal umum untuk menandai gejala-gejala afasia yaitu dalam hal cara pengungkapan, bahwa mereka menunjukkan aspek-aspek bervariasi dalam produksi bahasa. Beberapa penderita afasia menghasilkan sedikit bahasa, menunjukkan kesulitan-kesulitan dalam mendeskripsikan atau mendiskusikan sesuatu, yang seharusnya mereka ketahui dengan baik. Bahasa-bahasa atau ujaran mereka sering tidak lancar, produksi bahasanya lambat, dengan banyak berhenti dan dengan usaha-usaha yang sungguh berat. Mereka sering membuat kesalahan pengucapan, mengganti bunyi-bunyi dengan bunyi yang tidak sesuai, kadang-kadang dengan pola yang tidak sesuai.
Ada pula penderita afasia yang lancar dalam berbicara, dan bentuk sintaksinya juga cukup baik. Hanya saja, kalimat-kalimatnya sukar dimengerti karena banyak kata yang tidak cocok maknanya dengan kata-kata lain sebelum dan sesudahnya. Hal ini disebabkan karena penderita afasia ini sering keliru dalam memilih kata, misalnya kata fair digantikan dengan kata chair, carrot dengan cabbage, dan seterusnya. Ada pula penderita afasia yang mengalami gangguan dalam komprehensif lisan. Dia tidak mudah dapat memahami apa yang kita katakan. Selain itu masih banyak gejala lainnya.

·         Afasia dan Otak
Masalah-masalah yang berkaitan dengan afasia adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan otak. Afasia merupakan penyakit bertutur yang diakibatkan oleh kerusakan atau penyakit pada otak. Afasia menyangkut hubungan di antara bagian-bagian otak yang rusak dengan komponen-komponen bahasa yang normal. Afasia dapat berpengaruh terhadap fungsi dan produksi bahasa secara alamiah menjadi tidak normal. Dapat dikatakan bahwa kerusakan bahasa disebabkan oleh kerusakan otak. Apabila hubungan ini diketahui maka pengobatan atau penanganannya pun akan lebih mudah dilakukan.

·         Afasia: Usia Permulaan dan Prognosis (Perkiraan)
Karakteristik klinis dari afasia bergantung pada penyebab dan lokalisasi kerusakan di otak seperti pada orang dewasa, tetapi gambaran klinisnya berubah bergantung pada usia berapa kerusakan itu terjadi. Hal ini disebabkan oleh peralihan fungsi bahasa dari hemisfer kiri ke hemisfer kanan, sehingga terjadi perbaikan fungsi bahasa pada anak. Namun, hal ini ditemukan apabila kerusakan terjadi sebelum anak berusia 6 tahun. Apabila kerusakan terjadi setelah usia 6 tahun, maka terjadi reorganisasi intrahemisferik (di dalam bagian otak).
Pada anak dengan kerusakan pada hemisfer kiri yang terjadi pada umur lebih dini memperoleh skor IQ verbal lebih baik dan skor performansinya lebih buruk daripada bila kerusakan padahemisfer kiri terjadi pada umur lebih tua. Kriteria ini berbeda dari anak dengan disfasia (keterlambatan atau kegagalan dalam memperoleh bahasa) perkembangan di mana skor IQ verbalnya lebih rendah daripada skor performansinya (Soenjono Dardjowidjojo,1991: 144).
b.      Afasia Motorik
Afasia motorik disebabkan oleh kerusakan pada lapisan permukaan (lesikortikal) daerah Broca atau pada lapisan di bawah permukaan (lesi subkortikal) daerah Broca atau juga di daerah otak antara daerah broca dan daerah Wernicke (lesi transkortikal) (Chaer, 2002: 157).
Kelainan ini ditandai dengan kesulitan dalam mengkoordinasikan atau menyusun pikiran, perasaan dan kemauan menjadi simbol yang bermakna dan dimengerti oleh orang lain. Bicara lisan tidak lancar, terputus-putus dan sering ucapannya tidak dimengerti orang lain. Apabila bertutur kalimatnya pendek-pendek dan monoton. Seorang dengan kelainan ini mengerti dan dapat menginterpretasikan rangsangan yang diterimanya, hanya untuk mengekspresikannya mengalami kesulitan. Jenis afasia ini juga dialami dalam menuangkan ke bentuk tulisan. Jenis ini disebut dengan disgraphia (agraphia). Afasia motorik terbagi tiga, yaitu:
ü  Afasia Motorik Kortikal
Afasia Motorik Kortikal berarti hilangnya kemampuan untuk mengutarakan isi pikiran dengan menggunakan perkataaan. Penderita masih mengerti bahasa lisan dan bahasa tulis. Namun, ekspresi verbal tidak bisa sama sekali; bahasa tulis dan bahasa isyarat masih bisa dilakukan.
ü  Afasia Motorik Subkortikal
Penderita Afasia Motorik Subkortikal tidak dapat mengeluarkan isi pikiran menggunakan perkataan; masih bisa mengeluarkan perkataan dengan cara membeo. Pengertian bahasa verbal dan visual tidak terganggu, dan ekspresi visual pun normal.
ü  Afasia Motorik Transkortikal
Afasia Motorik Transkortikal terjadi karena terganggunya hubungan antara daerah Broca dan Wernicke. Hubungan langsung antara pengertian dan ekspresi bahasa terganggu. Penderita Afasia Motorik Transkortikal dapat mengutarakan perkataan singkat dan tepat;  masih menggunakan perkataan penggantinya.

c.       Afasia Sensorik
Penyebab terjadinya afasia sensorik adalah akibat adanya kerusakan pada lesikortikal di daerah Wernicke pada hemisferium yang dominan. Kerusakan di daerah ini menyebabkan kehilangan pengertian bahasa lisan dan bahasa tulis (Chaer, 2002: 158).  Kelainan ini ditandai dengan kesulitan dalam memberikan makna rangsangan yang diterimanya . Bicara spontan biasanya lancar hanya kadang-kadang kurang relevan dengan situasi pembicaraan atau konteks komunikasi. Namun, penderita masih memiliki curah verbal meskipun hal itu tidak dipahami oleh dirinya sendiri maupun orang lain.

d.      Afasia Broca
Afasia terdiri atas afasia broca, yaitu penderita yang apabila berbicara terbata-bata dan sulit mengeluarkan kata-kata. Afassia Broca berarti kerusakan daerah bahasa atau pusat bahasa yang mengendalikan baik artikulasi maupun peran yang unik dalam pembentukan kata dan kalimat, karena daerah Broca berhubungan dengan unsur struktur dan organisasi bahasa. Oleh karena itu, area Broca pada otak bertanggung jawab untuk kaidah artikulasi yang menciptakan pola bunyi, untuk kaidah morfologi dan sintaksis, antara lain dalam membentuk kata dan frasa.

e.       Afasia Wernicke
Area bahasa kedua yang ditemukan disebut area Wernicke, setelah Carl Wernicke, seorang ahli saraf Jerman yang menemukan daerah itu selama belajar pasien yang memiliki gejala serupa dengan pasien Area Broca tetapi kerusakan pada bagian berbeda dari otak mereka. Afasia Wernicke adalah istilah untuk gangguan yang terjadi pada kerusakan ke daerah pasien Wernicke.
Afasia wernicke, yaitu penderita yang kacau menerima pesan. Afasia kedua ini tidak mengalami kesulitan berbicara, namun cenderung memakai bahasa yang secara semantis tidak koheren. Afasia Wernicke yang berhubungan dengan kerusakan area Wernicke pada otak. Area Wernicke adalah pusat bahasa yang bertanggung jawab untuk memproduksi makna, seperti interpretasi kata selama pemahaman makna dan pemilihan kata selama menghasilkan produksi ujaran.
Afasia Wernicke tidak hanya mempengaruhi pemahaman pidato. Orang dengan Afasia Wernicke juga mengalami kesulitan mengingat nama benda, sering kali merespons dengan kata-kata yang terdengar serupa, atau nama-nama benda yang terkait, seolah-olah mereka mempunyai waktu yang sulit mengingat asosiasi kata.

f.       Afasia Konduksi
Afasia konduksi merupakan kerusakan pada arcuate fasciculus, berdampak pada transmisi informasi dari daerah Wernicke ke daerah Broca. Gejala kerusakan ini, pertama karena informasi leksikal dari daerah Wernicke tidak dapat dipindahkan ke daerah Broca, sehingga ujarannya secara semantis tidak padu (tidak koheren). Demikian pula, karena informasi kategori morfem terikat (afiks) dan kategori leksikal tidak dapat dipindahkan ke daerah Wernicke, pemahaman bahasa menjadi rusak.
Kelainan ini ditandai dengan kesulitan dalam meniru pengulangan bunyi-bunyi bahasa. Pada ucapan kalimat-kalimat pendek cukup lancar, tetapi untuk kalimat panjang mengalami kesulitan.

g.      Afasia Auditory
Untuk afasia auditory, penderita tidak mampu memberikan makna apa yang didengarnya.
h.      Afasia Amnestic
Kelainan ini ditandai dengan kesulitan dalam memilih dan menggunakan simbol-simbol yang tepat. Umumnya simbol yang dipilih yang berhubungan dengan nama, aktivitas, situasi yang berhubungan dengan aktivitas kehidupan. Misalnya apabila mau mengatakan kursi maka diganti dengan kata duduk.
i.        Alexia dan Agrafia
Alexia dan Agrafia adalah kerusakan pada angular gyrus mengganggu asosiasi pencitraan pola visual dengan bentuk pendengaran, karena itu mengganggu kemampuan baca dan tulis. Kerusakan baca disebut alexia, sedangkan kehilangan kemampuan tulis disebut agrafia. Kedua kerusakan bahasa tersebut biasanya saling melengkapi. Alexia terjadi dengan sendirinya. Penderita alexic mungkin bisa menulis, tapi tidak bisa membaca apa yang dia tulis. Kerusakan angular gyrus tidak memengaruhi pandangan. Penderita alexia dan agrafia masih bisa melihat dengan normal.
j.        Kelainan Sentral  (Otak)
Gangguan berbahasa sentral adalah ketidaksanggupan untuk menggabungkan kemampuan pemecahan masalah dengan kemampuan berbahasa yang selalu lebih rendah. Ia sering menggunakan mimik untuk menyatakan kehendaknya seperti pada pantomim. Pada usia sekolah, terlihat dalam bentuk kesulitan belajar.

2.6.3        Gangguan Berpikir
a.      Pikun (Demensia)
Penyebab pikun adalah karena terganggunya fungsi otak dalam jumlah besar, termasuk menurunnya jumlah zat-zat kimia dalam otak. Orang yang pikun menyebabkan kurangnya berpikir. Ekspresi verbalnya diwarnai dengan kesukaran menemukan kata-kata yang tepat. Kalimat seringkali diulang-ulang. Pembicaraan seringkali terputus (Chaer, 2002: 159). Oleh karena itu, pikun menyebabkan bahasa yang disampaikan oleh penderitanya akan bertele-tele dan membingungkan siapa saja yang berkomunikasi dengannya.

b.      Sisofernik
Sisofernik adalah gangguan berbahasa akibat gangguan berpikir (Chaer, 2002: 160). Penderita sisofernik dapat berbicara terus menerus. Ocehannya hanya merupakan ulangan curah verbal semula dengan tambahan sedikit atau dikurangi beberapa kalimat. Para penderita dapat mengucapakan word-salad dengan lancar, dengan volume yang cukup, ataupun lemah sekali. Irama serta intonasinya menghasilkan curah verbal yang melodis.
Pikiran dan tuturan merupakan satu kesatuan dalam proses berbahasa. Kadangkala kemampuan otak dalam menghasilkan kalimat dalam berbahasa secara umum disamaratakan. Sehingga orang hanya melihat dan mengamati bagaimana pola kalimat yang dihasilkannya saja, sementara proses dalam menghasilkan kalimat tersebut dalam otak jarang disinggung. Proses pemerolehan bahasa tidak terlepas dari peranan otak yang dimiliki manusia. Kerusakan atau kelemahan otak dapat disebabkan oleh banyak faktor yang pada umumnya terjadi pada waktu lahir sampai dengan masa pubertas.

k.      Autis
Perkembangan janin dalam kehamilan sangat banyak yang mempengaruhinya. Pertumbuhan dan perkembangan otak atau sistem susunan saraf otak sangat pesat terjadi pada periode ini, sehingga segala sesuatu gangguan atau penyakit pada ibu tentunya sangat berpengaruh. Gangguan pada otak inilah nantinya akan mempengaruhi perkembangan dan perilaku anak kelak, termasuk resiko terjadinya autisme.
















C. PENUTUP
Berdasarkan uraian pada pendahuluan dan uraian materi di atas dapat diambil beberapa simpulan sebagai berikut:
1.      Hubungan antara otak dan bahasa telah dikenal sejak lama, yaitu sejak zaman Mesir kuno. Namun, hubungan keduanya tampak nyata yang didukung banyak fakta, hubungan keduanya masih diabaikan.
2.      Ukuran otak manusia lebih luas dan lebih berat daripada otak kera dan simpanse. Selain itu, secara biologis otak manusia berkembang menuju kesempurnaannya secara cepat dan memungkinkan manusia dapat berbahasa secara kompleks.
3.      Hal-hal yang akan terjadi pada bahasa dan komunikasi jika terjadi kerusakan di dalam otak adalah terjadinya gangguan berbicara, gangguan berbahasa dan gangguan berpikir. Gangguan berbicara seperti berbicara serampangan, berbicara propulsif, berbicara gagap, dan sebagainya. Gangguan berbahasa seperti afasia: afasia motorik, afasia sensorik, afasia Broca, afasia Wernicke, afasia kondusif, dan sebagainya. Gangguan berpikir seperti pikun, sisofrenik, dan sebagainya. Gangguan-gangguan tersebut akan berpengaruh terhadap bahasa yang diucapkan dan komunikasi yang dilakukan. 
4.      Afasia adalah gangguan berbahasa karena kerusakan otak. Gejala-gejala penderita afasia sangat bervariasi dari penderita satu dengan penderita yang lain, baik dalam hal jenis maupun kerumitannya.
5.      Lateralisasi diartikan sebagai pembagian tugas pada bagian otak (hemisfer), yaitu hemisfer kanan dan hemisfer kiri. Hemisfer kiri memiliki bentuk yang berbeda dengan hemisfer kanan, yakni lebih panjang dan lebih berat. Hemisfer kiri disebut hemisfer dominan bagi bahasa. Hemisfer kanan juga berperan dan bertanggung jawab dalam penggunaan bahasa.
6.      Teori lokalisasi berpendapat bahwa pusat-pusat bahasa dan ucapan berada di daerah Broca dan Wernicke.

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2002. Psikolinguistik: Kajian Teoritik. Jakarta: PT. Asdi Mahasatya.
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Bambang Kaswanti Purwo (Ed.). 1989. PELLBA 2. Jakarta: Kanisius.
Harimurti Kridalaksana. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia.
Mansoer Pateda. 1990. Aspek-aspek Psikolinguistik. Ende Flores: Nusa Indah.
Muhibin Syah. 2004. Psikologi Belajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Rakhmat. 1999. Psikologi Komunikasi. Bandung: Rosdakarya.
Samsunuwiyati Marat. 1983. Psikolinguistik. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran.

Sidiarto, Lily, 1991, PELLBA: Penyunting Bambang Kaswanti Purwo, Jakarta: Kanisius.

Soenjono, 1991, Language Neurologi: PELBA 4, Jakarta: Lembaga Bahasa UNIKA Atmajaya.

Soenjono Dardjowidjojo. 2003. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Soenjono, 2008, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia , Cet. III,Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sri Utari Subiyakto Nababan. 1992. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Tadkirotun Musfiroh. 2002. Pengantar psikolinguistik. Yogyakarta: Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta.

Yudibrata, dkk. 1998. Psikolinguistik. Jakarta: Depdikbud PPGLTP Setara D-III.